Oleh Brunhild Hekate
Ajaran Buddha memiliki tiga sekolah filosofi utama – Theravada, Mahayana, dan Vajrayana – dan ujian dangkal dari tiga sekolah ini (atau kendaraan) mengungkapkan apa yang nampak seperti pandangan yang bertentangan mengenai praktek vegetarianisme. Akan tetapi, sebelum melompat pada kesimpulan, ingatlah bahwa Sang Buddha adalah Guru yang paling ahli dan maha tahu, diajarkan berdasarkan kapasitas dan disposisi mental individu yang beragam, dan karena itu menciptakan ilusi berbeda dan pandangan bertentangan – yaitu, bila seseorang tidak melakukan investigasi penuh dan penelitian mengenai pandangan Buddha tentang vegetarianisme.
Buddha dan pengikutnya makan daging yang dipersembahkan kepada mereka oleh tuan rumah atau pemberi sedekah bila mereka tidak memiliki alasan untuk mencurigai bahwa hewan tersebut telah disembelih khusus untuk konsumsi mereka. Bahkan, mereka menerima dan makan apa saja yang dipersembahkan, karena mereka mempraktekan ketidak-terikatan dengan makanan.
Buddha dia menetapkan vegetarianisme pada Sangha karena Dia mengetahui bahwa banyak yang menginginkan daging tidak akan dapat memeluk ajaran Buddha. Akan tetapi, sesudah mereka meniti jalan ini, pikiran mereka ditransformasi untuk menjadi vegetarian. Sudah pasti, banyak Shravaka yang telah menerima sumpah Pratimoksha menjadi Bodhisattva, dan sejalan dengan hal ini mengembangkan kasih dan menggenerasikan Bodhicitta. Mereka kemudian berhenti makan daging. Karena itu tidak benar mengkategorikan Shravaka sebagai non-vegetarian.
Dalam konteks Mahayana, makan daging dilarang. Sutra Lankavatara, ditulis pada abad empat atau lima setelah masehi, sangat menganjurkan hal ini. Dalam beberapa kitab suci Mahayana, contoh: Mahayana Jataka, sang Buddha jelas mengindikasikan bahwa makan daging tidak baik dan menciptakan karma buruk.
Pengembangan Bodhicitta adalah esensi dari praktek Mahayana. Setelah menjadi penganut Buddha, seseorang memohon perlindungan dalam Buddha dan peraturan pertama adalah tidak membunuh. Calon Bodhisattva dilatih untuk mengembangkan tekad untuk tidak makan daging karena daging hewan pernah menjadi ibu yang mencintai kita tanpa syarat, sebaik ibu kita pada kehidupan yang ini.
Sang Buddha sendiri menekankan hal ini berulang-kali. Hewan, serangga, dan kerang adalah makhluk hidup dan masing-masing dari mereka, pada suatu ketika, adalah ibu kita; semuanya menghargai hidup dan memiliki perasaan; karena itu mereka berhak dihormati seperti makhluk hidup. Apakah kita akan makan daging ibu kita?
Konsumsi daging, dianggap sebagai makanan biasa dan dimakan tanpa renungan secara berkala, mengimplikasikan tidak adanya kesadaran dan ketidak-pedulian terhadap penderitaan makhluk yang tidak sesuai dengan pelatihan pikiran calon Bodhisattva.
Mengembangkan kasih dan kesensitivan terhadap penderitaan makhluk lain adalah tujuan kita dan dengan kesadaran ini, keinginan untuk mengeksploitasi dan memakan mereka musnah. Latihan menjadi Bodhisattva, seseorang harus ingin bertransformasi dan berdasarkan skala transformasi ini beradaptasi dengan diet tumbuhan yang hanya merupakan penyesuaian kecil dari moralitas baik yang bangkit.
Terlebih, makan daging mendukung industri yang menyebabkan kekejaman ekstrim terhadap penderitaan jutaan hewan dan seorang yang penuh kasih akan berharap mengakhiri semua penderitaan ini. Dengan menolak makan daging, orang tersebut dapat melakukan hal ini. Tantra Kalachakra dan komentar tertinggi menjelaskan bahwa:
Bila tidak ada pemakan daging, tidak akan ada penyembelih hewan.
Di Tibet, ketika dataran tinggi dan iklim tidak cocok untuk bertanam, penganut Buddha Tibet yang mempraktekan jalan Vajrayana makan daging untuk memenuhi kebutuhan gizi. Akan tetapi, hal ini tidak berarti konsumsi daging dibenarkan dalam Vajrayana.
Lama Tsongkhapa, pendiri sekolah Gelugpa Buddha Tibet, telah menyebutkan berulang kali dalam kumpulan karyanya dan memberikan alasan logis dan kutipan kitab suci bahwa, bila seseorang mengerti baris demarkasi antara apa yang diperbolehkan dan disarankan, orang tersebut akan mengerti bahwa Sutra dan Tantra semua berbicara satu suara. Karena itu apa yang digariskan di kitab suci seperti Sutra Lankavatara yang terkenal juga diaplikasikan kepada praktisi Tantrik dari tradisi Vajrayana. Akan tetapi, Lama Tsongkhapa membuat pengecualian mengenai apa yang disarankan bagi mereka yang tidak berpendirian kuat, sudah tua dan ketika ada kelangkaan makanan, jadi dia akan bertahan dan memberi manfaat bagi makhluk lain.
Dorje Shugden, pelindung ajaran Lama Tsongkhapa akan sangat senang bila praktisi Dorje Shugden mengikuti ajaran tidak melakukan kekerasan, dan tidak membunuh seperti seperti tidak makan daging, menjadi vegetarian dan hidup dalam keharmonisan dengan Ibu bumi.
Fungsi Pelindung Perdamaian Dunia Dorje Shugden adalah membantu dan menciptakan situasi kondusif bagi calon Bodhisattva untuk dilatih dengan etika murni dan mengembangkan pikiran tertinggi pencerahan, sehingga doktrin Tsongkhapa akan berkembang. Dengan menerapkan tindakan baik seperti tidak membunuh, pahala besar akan diakumulasi, dan karena itu Dorje Shugden dapat menempatkanmu dalam bimbingan dan perlindungannya, dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain sampai pencerahan.