Suatu ketika, Sang Guru mengajak murid mudanya turun gunung. Dalam perjalanan pulang mereka bertemu seorang nenek tua yang hampir menemui ajal karena kelaparan. Guru segera memerintahkan muridnya untuk meninggalkan sedikit uang & makanan kepada nenek tua itu, akan tetapi muridnya merasa enggan.
Guru lalu menasehati muridnya, "Mati, hidup & pahala itu hanya terletak pada sekilas pikiran. Uang & makanan bagi kita hanyalah sekedar untuk mempertahankan hidup. Akan tetapi bagi si nenek tua, itu dapat menolong hidupnya." Murid itu setengah mengerti setengah tidak, dengan hormat & hati-hati berkata, "Bimbingan Guru selamanya akan murid camkan, suatu hari nanti jika murid berhasil memajukan biara & telah terkumpul banyak uang & pangan, pasti aku akan membantu menolong rakyat miskin." Siapa sangka setelah mendengarkan kata-kata itu, Sang Guru hanya menghela nafas sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Beberapa tahun kemudian, menjelang ajal, Sang Guru menyerahkan sebuah Sutra kepada muridnya, tapi belum mengucap sepatah katapun, Ia telah wafat. Muridnya yang masih muda ini setelah mewarisi kedudukan gurunya, tak henti memperluas biara kecil yang sudah tua itu. Di dalam hati ia berpikir, tunggu hingga perluasan ini rampung, aku pasti sungguh-sungguh melaksanakan bimbingan Guru guna menolong masyarakat luas. Akan tetapi setelah biaranya mencapai kemajuan, ia berpikir lagi, tunggu hingga mencapai skala yang lebih besar lagi, baru menolong masyarakat.
Waktu berlalu cepat, ketika si murid sudah mencapai usia senja, biaranya sudah menjadi besar & mentereng, juga memiliki sawah ratusan hektar. Akan tetapi, selama puluhan tahun ini, karena sibuk dengan pembangunan, ia mengabaikan perbuatan bajik, tak melaksanakan satu halpun yang menghasilkan pahala.
Sebelum ajal, murid ini tiba-tiba teringat akan Sutra yang ditinggalkan oleh Gurunya. Ketika dia membuka halaman buku itu, hanya ada tulisan nasihat Gurunya yang tidak sempat ia lihat karena kesibukannya:
"Sekali menolong orang, melebihi 10 tahun melafal Sutra."
*****
Kita seringkali berpikir untuk menunda berbuat baik, untuk menolong orang, karena merasa kemampuan kita belum cukup. Mengulurkan tangan, memberi bantuan kepada orang lain dengan kemampuan yang kita miliki saat ini, justru mengandung makna yang lebih mendalam. Kesempatan untuk berbuat baik, juga tak selamanya datang karena segala sesuatu selalu berubah.
Sahabat Dharma,.....
Kewelas-asihan yang timbul spontan untuk menolong orang lain dapat dilaksanakan kapan saja, dimana saja & dalam bentuk apa saja. Tidak perlu menunggu setelah kita memiliki kemampuan yang cukup, karena itu sebenarnya hanyalah alasan pembenaran guna menutupi ketidak-relaan untuk berkorban.
Sumber: fb artikel Buddhis