Namo Buddhaya
"Merendahkan Hati Membuahkan Karma yang Baik."
Oleh : YM Bhiksu Prajnavira Mahasathavira
Pada abad ke 18 di Amerika, suatu hari Presiden Franklin datang berkunjung ke rumah salah satu sesepuhnya yang jaman sekarang kita kenal dengan sebutan penasehat
Sesampainya di depan rumah sesepuhnya, ketika hendak melangkahkan kakinya melewati pintu yang bergaya China yang dipasang palang di bawahnya sehingga siapapun yang hendak memasuki rumahnya harus mengangkat kakinya lebih tinggi agar dapat melewati pintu tersebut dan palang pintu itu tidak boleh diinjak. Presiden Franklin memiliki postur tubuh yang tinggi layaknya orang-orang keturunan bangsa Barat tentu sulit untuk mengangkat kakinya lebih tinggi agar tidak mengenai palang pintu karena ia memiliki kaki yang panjang. Namun ketika dia berusaha untuk menjaga kakinya, tapi ia lupa bahwa tubuhnya yang tinggi sehingga kepalanya membentur kusen pintu di atasnya dan ia pun merasa kesakitan. Ketika sudah masuk ke rumah sesepuh itu dengan kepala yang kesakitan akibat benturan itu dan tidak melihat siapapun di dalam sana, ia pun bertambah jengkel karena ia hanya dapat menunggu sambil berdiri.
Tak lama kemudian si sesepuh datang menghampirinya sambil berkata, "Kamu bertandang ke rumah saya dan kamu telah mendapatkan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang paling berharga yaitu ketika kepalamu tertabrak kusen pintu itu.
Semasa hidup manusia harus 'membungkukkan badan', dengan kata lain merendahkan hati, jangan hanya melihat ke atas tapi kita juga harus melihat ke bawah.
Jika menginginkan hidup yang damai dan tentram, kita harus merendahkan hati kita. Dan jangan lupa, ilmu yang didapat hari ini adalah pengalaman yang paling berharga apalagi kamu sebagai pemimpin negara yang harus menjadi teladan yang baik bagi rakyat."
Sepulang dari rumah sesepuh itu, ia mengingat-ingat kembali ucapan yang cukup menyengat di pikirannya.
Maka semenjak kejadian hari itu, ia menjadi lebih rendah hati.
Pada usianya ke 20 tahun dia membuat 13 peraturan.
Peraturan pertama adalah diam bukan berarti menjadi bisu, tetapi tahu kapan saatnya kita untuk berbicara, dan jika mengucapkan kata-kata hendaklah disaring terlebih dahulu agar ucapan yang keluar dari mulut kita tidak menyinggung perasaan orang lain. Orang yang banyak bicara pun belum tentu semua yang dikatakannya adalah benar dan jujur. Lebih baik membiarkan orang lain berbicara dan menjadi pendengar yang baik.
Peraturan kedua dan seterusnya adalah tentang sila-sila (seperti vinaya) menepati janji, rajin, jujur, setia, berjiwa ksatria, tidak pilih kasih (adil), memiliki hati yang bersih, dan suci (tidak merokok, minum-minuman keras, dan narkoba), jiwa yang polos, berani, tidak sombong dan rendah hati.
Setelah peraturan itu dibuat dan ditetapkan, ada banyak kontroversi yang terjadi, ada yang setuju dan ada juga yang menentang namun ia tetap bertekad bulat. Dan lambat laun masyarakat sudah mulai dapat
menerimanya dan menetapkan Franklin sebagai Bapak fondasi, serta kerendahan hatinya membuat ia dihormati oleh rakyatnya.
Bagi umat Buddha khususnya, yang telah mempelajari Dharma, harus tahu bagaimana agar dapat mengikis sifat angkuh yang muncul dalam pikiran kita.
Jika ada orang lain yang memuji kita, hendaklah segera mengendalikan pikiran agar apa yang dikatakan orang tersebut tidak menghasut kita dan berpikirlah bahwa ketika mendapat pujian atas kelebihan yang dimiliki, maka dibalik itu semua kita memiliki kekurangannya.
Orang yang memuji kita harusnya dapat dikatakan lebih hebat karena dia dapat tahu kelebihan yang kita miliki.
Saat dipuji karena memiliki suara yang merdu, janganlah langsung beranggapan bahwa diri kita hebat, pikirkanlah bahwa masih banyak orang-orang di luar sana, penyanyi , dan artis yang memiliki suara yang lebih indah daripada kita. Dan janganlah berkecil hati ketika kita dihina ataupun dicela, anggaplah itu sebagai 'pecutan' buat kita untuk bersemangat lagi.
Kesombongan Hati Manusia
Majalah Buddhis Indonesia
Edisi ke 3 tahun 2006