Rabu, 25 Mei 2016

TARA BODHISATTVA


Oleh : Hendrick


Kita sering mendengar tentang berbagai Bodhisattva yang tampil dalam wujud pria dan bahkan ada anggapan bahwa hanya prialah yang dapat menjadi Samyaksambuddha. Lantas di manakah posisi perempuan dalam khazanah Buddhis? Apakah mereka hanya dapat menjadi seorang Shravaka Arhat, namun tidak sebagai Samyaksambuddha? Semua pertanyaan ini dapat kita jawab hanya dengan meresapi makna dari tindakan welas asih dari sang bakal Samyaksambuddha, yang dikenal dengan nama Bodhisattva Arya-Tara.


Arti nama Tara

Arti nama “Tara” adalah “Gadis Bintang” atau “Ia Yang Menyeberangkan”. Ia adalah penuntun semua makhluk agar dapat mencapai Pantai Seberang (Nirvana), maka dari itu disebut sebagai Jagattarini (juru selamat dunia). 

Para guru Buddhis seperti Sarvajnamitra, Dalai Lama ke-1 dan Lozang Tenpai Jetsun mengajarkan pentingnya untuk mendevosikan, menyerahkan dan menyandarkan diri kita pada Bodhisattva Tara, yang sanggup menolong kita dari berbagai bahaya dan menuntun kita agar mencapai Pencerahan.

“Tara” adalah nama yang populer bagi wanita di Tibet. Guru Candragomin di India pernah berkata:

“Jika kepada seorang perempuan bernama Tara, seseorang membangkitkan respek dan memberikan penghormatan, kebajikannya ini akan membawanya pada KeBuddhaan.”


Tara, Penolong Semua Makhluk

Tara dalam tradisi Vajrayana dikenal sebagai pemegang aktivitas welas asih para Buddha serta Ibu dari para Buddha. Bodhisattva Tara secara historis muncul dalam agama Buddha sejak abad ke-5 M.

Tara adalah prajna dari Buddha Amogasiddhi (salah satu Buddha Dhyani) dan memegang elemen udara.
Berasal dari keluarga Karma. Mampu mengubah kecemburuan dan iri hati menjadi kebijaksanaan yang tertinggi. 

Dalam Adhvayavajrasamgraha, Ia disebutkan berasal dari simbol Sansekerta ‘Tam’ yang berwarna hijau keemasan. Wujudnya bermacam, ada yang dua tangan, enam ataupun delapan. 

Ia mampu memberikan berbagai berkah abhijna. Banyak keajaiban yang berkenaan dengan rupang dan lukisan Tara. Konon di Kashmir terdapat rupang Tara yang mampu menyembuhkan lepra, rupang Tara yang lain secara ajaib memunculkan harta yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan para anggota Sangha, 
dan di Pharping, Nepal, terdapat gambar Tara yang muncul dengan sendirinya dan bahkan dapat menjadi hidup memberikan bantuan pada seorang pengemis sebagai biaya pernikahan untuk anak perempuannya. Banyak sekali rupang Tara yang dengan ajaib seolah-olah “hidup” memberikan bantuan pada para umat.

Sebagai Ibu dari para Buddha (sarva-buddhamata), Tara juga memanifestasikan sifat welas asih seorang ibu. Ia mengasihi semua makhluk seperti seorang ibu mengasihi anaknya yang tunggal.

Tara juga dikenal sebagai pembebas dari delapan ketakutan (Astamahabhaya Tara). 
Delapan ketakutan tersebut adalah singa (kesombongan), gajah (delusi), api (amarah), ular (iri hati), tenggelam dalam banjir (kemelekatan), iblis (keraguan), terikat (keserakahan) dan perampok (pandangan salah). 

Taramulakalpa yang berasal dari abad 7 M mengaitkan Tara sebagai aspek dari Avalokitesvara.

Tara dikelompokkan menjadi 21 Tara, namun secara lebih umum digambarkan ada 2 macam Tara yaitu Tara Hijau (Syamatara/Drolma) dan Tara Putih(Sitatara/Drolkar). Syamatara memiliki warna tubuh hijau dengan tangan kanannya membentuk mudra kemurahan hati dan tangan kirinya memegang bunga lotus biru yang mekar dari telinga kirinya. Ia memakai mahkota lima Buddha dan memakai semua ornamen bodhisattva, duduk di atas teratai Lalita.

Diceritakan bahwa karena welas asih-Nya yang sangat besar, Bodhisattva Avalokitesvara menangis ketika melihat penderitaan di dunia. Secara ajaib air mataNya berubah menjadi bunga teratai dan kemudian dari teratai tersebut muncul Tara Hijau (dari air mata kiri) dan Tara Putih (dari air mata kanan).

Wujud Tara Hijau di antaranya adalah Khadiravani Tara, Vasya Tara, Arya Tara, Mahattari Tara, Varada Tara, Durgottarini Tara, Dhanada Tara, Janguli Tara dan Parnasavari Tara. 

Tara Hijau berada pada Tanah Suci Buddha (buddhaksetra) yang bernama Yulokod (Yuloku) yang terdapat banyak sekali Bodhisattva wanita. 
Tanah Suci Tara ini digambarkan sebagai hutan hijau dengan pohon-pohon yang berbunga dan berbuah, binatang bernyanyi dan bermain.

Indah sekali Tanah Suci Tara ini. Praktik Tara Hijau dapat melenyapkan rintangan karma serta berbagai malapetaka. Banyak dari para Yogi dan Guru Buddhis yang mengalami kemujizatan Tara Hijau.

Wujud Tara Putih ada bermacam-macam seperti Astamahabhaya Tara, Mrtyuvancana Tara, Chaturbhuja-Sita Tara, Sadbhuja-Sita-Tara, Visvamata, Kurukulla, Janguli. 

Tara Putih sering diasosiasikan dengan kebijaksanaan. Digambarkan seputih bulan di musim gugur dalam posisi teratai penuh dan mempunyai tujuh mata, dua mata ditambah dengan mata ketiga di dahi dan empat mata masing-masing di telapak tangan dan kaki yang menunjukkan bahwa Ia melihat dan mengetahui semua penderitaan di alam semesta. Rambutnya berwarna hitam kebiruan. 
Di kepalaNya terdapat gambar Amitabha Buddha dan tangan kanannya membentuk varada-mudra. 
Tangan kirinya berada di posisi hati memegang setangkai bunga teratai yang mekar.

Tara Putih dikatakan memanifestasikan diri menjadi putri dari Tiongkok yang bernama Wencheng yang menikah dengan Raja Tibet Songtsen Gampo, sedangkan Tara Hijau menjelma menjadi Bhrkutidevi, istri Songtsen Gampo yang berasal dari Nepal.

Cintamanichakra Tara adalah wujud Pelindung dari Tara Putih. Tara Putih dikenal sebagai Bodhisattva yang mampu memberikan berkah penyembuhan pada mereka yang sakit. Dalam suatu ritual pelukisan Tara Putih, sang artis (pelukis) hanya boleh memakan makanan yang berwarna putih saja. 

Di masyarakat Newar, Nepal, terdapat puja Tara yang berkenaan dengan penyembuhan bernama Satva Vidhana Tara Puja.

Adapun perwujudan Tara Hijau yang lain, yaitu sebagai Bhrkuti Tara yang tercantum dalam teks Hevajra Tantra dan Arya Manjushrimulakalpa bersama dengan Arya Tara dan bodhisattva wanita lainnya. 
Pada saat berwujud biru, Ia mempunyai tiga kepala dan enam tangan. 
Pada saat berwujud kuning, Ia mempunyai satu wajah dengan tiga mata dengan alis yang tebal dan empat tangan. Keempat tangannya memegang tasbih, trisula, kalasa dan membentuk varada-mudra.
 
Taranatha dari India menceritakan kunjungan seorang upasaka bernama Santivarman dari Pundravardhana ke bukit Potala, bodhimandala dari Avalokitesvara. Dikisahkan bahwa Santivarman berdoa kepada Bhrkuti Tara agar ia dapat menyeberangi lautan dan seketika itu juga muncul seorang gadis dengan sebuah rakit yang kemudian membawanya menyeberangi lautan. 
Saat mendaki bukit Potala, ia memohon bantuan dari Avalokitesvara Bodhisattva untuk dapat mencapai puncaknya dan sesampainya di sana, Santivarman melihat gambar Bhrkuti Tara yang agung.

Dikenal pula Tara Merah yang dikenal sebagai Kurukulla atau Pithesvari, kemudian Ugra Tara yaitu Ekajati, Svapna Tara yang muncul dalam mimpi,Tara berwarna emas yaitu Rajasri Tara dan Vajra Tara yang bertubuh kuning. 

Vasudhara, Bodhisattva penganugerah kekayaan dikenal pula sebagai Tara Kuning. Rupang-rupang Tara di India dapat ditemukan di Bihar. Di Nepal juga ada banyak ikonografi Tara.

Figur-figur tersebut di atas umumnya muncul sebagai seorang gadis muda berumur 16 tahun yang sangat cantik. Ia diberi gelar sebagai penolong yang tercepat karena kesigapan dalam menolong orang-orang yang menderita. Bodhisattva Tara juga dikenal atas ikrarnya yang agung yaitu mencapai tingkatan KeBuddhaan dalam wujud seorang wanita.


Tara adalah Bodhisattva Buddhis

"Karakter dewi Hindu Tara sepenuhnya adalah Buddhis, maka dari itu sang dewi pastinya berasal dari agama Buddha.” (Benoytosh Bhattacharyya).

Prof. P. C. Jain dan Dr. Daljeet juga mengamini pendapat Benoytosh tersebut. Mr. M.K Dhavalikar menjelaskan bahwa asal mula Tara adalah Buddhis, menurutnya, Tara tidak pernah disebutkan dalam teks-teks Brahmanikal yang lebih tua. 
Ada yang mengatakan bahwa sebenarnya Bodhisattva Tara diadopsi agama Buddha dari seorang dewi Hindu bernama Tara. Namun fakta sejarah yang ada membuktikan bahwa hipotesa itu tidak berdasar sama sekali. Sayangnya, hipotesa yang keliru ini sudah menyebar di banyak kalangan, dikarenakan mereka menganggap agama Hindu lebih tua daripada agama Buddha, sehingga mereka menganggap umat Buddha yang mengadopsi Tara.

Rupang atau ikonografi Tara yang tertua justru ditemukan di goa-goa Buddhis di India Barat (Kanheri, Ellora, Nasik, Aurangabad dan Ajanta) yang berasal dari abad 6-7 M, bukan di tempat-tempat suci Hindu. 
Kitab tertua yang menyebutkan nama Dewi Tara adalah Guhyasamaja Tantra (abad ke 3 M atau sekitar 200-350 M) dan Arya- Manjusrimulakalpa (abad 2 sampai 4 M) yang menyebutkannya sebagai prajna dari Pancadhyani Buddha. “Tara adalah angin .... Arya Tara, pasangan dari Amoghasiddhi.” (Guhyasamaja Tantra)

Subandhu, seorang penulis yang hidup pada abad ke -5 (400 M) menulis dalam karyanya Vasavadatta: “Gadis Tara dapat terlihat, berdevosi pada bintang-bintang dan berjubah langit merah, sebagai seorang bhiksuni Buddhis.” (bhiksuki ‘vataranuragaraktambaradharini bhagavati samdhya samadrsyata).

Bahkan menurut sejarahwan Jestun Taranatha, Tara telah dikenal oleh Arya Hayaghosa (80-150 M), Arya Nagarjuna (150 – 250 M) dan muridnya Aryadeva (abad 3 M). 
Bukti nyatanya adalah syair pujian Candrakirti dan Nagarjuna pada Tara yang saat ini beberapa masih ditemukan versi Sansekertanya.

Nama Dewi Tara baru ada di kitab-kitab (Hindu) Purana yang muncul belakangan seperti Brahmanda Purana (400 M) dan Agni Purana dan kitab-kitab Tantra Hindu seperti Tararahasyavrttika (1630 M), Tarabhaktisudharnava (1680 M), Rudrayamala Tantra (1300 M) dan Brahmayamala Tantra (abad 9 M).

Tara dalam agama Hindu pertama kali muncul pada abad 6 M dengan munculnya pemujaan terhadap sepuluh dewi yang disebut sebagai Mahavidya.

Kitab-kitab Hindu yang berkenaan dengan Tara juga menunjukkan pengaruh agama Buddha seperti: kitab Hindu Tara-tantra (abad 6 – 8 M) yang mengaitkan nama Buddha Aksobhya dengan Tara dan Buddha sebagai Bhairava agung, kitab Hindu Tantra-sara (1580 M) menyebutkan bahwa rupang Buddha Aksobhya menghiasi mahkota Tara dan dipengaruhi oleh pancamudra yang dibentuk oleh Buddha Pancadhyani. 

Mahacinacara-sara Tantra (abad 6 M / 500 M) juga menghubungkan Buddha dengan pemujaan Tara, yang mana sang tokoh dalam kitab Tantra Hindu tersebut mempelajari pemujaan Tara Devi dari Sang Buddha.

Kitab Hindu seperti Mahacinacara-sara Tantra,Tara-tantra, Rudrayamala dan lain-lainnya menyebutkan seorang bernama Vasistha pergi ke Maha-cina (Himalaya, Tibet, Tiongkok) untuk mendapatkan pengetahuan tentang Tara dari Buddha, yang menurut Dewi Tara sendiri merupakan orang yang paling paham akan pemahaman dan praktik puja terhadap Tara. 

Pernyataan ini tampaknya menimbulkan hipotesa bahwa pemujaan Tara berasal dari Tibet, namun fakta historis tidak mendukungnya karena tidak adanya bukti-bukti nyata yang ditemukan dan peneliti seperti Rolf A Stein juga turut menolaknya.

Memang unik untuk melihat bahwa naskah-naskah Tara yang Hindu malah menunjukkan banyak kaitan dengan agama Buddha, sehingga dengan mudah dapat disimpulkan bahwa pemujaan Tara ini asalnya adalah Buddhis. Namun dari kesemuanya itu ada perbedaan mencolok antara Tara dalam agama Hindu dan Buddha. Tara dalam paham Hindu berwujud galak dan menyeramkan sedangkan Tara dalam agama Buddha lebih sering digambarkan dengan wujud yang damai, cantik dan penuh dengan welas asih.


Kisah Putri Jnanacandra

Menurut Taranatha, dalam catatannya tentang sejarah kitab Sarva-tathagata-matr-taravisvakarma- bhava Tantra atau singkatnya Tarabhava Tantra, Bodhisattva Tara dikisahkan pernah terlahir sebagai Putri Jnanacandra pada masa Buddha Dundubhishvara. Selama berjuta-juta tahun sang putri memberikan persembahan pada Buddha tersebut dan para Sangha yang terdiri atas para Shravaka dan para Bodhisattva. 

Akhirnya, ia berhasil memunculkan Batin Pencerahan Bodhicitta.

Setelah itu, beberapa bhiksu memberitahunya, “Karena akar dari kebajikan ini, jika engkau berdoa dengan tubuhmu saat ini, berharap untuk menjadi seorang laki-laki dan mempertunjukkan banyak tindakan yang sesuai dengan Ajaran, maka tubuhmu akan dapat berubah [menjadi laki-laki]. 

Itulah yang seharusnya engkau lakukan.” Terkejut mendengar ucapan para bhiksu, lantas sang putri berdiskusi dengan mereka. Akhirnya, dengan nada yang penuh dengan ketegasan dan semangat, Putri Jnanacandra berkata:

“Di dalam hidup ini tidak ada pemisahan antara laki-laki dan perempuan, tidak ada aku, tidak ada diri dan tidak ada kesadaran. Melekat pada label ‘pria’ atau ‘wanita’ tidaklah ada intinya, melainkan pikiran duniawi yang jahat dan sesat.

” Dan kemudian ia berikrar:

“Banyak yang ingin untuk mencapai Samyaksambodhi dalam tubuh seorang pria, namun tidak ada yang berbuat untuk kesejahteraan semua makhluk dalam tubuh seorang wanita. Maka, hingga samsara kosong, aku akan bertindak demi kesejahteraan semua makhluk dalam tubuh seorang perempuan.”

Kemudian selama berjuta-juta tahun, ia terlahir dan terlahir kembali sebagai putri di lingkungan kerajaan dan akhirnya berhasil mencapai tingkatan Anuttpatika Dharma-kshanti (tingkat Bodhisattva ke-8) merealisasikan meditasi “Menyelamatkan Semua Makhluk Hidup”. 

Dengan kekuatan dari meditasi ini, setiap pagi sebelum makan pagi, Ia membebaskan jutaan makhluk hidup dari samsara.

Dari tindakannya inilah, Ia mulai dipanggil dengan sebutan ‘Tara’ seperti yang diramalkan oleh Buddha Dundubishvara: “Selama engkau memanifestasikan Anuttara Samyaksambodhi, engkau hanya akan dikenal dengan nama Dewi Tara.”

Di kalpa berikutnya yaitu Vibuddha, Tara berikrar di hadapan Buddha Amoghasiddhi untuk melindungi semua makhluk di sepuluh penjuru alam semesta dari bahaya maupun Iblis Mara. Setiap harinya selama 95 kalpa lamanya, ia berkonsentrasi dalam Samadhi “Menaklukkan Semua Mara” dan membimbing beratus-ratus miliar pemimpin makhluk hidup dalam dhyana dan setiap sorenya menaklukkan satu miliar Mara Parinimitavasavartin.

Kemudian pada Kalpa ‘Tak Terhalangi’, seorang bhiksu bernama ‘Cahaya Suci Bersinar’ yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian menerima abhiseka dari para Buddha di sepuluh penjuru dan menjadi Bodhisattva Avalokitesvara. Cahaya dari semua Buddha menyatu menjadi cahaya welas asih dan cahaya kebijaksanaan, yang kemudian bersatu dan membentuk Tara. 
Ia muncul dari hati Avalokitesvara, memenuhi kehendak semua Buddha dan kemudian melindungi dan menyelamatkan para makhluk dari delapan sampai sepuluh macam ketakutan dan mara bahaya.

Pada kalpa Mahabhadra, Tara telah mencapai tingkatan ‘Tak Tergoyahkan’. Tara kemudian terus melatih diri dan pada kalpa Asanka, Ia mendapatkan abhiseka dari para Buddha dari 10 penjuru, yaitu mencapai keBuddhaan Sempurna (Samyaksambuddha). 

Sejak saat itu Tara menjadi Ibu dari para Buddha (Sarva-buddha-mata). Tara memiliki 32 tanda major dan 60 tanda minor seorang Samyaksambuddha, yang tentu tidak hanya dimiliki oleh seorang Samyaksambuddha pria.

Akhirnya, pada masa Bhadrakalpa ini, Avalokitesvara terlahir di bumi ini di Gunung Potalaka. Avalokitesvara mengajarkan sepuluh juta Tantra dari Bodhisattva Tara. Tantra-tantra tersebut kemudian diajarkan kembali oleh Guru Agung kita Buddha Sakyamuni, seperti yang disebutkan dalam komentara Tara Tantra, Dakiniguhya-bindu: “Ajaran-ajaran Tantra diajarkan oleh Sakyasimha (Sakyamuni) di puncak Gunung Potala (Putuo Shan).”

Buddha Sakyamuni pergi menuju Gunung Potala memberikan inisiasi Tara dan ajaran Vajrayana pada para makhluk hidup yang jumlahnya tak terbatas.

Tara Tantra kemudian diteruskan pada Bodhisattva Vajrapani. Praktik Tara Tantra dilakukan di Alakavati dan alam para Vidyadhara (salah satu makhluk alam dewa). 

Di dunia manusia, Vajrapani kemudian beremanasi menjadi Raja Indrabhuti dan menuliskan semua Tara Tantra dalam bentuk kitab-kitab. Setelah itu, praktik Tara tersebar luas di kalangan yogi dan yogini di Jambudvipa (India).

Buddha membabarkan Sarva-tathagata-matrtara-visvakarma-bhava Tantra di Surga Tusita pada para dewa dan Bodhisattva, beliau juga membabarkan Sutra Aryatara-astaghora-tarani (Sutra Tara yang Menyelamatkan dari 8 Ketakutan) di Gunung Meru.


Guanyin Wanita Berjubah Putih adalah Tara

Di Tiongkok, tampaknya beberapa orang berpikir bahwa Tara adalah satu bentuk Avalokitesvara /Guanyin, salah satu dari beberapa perwujudan(emanasinya). Identifikasi Tara dengan Avalokitesvara/ Guanyin ini sangat jelas (terlihat) dalam satu perwujudan Guanyin yang paling terkenal, yaitu Guanyin Berjubah Putih (Baiyi Dashi). 
Nama Tionghoa dari perwujudan Guanyin ini tampaknya adalah terjemahan langsung dari Sansekerta Pandaravasini (ia yang berjubah putih), salah satu sebutan bagi Tara Putih. Wujud wanita Guanyin ini diperkenalkan di Tiongkok kira-kira pada abad ke-8 M dan menjadi sangat populer di abad 10 M. (The Goddesses Mirror oleh David R.Kinsley)

Belakangan ini timbul hipotesa bahwa Guanyin di Tiongkok sebenarnya adalah Dewi Tiongkok kuno yang kemudian diadopsi oleh agama Buddha. Namun ini sesungguhnya tidak benar sama sekali. Penting untuk diketahui bahwa di India dan Nepal, di tanah kelahiran Sang Buddha sendiri, telah dikenal sosok perempuan dari Avalokitesvara. Siapakah sosok perempuan Avalokitesvara itu? Beliau adalah Tara Bodhisattva dan Pandaravasini. Setelah masuk ke Tiongkok, sosok perempuan Avalokitesvara itu mengalami adaptasi dan kemudian diadopsi oleh berbagai agama di Tiongkok.

Banyak sekali sejarawan ternama yang mengatakan bahwa Pandaravasini dan Tara di India adalah pelopor adanya Baiyi Guanyin

(Guanyin Wanita Berjubah Putih) di Tiongkok, di antaranya adalah

H.Maspero, Kenneth Chen dan Profesor Lokesh Chandra.
Henri Maspero dan Kenneth Chen mengatakan bahwa Baiyi Guanyin adalah Pandaravasini - 白衣女神(berjubah putih) dan juga wujud Tionghoa dari Tara Putih - 白多罗(Sitatara), consort dari Avalokitesvara dan merupakan Bodhisattva yang sangat penting dalam tradisi Tibetan.

Ketika Pandaravasini pertama kali diperkenalkan ke Tiongkok pada masa Dinasti Tang, menurut pandangan ini, Ia berubah menjadi Dewi Kesuburan karena Pandaravasini termasuk dalam Garbhadhatu (Mandala Rahim). Kata-kata rahim tersebut membuat Pandaravasini juga dijadikan sebagai Dewi Pemberi Anak oleh masyarakat Tiongkok, yang dikenal dengan nama Songzi Guanyin.

Baiyi Guanyin pertama kali diperkenalkan ke Tiongkok melalui teks Dharani Tantrik yaitu Tuoluoni Zaji (Dharani Lain-lain) yang diterjemahkan pada abad ke-6 M (masuk dalam daftar terjemahan Dinasti Liang, tahun 502-557 M). 

Seperti dalam teks-teks Tantra yang membutuhkan visualisasi, perwujudan Baiyi Guanyin digambarkan dengan jelas dalam teks yang berasal dari abad ke-6 M tersebut. Wujud Baiyi Guanyin dalam teks Tuoluoni Zaji tersebut, tanpa menyebutkan gender, adalah memakai jubah putih dan duduk di atas teratai dengan memegang teratai (bukan dahan willow) dan tangan lainnya memegang vas (botol/kundalika). RambutNya disanggul ke atas. 
Teks Tantrik ini diduga yang menjadi basis dari perwujudan Baiyi Guanyin.

Pandaravasini memiliki arti “Yang Berjubah Putih”. Dalam konsep Mahayana dan Tantra, Beliau adalah prajna dari Buddha Amitabha, salah satu dari 5 Prajna dari Buddha Dhyani. Bersama-sama dengan Amitabha dan Avalokitesvara, mereka adalah Sambhogakaya dari Buddha Sakyamuni. 

Lantas bagaimanakah Pandaravasini ini dihubungkan dengan Avalokitesvara dan Tara?

Dalam Mahavairocana Sutra/Tantra disebutkan bahwa Pandaravasini berada dalam Garbhadhatu Mandala (Mandala Rahim). Beliau duduk berdekatan dengan Tara Bodhisattva. Yang menarik adalah, bahwa Pandaravasini dan Tara terletak dalam barisan kelompok Avalokitesvara dalam Mandala tersebut. Pandaravasini adalah Ibu dari keluarga Teratai (salah satu keluarga Buddha) dan pemimpin dari keluarga Teratai tersebut adalah Avalokitesvara. Ia diberi nama “Kediaman Putih” (Baizhu) karena Ia tinggal di teratai yang putih suci. Tara juga mendapat panggilan ‘Avalokitesvara Sang Ibu’. Dengan demikian antara Avalokitesvara, Tara dan Pandaravasini terdapat keterkaitan yang amat erat.

“Dalam Garbhadhatu Mandala, Bodhisattva ‘Kediaman Putih’, ‘Tubuh Putih’ dan ‘Tubuh Putih Maha Terang’ (Daming Baishen) yang berada di barisan Guanyin, semuanya berjubah putih dan dapat disebut Baiyi. Putih adalah simbol dari pikiran yang tercerahkan, yang ‘melahirkan’ semua Buddha dan Bodhisattva. Oleh karena itu para Bodhisattva perempuan yang berada dalam barisan Guanyin kebanyakan berjubah putih, karena mereka adalah Ibu dari Buddha dan Bodhisattva.”

Dalam Mahavairocana Sutra yang diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa dan Tibet pada abad ke-7-8 M dikatakan bahwa Bodhisattva

Tara adalah emanasi Avalokitesvara (Guanyin) yang juga memakai jubah putih: “Di kananNya (Avalokitesvara) duduklah Sang Dewi, yang dikenal dengan nama Tara agung. Ia sangat berkebajikan dan mampu melenyapkan ketakutan. Warna tubuhnya hijau muda dengan wujud yang beraneka ragam.
Ia mengambil wujud sebagai seorang remaja perempuan. Di tanganNya yang saling menutup, dibawanyalah sebatang teratai biru. Ia dikelilingi oleh cahaya dan memakai jubah putih.”

Buddhaguhya (sekitar 700 M), seorang Bhiksu Vajrayanis yang berdiam di India dan menerima ajaran Mahavairocana dari Lilavajra, memberikan komentarnya mengenai Tara dalam Mahavairocana Sutra: “Memakai jubah putih: Ini menyimbolkan keagunganNya. Seperti tubuh seseorang yang ditutupi dan menjadi tampak sederhana oleh pakaian, maka dari itu keagungan adalah simbol kesederhanaan, karena itu Ia teragungkan. Putih menyimbolkan kesucian dari keagungan. Mengapa Ia teragungkan? Karena keagungan adalah kualitas dari para Bodhisattva.”

Dalam Sutra Mahavairocana tersebut juga disebutkan tentang Pandaravasini yang berpakaian putih: “Dekat dengan Tara, yang bijak seharusnya menggambar Pandaravasini. Ia memiliki rambut ikal yang dijalin dan memakai pakaian berwarna putih. Di tanganNya Ia memegang setangkai bunga teratai.”

Buddhaguhya memberikan komentarnya: “Pandaravasini: Namanya memiliki arti ‘Ia yang berdiam dalam putih’ atau ‘Ia yang memakai jubah putih’ karena Ia berada di kesucian dharmadhatu. Ia digambarkan dekat dengan Tara dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa Dewi Tara tidak hanya
melakukan tindakan penyelamatan bagi semua makhluk hidup, tetapi Ia juga berlindung pada kesucian dharmadhatu.

” Dalam kitab Manjushri mulakalpa (abad 2 – 4 M) juga disebutkan berbagai dewi emanasi yang menemani Avalokitesvara, di antaranya Pandaravasini dan Bhrkuti Tara yang kemudian dilanjutkan dengan deskripsi terhadap Tara: “Dewi yang merupakan Welas asih dari Aryavalokitesvara, [yaitu] Arya-Tara, dihiasi oleh berbagai ornamen.”

Seperti kita tahu, Bodhisattva Tara merupakan figur perempuan yang paling terkenal di kalangan Buddhis Vajrayana. Pemujaan-Nya sangat popular baik di India, Nepal, Tibet ataupun di tanah air kita sendiri yaitu Indonesia.

Ia berikrar untuk mencapai Ke-Buddhaan dalam wujud seorang perempuan dan merupakan simbol dari aktivitas semua Buddha. Ia terlahir dari air mata Avalokitesvara.

Tara Putih terlahir dari air mata yang terjatuh dari mata kiri, sedangkan Tara Hijau dari mata kanan Avalokitesvara. Tara sendiri adalah consort dan prajna dari Avalokitesvara, menandakan bahwa pada hakekatnya Tara dan Avalokitesvara adalah sama, demikian juga dengan Pandaravasini.

Sekte Shingon di Jepang mengenal delapan manifestasi Guanyin, dua di antaranya adalah Pandaravasini dan Tara. Ini berasal dari Sutra Mahavairocana, di mana telah disebutkan di atas bahwa Pandaravasini dan Tara berada dalam barisan kelompok Avalokitesvara.

Bahkan dalam adalah Baiyi Dashi [Guanyin] Wu Yinxin Tuoluoni Jing (Pancamudra Dharani Pandaravasini Mahasattva [Avalokitesvara] Sutra), yang merupakan sebuah Sutra mengenai Guanyin perempuan yang berbaju putih, terdapat mantra dari Bodhisattva Tara yaitu: Om Tare Tuttare Ture Svaha.

Gunung Putuo (Potala) di Tiongkok adalah tempat suci bagi Guanyin, yang berwujud wanita berpakaian putih dan ini bukanlah tanpa dasar sama sekali. 

Sejarawan Taranatha mengisahkan bahwa di India ada
dua yogi bernama Buddhasanti dan Buddhaguhya yang pergi ke gunung Potala. Di sana Arya-Tara Bodhisattva membabarkan Dharma pada para naga dan Bodhisattva Bhrkuti, saudara perempuan Tara mengajar para asura dan yaksa, sedangkan di puncak gunung Bodhisattva Avalokitesvara sedang berdiskusi dengan Vajrapani yang akhirnya menyimpulkan bahwa kebajikan Tara adalah yang paling baik untuk melenyapkan penderitaan para makhluk. Kemudian Avalokitesvara membabarkan 108 nama Tara atau Arya-tarabhattarika-namastottarasataka Stotra, yang menyebutkan bahwa Arya Tara berada di Gunung Potalaka (Putuo Shan).


Tara dan Nyai Rara Kidul

Di pulau Jawa pada zaman dahulu, Bodhisattva Tara dipuja dengan hebat dan agung di Candi Kalasan,Jawa Tengah. Konon dulu Guru Dharmakirti di Svarnadvipa (Sumatra) dapat terus menerus melihat wajah Dewi Agung Tara.

 Bodhisattva Tara pertama-tama dikenali sebagai pelindung navigasi dan salah satu aspek dari Aryasthamahabhaya Tara adalah pelindung dari bahaya air. Warna hijau juga sering dikaitkan dengan Tara, yang bermakna “kesegaran atau aktivitas”. Wujud tersebut dinamakan sebagai Vasya-Tara, yang dulu rupangnya berada di Candi Kalasan. 

Dari ciri-ciri di atas, kita tahu bahwa Kanjeng Ratu Kidul juga memiliki kedua aspek tersebut yaitu samudra (navigasi/air) dan warna hijau. Secara mengejutkan pula, Ratu Kidul tampak memiliki teratai biru wijayakusuma, mirip seperti Bodhisattva Tara yang memegang teratai biru (utpala) juga.

Berbagai kemiripan memang dapat kita temukan dalam diri Arya Tara dan Ratu Kidul. Bodhisattva Tara juga dikenal dalam wujud nagini yang bernama Janguli, sedangkan di kalangan masyarakat Jawa, Ratu Kidul dikenal sebagai dewi ular naga (nagini). Kemungkinan Kanjeng Nyai Rara Kidul ini berasal dari dua penggabungan aspek dari Durga dan Dewi Sri. Dan menarik pula, bahwa Tara Bodhisattva memanifestasikan dirinya sebagai Parnashavari yang memiliki aspek mirip Durga sekaligus sebagai Vasudhara yang tak lain adalah Dewi Sri. Maka dari itu Tara dapat dikaitkan dengan aspek damai dan keras dari Nyai Rara Kidul. Menurut Koentjaraningrat, sebutan “Nyai” sendiri merujuk pada jajaran kedewataan pada masa Hindu-Buddha.

Nyai Rara Kidul diberi sebutan Ratu Kidul karena ia adalah pemimpin para dewa-dewi, peri-peri dan setan-setan. Istananya berada di dasar Samudra tepat di pantai selatan Jawa Tengah. Ia adalah penguasa arah mata angin bagian selatan, sedangkan penguasa bagian utara yang bertahta di hutan Krendawahana adalah dewi Sanghyang Pramoni(Durga). Bodhisattva Tara sendiri dikenal sebagai Bodhisattva yang dapat menaklukkan semua ghana(kurcaci, pengikut Siva), vetala (vampir/mayat hidup) dan yaksha, bahkan iblis Mara (kematian);pun juga dipuja oleh para gandharva dan makhluk-makhluk di atas.

Simbolisasi Tara menaklukkan iblis Mara ini mungkin kemudian berpengaruh terhadap Nyai Rara Kidul yang terus-menerus menjadi muda kembali.

Rara Kidul dapat menjadi tua ataupun muda,demikian juga Tara dapat bermanifestasi menjadi perempuan tua ataupun muda. Lara atau Rara berarti seorang gadis, sehingga dapat disimpulkan bahwa ikonografi Ratu Kidul seharusnya berperawakan perempuan muda, mengingatkan pada wujud fisik Tara sebagai gadis berumur 16 tahun.


Kesimpulan
Peran wanita dalam perkembangan suatu agama tidak dapat diremehkan. Kemuliaan perbuatan bajik dan pencapaian pencerahan tidak memandang jenis kelamin. Bahkan inti ajaran para Buddha (maître karuna) dilambangkan sebagai cinta kasih seorang ibu pada anaknya yang tunggal yang kemudian diwujudkan dalam diri Bodhisattva Tara yang selalu dengan sigap menolong para makhluk dan memeluk mereka dalam pelukan welas asih dari seorang Ibu.

Welas asih Ibu Tara tak mengenal batas dan terbukti telah banyak para makhluk yang telah ditolongnya di bumi Jambudvipa ini. Dengan memakai jubah putih yang anggun, Beliau mengayomi serta menjawab doa-doa segenap umat Buddhis Tiongkok dan Timur Jauh selama berabad-abad lamanya. Dengan welas asihnya yang besar, beliau bertindak sebagai seorang Ibu bagi bangsa Tibet. Bertahta di candi yang terletak di Jawadvipa, Beliau melindungi seluruh Nusantara.

Bersemayam di dalam pencerahan agung, Ibu Tara melindungi semua makhluk di manapun mereka berada, bagaikan “bintang” yang memberikan cahaya, menuntun kita untuk keluar dari samudra kegelapan.


Pustaka Utama:

Willson, Martin. In Praise of Tara: Songs to the Saviouress

Bhattacharyya, Benoytosh. An Introduction to Buddhist Esoterism

Praharaj, Gitani. Tara

Bhattacharya, Bikas Kumar. Tara in Hinduism: Study with Textual and Iconographical Documentation

Kinsley, David. Tantric visions of the divine feminine:

the ten Mahāvidyās

Donaldson, Thomas E. Iconography of the Buddhist

Sculpture of Orissa: Text

Regmi, Jagdish Chandra. Goddess Tara: A Short Study

Weidner, Marsha Smith. Latter Days of the Law:

Images of Chinese Buddhism

Teoh Eng Soon. Guan Yin

Chunfang, Yu. Miracle Tales and the Domestication of Kuanyin

Hodge, Stephen. Maha-vairocana-abhisambodhi