Jumat, 27 Mei 2016

MAITREYA Bodhisattva

Pemelintiran Kitab Suci oleh MLDD

Versi Buddhis
Sasa Jataka

Kisah ini dituangkan dalam bentuk relief pada candi Borobudur, serambi pertama dinding bagian luar, deretan atas gambar ke-23, 24, 25 dari gerbang Timur ke jurusan Selatan.

Pada suatu peristiwa, Sang Bodhisattva dilahirkan sebagai seekor kelinci. Ia berkawan dengan seekor kera, seekor serigala, dan seekor berang-berang. Mereka hidup berbahagia dalam sebuah hutan; selalu bersama, pergi kian kemari untuk mencari makan. Di antara keempat sekawan itu, kelincilah yang paling pandai.

Sepuluh hari sekali mereka berkumpul pada tempat yang telah ditentukan untuk membicarakan suatu hal. Kelinci menjadi juru nasehat yang selalu menganjurkan agar mereka berbuat baik, membantu sesama makhluk atau memberi sedekah dan berbuat kebajikan pada hari-hari suci. 

Pada suatu malam, menjelang bulan purnama, berkatalah sang kelinci, “kawan-kawan, besok adalah bulan purnama, marilah kita bersama-sama merenungkan Sang Ajaran.” (Yang dimaksud adalah Ajaran Atha Sila, yang biasanya direnungkan pada hari Uposattha, setiap tanggal 15 bulan lunar di mana pada malam harinya bulan berbentuk bulat penuh) 

Jika ada seseorang yang datang meminta sesuatu dari kita, harus kita berikan apa yang kita miliki. Dana yang dikerjakan dengan Sila adalah sangat berjasa. Kera, serigala, dan berang-berang menyatakan persetujuan penuh dan masing-masing berkemas untuk keesokan malamnya. Berang-berang mendapat beberapa ekor ikan pada dasar sungai yang kering. Serigala menyediakan air susu asam, sedangkan kera mendapatkan mangga manis. 

Pada malam purnama keesokan harinya, mereka berkumpul lagi dan dengan khidmat bersama-sama merenungkan Sang Ajaran. Kelinci yang tidak membawa persediaan makanan, berpikir dengan ikhlas akan menyerahkan dagingnya sendiri apabila diminta untuk dimakan. 

Jika di atas bumi ini ada seseorang yang sangat saleh, maka singgasana Sang Sakka Mahadewa seketika menjadi panas. Pada malam itu pula, tahta Sang Sakka seolah-olah terbakar disebabkan oleh kesucian kelinci yang dengan ikhlas bersedia mengorbankan raganya sendiri. Sang Sakka mengarahkan penglihatan gaibnya di atas bumi dan segera menemukan jawabannya. 

Untuk menguji ketulusan hati si kelinci, maka Sang Sakka menjelma sebagai seorang Bhramana yang datang meminta-minta. Mula-mula didatangilah berang-berang yang bertanya, “Brahmana yang berbudi, apa ada gerangan Tuan datang kemari? 

“Oh, kawan yang baik, jika ada sesuatu yang dapat kami makan, kami akan ikut pula merenungkan Ajaran seperti Tuan.” Berang-berang senang sekali mendengarkan hal itu dan seketika itu pula menawarkan ikan-ikannya. Tetapi Sang Sakka menolak dengan halus dan berterima kasih dengan alasan bahwa hari masih siang. 

Demikianlah pula berturut-turut ia mengucapkan terima kasih dan menolak pemberian air susu dari serigala dan buah mangga yang manis dari kera. Akhirnya didatangilah si kelinci dan kembali Sakka meminta sesuatu untuk dimakan. Si kelinci sangat besar hatinya, karena kesempatan yang ditunggu-tunggu telah datang. 

Maka ujarnya dengan riang, “Oh, Brahmana yang berbudi, adalah baik hati Tuan yang sudi menerima makanan dari kami dan sudi pula merenungkan Ajaran-ajaran bersama kami. Akan kami sajikan apa yang belum pernah kami berikan. Silahkan mengumpulkan kayu bakar dan membuat api; kami akan melompat ke dalamnya dan mempersembahkan hidup kami kepada Tuan. Jika daging kami telah masak, silahkan mengambil dan memakannya agar Tuan dapat pula merenungkan Ajaran.” 

Seperti yang telah diminta, dengan kekuatan gaibnya Sang Sakka mengumpulkan kayu bakar dan membuat api. Kemudian Ia memanggil si Kelinci. Kelinci lekas-lekas memandikan diri; menggetarkan badannya tiga kali agar kutu-kutu pada kulitnya tidak turut terbakar dan tanpa ragu lagi, ia melompat ke dalam api yang menyala-nyala. Betapa besar pengorbanan itu. Betapa gembiranya ia menyerahkan nyawanya sendiri . Meskipun ia hanya seekor binatang saja, dalam pengorbanan itu masih pula diutamakan keselamatan kutu-kutu yang selama hidup mengisap darahnya sendiri. Tetapi ajaib! Kelinci yang terjun ke dalam api tersebut, tidak terbakar; bahkan ujung-ujung bulunya pun tidak terbakar. Sang Sakka menangkap kelinci yang gagal itu dalam tangannya dan melindungi nyawanya. 

Untuk menghargai jasa tulus dan ikhlas itu, dan untuk menyiarkan hal itu kepada seluruh umat, maka Sang Sakka memahat gambar kelinci pada bulan yang memutari bumi hingga saat ini masih dapat kita lihat. 

Asanga bertemu Maitreya 

Asanga, seorang Bodhisatva, pemikir yang sangat berpengaruh di abad ke 5, perintis Yogācāra (“Practice of Yogā”). Ia lahir di Purusapura (Peshwar), keluarga Kausika, brahmin India. Setelah mempelajari Dharma, ia ingin bermeditasi. Ia mengasingkan diri dan bermeditasi supaya bisa bertemu dengan Maitreya dan berharap mendapatkan pelajaran dari beliau. 

Asanga bermeditasi di Gunung. Setelah 3 tahun, belum berhasil ketemu Maitreya. Suatu hari, ketika berjalan-jalan di luar gua, Asanga melihat burung yang mendarat di batu. Ketika sayap burung menyentuh batu, Asanga melihat cerukan dalam yang telah terpahat di batu. 

Asanga berpikir tentang tahun-tahun tak terhitung yang mengakibatkan sapuan halus sayap burung bisa meninggalkan cerukan sedalam itu. 

Sewaktu kembali, Asanga mendengar tetesan air ke batu. Dilihat lebih jelas, ada tetesan air yang telah membuat batu di bawahnya berlubang dan meninggalkan jejak aliran dalam. 

“Jika sayap burung dan air dapat memotong batu, begitu juga aku, melalui meditasi, memotong lapisan pikiran dan mencapai kebijaksanaan.” 

3 tahun berlalu, Asanga belum mendapat hasil. Ketika Asanga turun gunung mencari makanan, Di tengah jalan, melihat seorang tua sedang mengasah batang besi jadi jarum dengan kapas. Asanga bertanya: “bagaimana mungkin batang besi ini bisa diasah jadi jarum?” Orang itu menjawab "Jika seseorang benar-benar berniat melakukan sesuatu, ia tidak akan menemui kegagalan, biarpun hal itu sepertinya tidak mungkin. Setelah mengalami kejadian ini, Asanga kembali naik gunung lagi, melanjutkan latihannya. 

Setelah 3 tahun, tetap tidak ada tanda-tanda kehadiran Maitreya. Muncul lagi niat mundur, ia pun turun gunung. Di tengah jalan, ia melihat sebuah pilar batu yang menjulang tinggi ke langit. Di dasar pilar ada seorang lelaki sedang berusaha memotong batu itu dengan sehelai bulu yang dibasahi air. "Batu ini sangat besar dan menghalangi sinar matahari ke rumahku. Aku akan menyingkirkannya" 

Asanga berpikir, jika seseorang mampu melakukan sesuatu yang sangat berdedikasi hanya untuk urusan duniawi, mengapa dia yang melakukan praktek spiritual malah cepat menyerah? Dia malu pada dirinya sendiri dan kembali melanjutkan retretnya. 

Asanga melanjutkan meditasi untuk keempat kalinya. Tetapi setelah 12 tahun berlalu belum juga melihat Maitreya. Ia pun sudah patah semangat. Ia memutuskan untuk menyerah. 

Dalam perjalanan, Asanga melihat seekor anjing tua yang sedang sekarat dengan bagian bawah tubuh terluka dikerumuni banyak belatung. Rasa welas asih yang sangat besar muncul dalam diri Asanga. Ia berpikir, "Anjing ini akan mati bila belatung tidak dikeluarkan, namun belatung-belatung akan mati bila dikeluarkan begitu saja. Karenanya aku akan memotong daging dari tubuhku untuk makanan belatung, maka selamatlah baik anjing maupun belatungnya." 

Apabila ia memindahkan dengan jarinya, maka belatung-belatung akan mati terbunuh. Dengan sebilah pedang, ia memotong dagingnya sendiri, dengan lidahnya, namun tidak dapat mencapainya. Saat membuka mata, Arya Maitreya nampak berdiri di hadapannya dengan Mahapurusha-lakshana yang agung. Takjub, Asanga berkata sambil bercucuran air mata: "Oh Ayahku ! Pelindungku ! Selama bertahun-tahun aku melakukan beratus-ratus usaha namun tidak membawa hasil. Ketika aku haus dan didera penderitaan, mengapa engkau tidak menurunkan hujan amrita dari samudra awan kemuliaanmu ? Mengapa engkau hanya menunjukkan belas kasih yang kecil kepada kami ?" 

Arya Maitreya menjawab, "Sebagaimana ungkapan, meskipun raja dari para dewa menurunkan hujan, biji yang mati tak akan bertunas. Demikian pula meskipun para Buddha muncul, ia tak terlihat oleh mereka yang kurang kebajikannya. Aku telah berada bersamamu sejak awal, Aku tidak pernah terpisah denganmu, tapi karena terhalang oleh karmamu, engkau tak dapat melihatKu. Sebaliknya, setelah noda dan rintanganmu dimurnikan oleh pelatihan mantramu yang banyak dan oleh welas asihmu sehingga berani memotong dagingmu sendiri, kini dirimu dapat melihatKu." Arya Maitreya kemudian berkata, "Tetapi untuk membuktikan kebenaran pernyataan ini bagimu, gendonglah dan bawa Aku ke kota !" 

Asanga membawa Bodhisattva ke kota, namun tidak ada satu orang pun yang melihat Arya Maitreya, kecuali seorang wanita tua melihat Asanga menggendong bangkai anjing. Karena penglihatannya itu, ia mendapatkan keberuntungan yang tiada akhir. Seorang tukang tembikar melihat kaki Arya Maitreya, segera ia berada dalam keadaan samadhi dan mencapai banyak siddhi. Pada saat itu Asanga juga mencapai samadhi "kesadaran akan keberadaan." 

"Apa keinginanmu sekarang ?" tanya Maitreya Bodhisattva. "Memulihkan ajaran Mahayana," jawab Asanga. "Baiklah pegang ujung jubahku." Arya Asanga mengikuti nasihat tersebut dan pergi ke Surga Tusita, berada di sana selama 50 tahun manusia mendengarkan Dharmadesana dari Arya Maitreya dan sangat paham baik makna maupun kalimat demi kalimat. Ia mendengarkan "Lima Dharma Maitreya" yang dibukukan di Dharmankura Vihara di Veluvana. Kelima teks tersebut adalah Abhisamayalamkara, Mahayanasutralamkara, Dharmadharmatavibhanga, Madhyantavibhanga, dan Uttaratantra Shastra [Ratnagotravibanga]. 

Sansekerta: Arya Matripranidhanaraja
English: Arya Maitreya Kings of Prayer

Doa aspirasi Arya Maitreya

Hormat kepada semua Buddha dan Bodhisattva!
Ananda, di masa lalu ketika Bodhisattva, Sang Makhluk Agung Maitreya,
melakukan aktivitas bodhisattva, 
tiga kali di pagi hari dan tiga kali di malam hari, beliau menyandangkan jubah dharmanya pada sebelah bahunya, berlutut dengan kaki kanan di tanah
dan merangkapkan tangannya (anjali), mengucapkan aspirasinya dengan doa berikut:

Aku bersujud kepada semua Buddha
Kepada semua Bodhisattva, resi yang memiliki mata batin
dan kepada para Shravaka, aku bersujud

Yang membalikkan jalan menuju alam rendah
Dan dengan sempurna menunjukkan jalan menuju kelahiran di alam bahagia
Yang membimbing menuju keadaan bebas dari tua dan mati
Kepada Bodhisattva aku bersujud (atau Kepada Bodhicitta aku bersujud)

Apapun perbuatan salah yang telah kulakukan
Yang dilakukan karena pengaruh pikiran (negatif)
Di hadapan para Buddha
Aku mengakui mereka

Dengan kumpulan kebajikan yang kulakukan
Dengan berbagai cara dari tiga aktivitas
Dan dengan bibit ke-mahatahuanku
Semoga aku mencapai pencerahan yang tak ada habisnya

Dalam dunia-dunia di sepuluh penjuru
Apapun persembahan yang diberikan kepada Para Buddha
Diketahui dan disukai oleh para Buddha
Aku pun ikut bersukacita (mudita)

Aku mengakui semua perbuatan salah
Aku ikut berbahagia dalam semua perbuatan bajik
Aku memberi hormat kepada semua Buddha
Semoga aku mencapai kebijaksanaan agung

Aku memohon kepada para Bodhisattva
Yang berada pada tingkat ke-sepuluh
Yang berada di sepuluh penjuru
Aku memohon supaya mereka mencapai Ke-Buddhaan, pencerahan sempurna

Setelah mencapai ke-Buddhaan - pencerahan yang mulia
dan mengalahkan Mara dan pasukannya
Untuk kebaikan semua makhluk
Semoga Engkau memutar roda Dharma

Semoga suara tambur Dharma yang agung
Membebaskan makhluk-makhluk dari penderitaan
Semoga Engkau tetap tinggal, mengajar Dharma
Selama kalpa-kalpa yang tak terhitung

Untuk mereka yang tenggelam dalam kubangan nafsu keinginan
Terikat dengan kuat oleh tali kemelekatan
Dan terbelenggu oleh semua jenis ikatan
Semoga Buddha - Yang Tertinggi di antara manusia melihat mereka

Makhluk - makhluk yang pikirannya ternoda
(semoga) Buddha tidak menolak
Semoga Yang mempunyai welas asih terhadap makhluk-makhluk
Membebaskan mereka dari lautan samsara

Yang mencapai pencerahan sempurna yang berada pada saat ini,
Buddha di masa lalu, dan yang mereka yang belum datang,
Dengan mengikuti contoh mereka,
Semoga aku mempraktekkan aktivitas Bodhisattva

Setelah menyempurnakan enam paramita
Semoga aku membebaskan makhluk dari enam alam
Setelah mencapai enam kekuatan supernormal
Semoga aku mencapai pencerahan sempurna!

sudah menjadi sifatnya bahwa tidak ada yang telah muncul, 
tidak ada yang akan muncul, tidak ada yang eksis (saat ini), 
tak ada (obyek) yang berdiam, tak ada subyek, tidak ada suatu hal yang eksis
Semoga aku merealisasikan kekosongan fenomena (sunyata)

(Sesungguhnya) seperti tidak ada Buddha, tak ada resi agung,
tidak ada makhluk biasa, tidak ada kehidupan,
tidak ada makhluk hidup, dan tiada yang hidup
Semoga aku merealisasi ke-tanpa aku-an (anatta)

Bebas dari ego dan kemelekatan
Kepada semua fenomena/materi
Demi kebaikan semua makhluk
Semoga aku dapat mempraktekkan kemurahan hati tanpa kekikiran

Dengan melihat benda-benda seperti apa adanya 
Semoga aku mendapat kekayaan secara spontan!
Karena semua hal adalah tidak kekal
Semoga aku menyempurnakan kesempurnaan kemurahan hati (dana paramita)

Dengan etika yang tanpa cela
Dan memiliki disiplin moral yang sempurna
Dengan etika yang tanpa kesombongan
Semoga aku menyempurnakan kesempurnaan moral (sila paramita)

Dengan kesabaran tanpa kebencian
Seperti elemen tanah dan air 
api dan udara yang tidak tetap
Semoga aku mencapai kesempurnaan kesabaran (ksanti paramita)

Dengan mengembangkan usaha yang bersemangat
Stabil, dengan gembira, tanpa kemalasan
Dengan pikiran dan tubuh yang kuat
Semoga aku mencapai kesempurnaan semangat (viriya paramita) 

Dengan samadhi yang seperti ilusi magis
Dengan samadhi yang seperti panglima yang dituruti dengan baik
Dan dengan samadhi yang seperti vajra
semoga aku mencapai kesempurnaan konsentrasi (dhyana paramita)

Dengan secara langsung merealisasikan tiga pintu pembebasan
persamaan tiga waktu dalam kesunyataan
dan tiga jenis pengetahuan
semoga aku mencapai kesempurnaan kebijaksanaan (prajna paramita)

(Setelah mencapai keadaan) yang dipuji oleh semua Buddha
dengan cahaya dan kemegahan
dengan menggunakan usaha yang bersemangat (yang disempurnakan) sebagai seorang Bodhisattva
Semoga aku dapat memenuhi harapan makhluk lain dan diriku sendiri

Mempraktekkan jalan bodhisattva seperti ini
Semoga aku yang telah mendapat nama "Maitreya" (Cinta Kasih)
setelah melengkapi enam kesempurnaan
Semoga Aku berulang kali kembali ke puncak tingkatan ke-sepuluh

***

Dengan kebajikan yang kuhasilkan dari praktek ini
Semoga diriku dan semua makhluk lain
segera setelah kami meninggal
terlahir kembali di Tusita, dalam istana yang kaya akan Dharma
dan semoga kami menjadi putra-putra spiritual dari 
Raja Dharma yang tak terkalahkan (Maitreya)

Penguasa tingkat ke-10, Penakluk penguasa di Jambudwipa
Ketika Engkau merealisasikan keadaan dengan sepuluh kekuatan
(semoga kami) menjadi makhluk yang pertama kali merasakan nektar ajaran-Mu
Semoga aku dapat menyelesaikan semua aktivitas Penakluk dengan lengkap!

Segera setelah aku meninggalkan kehidupan ini
Semoga aku terlahir di tanah kegembiraan Tusita
dan dengan cepat menyenangkan Maitreya Sang Pelindung
Semoga Beliau meramalkan pencerahanku! 

Versi Mi Le Da Dao
Dalam Kitab Sutra buddhis tertulis kisah sebagai berikut.
Berkalpa masa yang silam, Buddha Maitreya pernah terlahir sebagai seorang pembina berkearifan tinggi. Orang-orang memangilnya "Yi Chiek Ce Kuang Ming Sien Ren (Pembina Suci Berkebijaksanaan Cemerlang)".

Suatu ketika, tiba-tiba hutan tempat membina diri Pembina Suci Berkebijaksanan Cemerlang itu dilanda banjir yang sangat dahsyat. Sehingga mengakibatkan semua tetumbuhan dan palawija rusak dilanda banjir. Dan semua makhluk hidup disekitar sana amat kekurangan makanan. Demikian juga halnya dengan Sang Pembina itu, telah tujuh hari tak mendapatkan sedikit makanan apapun untuk mengisi perutnya.

Saat itu di dalam hutan hiduplah 500 ekor kelinci hutan. Ketika ratu kelinci melihat Sang Pembina sudah hampir mati kelaparan, ia langsung terpanggil untuk berkorban diri demi kelangsungan hidup Sang Pembina dan mempertahankan agar roda dharma dapat terus berputar di dunia ini.

Ratu Kelinci pun mengumpulkan semua anaknya dan berpesan "Aku akan mengorbankan raga demi kelangsungan hidup seorang pembina dan kelanjutan penyebaran Buddha Dharma, setelah berpisah, jagalah diri kalian baik-baik!.

Tiba-tiba salah seekor anak kelinci menyahut. "Mama berkorban diri demi seorang Pembina dan Buddha Dharma, sungguh adalah perbuatan mulia, akupun ingin melakukannya." Pada waktu yang sama, Dewa Hutan dan Dewa Pohon yang mendengar percakapan itu langsung datang membantu menyiapkan api unggun.

Setelah api unggun menyala dan berkobar, di luar dugaan anak kelinci langsung mendahului induk kelinci melompat kedalam api yang berkobar itu. Lalu induk kelinci segera menyertai masuk kedalam kobaran api itu. Tak lama kemudian daging kedua ekor kelinci itu sudah terbakar matang.
Dewa Hutan segera pergi menyampaikan peristiwa ini kepada Sang Pembina dan mempersilahkan Beliau untuk menyantap daging kelinci itu.
Begitu mendengar penyampaian dari Dewa Hutan, sedih dan pilu menyelimuti hati Sang Pembina.

Detik itu juga Sang Pembina berdiri dan meneguhkan ikrar suci yang mengugah alam semesta, "Biarkanlah ragaku hancur luluh, biarlah sakit derita menyayat hatiku, selamanya aku tak akan tega menyantap daging makhluk hidup manapun juga, karena daging makhluk hidup lain adalah daging ku sendiri,"

Lebih lanjut Beliau berikrar, "Semoga aku pada berkalpa-kalpa kehidupan mendatang tak pernah lagi timbul niat pembunuhan selamanya tak melahap daging makhluk hidup. Selamanya aku akan mengamalkan sila berpantang makan daging. Demikian aku akan terus berjuang memancarkan Maha Kasih hingga mencapai Kesempurnaan."
Setelah meneguhkan ikrar yang maha luhur itu, Sang Pembina langsung melompat ke dalam kobaran api bersama kelinci tersebut.

Sang Buddha Sakyamuni bersabda, "Saat itu induk kelinci tersebut adalah diriku sendiri. Kelinci kecil adalah anakku, Rahula. Dan Sang Pembina yang maha kasih adalah Boddhisatva Maitreya." 

Ingin melihat Maitreya 

Asanga, seorang Bodhisatva, pemikir yang sangat berpengaruh di abad ke 5, perintis Yogācāra (“Practice of Yogā”). 

Ia lahir di Purusapura (Peshwar), keluarga Kausika, brahmin India. Berikut salah satu versi kisah tentang dia. 

Asanga bermeditasi di Gunung JiZhua. Setelah 3 tahun, belum berhasil ketemu Maitreya. Kecewa dan turun gunung. Di tengah jalan, melihat seorang ibu tua sedang mengasah batang besi jadi jarum. Asanga bertanya: “bagaimana mungkin batang besi ini bisa diasah jadi jarum?” Ibu tua menjawab: “orang yang bertekad, cita-cita pasti tercapai; sekalipun penuh kesulitan, gunung pun bisa berpindah”. Setelah mengalami kejadian ini, Asanga kembali naik gunung lagi, melanjutkan pembinaannya.

Setelah 3 tahun, tetap tidak ada tanda-tanda kehadiran Maitreya. Muncul lagi niat mundur, ia pun turun gunung. Di tengah jalan, hujan turun. Asanga melihat ada sebuah batu yang tengahnya berlubang, karena tetesan air terus-menerus. Hatinya merasa malu, spontan bertobat, berjalan balik arah melanjutkan meditasinya. 

Waktu berlalu demikian cepat, 3 tahun pun berlalu. Asanga kecewa untuk ketiga kalinya. Ia pun turun gunung, di tengah jalan melihat bulu-bulu burung yang berserakan. Apalah arti hidup, kalau tidak mencapai kesucian? Bagai bulu burung yang berguguran, tak berarti. Asanga melanjutkan meditasi untuk keempat kalinya. Tetapi belum juga melihat Maitreya. Ia pun sudah patah semangat. 

Dalam perjalanan pulang, ia melihat seekor anjing yang hampir mati tergeletak di tepi jalan. Ia mendekati, ternyata anjing tersebut menderita kudis, sampai ulat-ulatnya udah banyak. Tampaknya, anjing tersebut sangat menderita dan akan tewas. Asanga merasa sangat kasihan, ingin membersihkan lukanya, tapi tak ingin mematikan ulat-ulatnya. 

Ia memotong dagingnya sendiri, lalu memindahkan ulat-ulat dari tubuh anjing ke potongan daging tersebut dengan menggunakan lidah. Pada saat ia sedang memindahkan ulat, anjing nya raib hilang. Yang terlihat olehnya adalah Bodhisatva Maitreya. 

Asanga sangat terharu dan berkata dengan nada kecewa: “mengapa baru muncul sekarang, padahal telah bertahun-tahun derita yang ku alami” 

Maitreya menjawab: “bagaikan benih yang rusak, bila turun hujan, tetap tidak tumbuh tunas akar. Seorang pembina kalau tidak ada pupuk pahala kebajikan, para Buddha hadirpun tak bermanfaat baginya.” 

Aku selalu hadir. Hanya karena karmu burukmu belum bersih, sehingga tidak bisa melihat-ku. Kini, engkau timbul belas kasihan besar, karma burukmu dapat tereliminir, maka engkau dapat melihat ku. Bila kamu tidak yakin, coba pikul saya di pundakmu, lalu jalan menuju pasar. Buktikan, apakah orang di pasar dapat melihatku. 

Asanga pun memikul Bodhisatva Maitreya berjalan menuju pasar. Lalu bertanya kepada beberapa orang, “adakah kalian melihat Bodhisatva di pundak ku?”. Orang-orang pada aneh memandang Asanga. Sekian lama kemudian, baru ada seorang ibu tua menjawab: “kamu memikul seekor anjing di pundakmu”. 

http://www.maitreyaduta.org/2011/06/10/ingin-melihat-maitreya/ 

Cara mudah menjadi Buddha menurut MLDD 

KELUHURAN BAKTIPUJA, PERTOBATAN, DAN PENYELAMATAN NURANIAH 

Dalam Sutra Purvapranidhana, tertulislah sebuah dialog antara Buddha Sakyamuni dan Ananda.

Sang Buddha bersabda,  "Wahai Ananda yang bijaksana, ketahuilah bahwa sesungguhnya Bodhisatva Maitreya telah mencapai kesempurnaan tanpa perlu melaksanakan pengorbanan telinga, hidung, kepala, tangan, kaki, badan, jiwa, kekayaan, kota, anak-isteri, dan kerajaan untuk didanakan, melainkan hanya melaksanakan metode pembinaan yang fleksibel, praktis, dan membahagiakan, hingga akhirnya mencapai Kesempurnaan Kesejatian Tertinggi." 

Ananda bertanya, "Dengan metode fleksibel dan praktis yang bagaimana Bodhisatva Maitreya mencapai kesempurnaan Kebuddhaan?" 

Sang Buddha bersabda, "Bodhisatva Maitreya telah berjuang dalam tiga waktu pada siang dan malam, dengan sepenuh hati mendisiplinkan badan, merapikan jubah dengan posisi berlutut menghadap ke sepuluh penjuru alam (berbaktipuja) sambil memanjatkan ikrar:

"Aku bertobat atas semua kesalahanku, dan berjuang menasehati dan membimbing umat manusia ke dalam kebenaran Dharma. Dengan penuh ketulusan aku bersembah sujud ke hadapan-Mu para Buddha. Semoga dengan ini aku dapat mencapai Anuttara Prajna (kebijaksanaan tak terhingga)." 

http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_dw_4.shtml