Kamis, 26 Mei 2016

MASTER YIJING (635 – 713 M)

Merangkai Segitiga Dharma: Tiongkok – Sriwijaya - India

Sergapan Bandit

Ia adalah orang Shandong yang perkasa, namun serangan demam dan jalanan gunung yang mendaki membuatnya semakin tertinggal jauh di belakang rombongan. Tiba-tiba muncul 7-8 orang lelaki kekar bersenjatakan pisau dan panah. Ia terperanjat. “Amituofo! Tak terduga harus meninggal di tempat ini!” Benar, ia tak menyangka bakal mengalami hal ini di tanah suci yang diimpikannya semenjak kecil.

Tak menemukan harta benda yang bisa diambil, para bandit itu mengalihkan sasaran ke pakaian yang dikenakannya. Ia ditinggalkan dalam keadaan telanjang bulat. Ia lalu melumuri tubuhnya dengan lumpur dan menutupnya dengan dedaunan. Dengan bertumpu pada tongkatnya, ia memaksakan tubuhnya yang lemah dan sakit itu untuk meneruskan perjalanan mengejar rombongannya. Malam pun jatuh. Dalam keadaan gelap gulita tanpa penerangan, tiba-tiba terdengar teriakan: “Yijing…!” Dashengdeng beserta beberapa bhiksu Nalanda muncul dengan obor di tangan.

Demikianlah salah satu pengalaman mendebarkan yang dialami Maha Bhiksu Yijing dalam perjalanan menggali permata Vinaya Pitaka di India.

Bagi kita yang hidup di zaman modern, perjalanan ke India kedengarannya sangat sepele, namun tidak bagi para praktisi di zaman dahulu. Tak sedikit aral rintangan dan bahaya yang dihadapi para bhiksu yang menuju India, sehingga tak heran bila hanya beberapa saja dari ratusan bhiksu ‘petualang’ yang berhasil kembali dan mengembangkan Buddha Dharma di Tiongkok.

Dalam 2.000 tahun perjalanan sejarah agama Buddha di Tiongkok, tercatat tiga orang bhiksu yang berhasil menembus India dan kembali ke Tiongkok yang berlangsung dalam periode abad 4-8 M. Mereka adalah Faxian (Fa Hsian, Fa Hien), Xuanzang (Hsuan Tsang) dan Yijing (I Tsing). Xuanzang dan Yijing dikenal pula sebagai 2 di antara 5 tokoh penerjemah Sutra Buddhis terbesar di Tiongkok.

Sergapan bandit yang dialami Yijing adalah salah satu bentuk bahaya yang dapat mengakhiri hidupnya. Faxian dan Xuanzang juga mengalami bahaya yang serupa. Hanya mereka yang berani dan pantang menyerah demi kebahagiaan semua makhluk yang dapat mengalahkan semua rintangan itu. Merekalah para Bodhisattva sejati.

Sepasang Mutiara Memasuki Gerbang Dharma

Yijing (Zhang Wenming) lahir tahun 635 di keluarga petani Buddhis sederhana di Licheng (sekarang kota Jinan, Shandong). Sejak usia 4 tahun Yijing telah dilatih untuk menghafal Sutra Intan (Jin-gang Jing) oleh ayahnya.

Saat Yijing berusia 5 tahun penanggalan Imlek, terjadi bencana kemarau. Para bhiksu dari Vihara Tuku membagikan bahan makanan bagi penduduk sekitar. Bahan makanan itu ada yang didatangkan dari Vihara Shentong, Tai Shan (Gunung Tai). Si kecil Yijing diajak sang ayah menuju Vihara Tuku. Di sana Yijing mendapat pujian dari dua Master Vihara Shentong, Shanyu dan Huizhi.

Bencana kemarau tahun itu adalah bencana terbesar yang pernah terjadi dalam seratus tahun terakhir. Jadi selain bantuan makanan dari vihara, tetap diperlukan dukungan dana dari umat. Ayah Yijing mendanakan sebutir mutiara sebesar ibu jari yang merupakan warisan leluhur keluarga mereka. Saat itu pula ayah Yijing berpikir, bagaimana kalau beliau juga mempersembahkan Yijing bagi Buddha Dharma? Demikianlah, akhirnya sepasang mutiara itu (harta pusaka dan Yijing) memulai babak baru mereka menapak memasuki Gerbang Dharma. Dua tahun kemudian setelah genap berusia 7 tahun, Yijing menetap di Vihara Shentong menjadi murid Master Shanyu dan Master Huizhi. Yijing di didik langsung oleh Shanyu, yang menekankan pada pendidikan literatur Buddhis.

Tahun 646, ketika Yijing berusia 12 tahun, Shanyu berpesan agar Yijing tidak terpaku secara harafiah dalam memahami Sutra Buddhis, serta mengatakan tiga hari lagi akan mangkat. Tiga hari kemudian Shanyu wafat. Sejak itu Yijing dididik oleh Huizhi yang menitikberatkan pada meditasi, Sila dan pelantunan Sutra.

Kala itu, untuk menjadi bhiksu harus lulus ujian negara. Namun kekaisaran Tang waktu itu sudah sekian lamanya tidak menyelenggarakan ujian kebhiksuan. Sebab itu, meski menetap bertahun-tahun di vihara, Yijing tetap bukan sramanera. Akhirnya kesempatan itu tiba juga. Tahun 645, Xuanzang kembali ke Tiongkok dari perjalanan panjangnya ke India. Beliau mengusulkan pada kaisar untuk merekrut generasi muda Sangha yang berkualitas dari seluruh negeri. Tahun 648, Yijing berhasil lulus ujian kebhiksuan dan resmi menjadi sramanera.

Berikrar Mengikuti Jejak Faxian dan Xuanzang

Tak perlu waktu lama bagi Yijing untuk membaca habis Fo Guo Ji (Catatan Negara Buddha) yang merupakan catatan perjalanan Faxian ke India. Dengan gembira ia memberitahukan hal ini pada Huizhi, namun ia hanya menerima sebuah senyuman dari Huizhi. Yijing yang cerdas paham makna senyuman itu, dalam kebisuan sang guru menyatakan tidaklah cukup bila hanya membaca satu kali saja.

Setahun kemudian, entah untuk ke berapa kalinya membaca Fo Guo Ji, barulah Yijing paham akan maksud Huizhi yang sebenarnya. Sebagai seorang anggota Sangha yang relatif sangat muda, ia harus mulai mencanangkan cita-cita luhur yakni mengembangkan Buddha Dharma. Namun dengan cara apa ia merealisasikan cita-cita itu? Pahamlah Yijing. Ia harus mengikuti jejak Faxian dan Xuanzang belajar Dharma hingga ke negeri India.

Menekuni Vinaya Pitaka

Tahun 655, Yijing menerima penahbisan penuh sebagai bhiksu muda. Huizhi memberi nasehat tentang pentingnya pelaksanaan Sila. Huizhi sendiri merupakan praktisi Vinaya Pitaka. Meski Faxian telah berjasa besar dengan membawa Vinaya Pitaka dari tiga aliran besar Buddhis waktu itu di India, namun tak banyak tokoh yang mampu memahami dan menerapkannya dengan baik. Inilah yang mendorong Yijing untuk tekun mempelajari Vinaya Pitaka yang kemudian membawanya menuju kota Luoyang dan Chang-an.

Belajar di Dua Ibu Kota, Dekrit Bhiksu Bersujud pada Kaisar

Luoyang adalah ibu kota baru yang terletak di bagian timur, sedang Chang-an adalah ibu kota lama di sebelah barat. Tahun 660 Yijing tiba di Luoyang. Menjelang akhir tahun ia menuju Chang-an. Di Chang-an ia belajar Vinaya dari Master Daoxuan. Yijing juga sempat mengikuti arak-arakan relik Buddha yang akan dikembalikan ke Vihara Famen setelah 7 hari ditempatkan di istana.

Di saat itu pula muncul dekrit dari kaisar yang mengharuskan bhiksu untuk bersujud pada kaisar. Dekrit ini mendapat penolakan dari anggota Sangha. Akhirnya diselenggarakanlah forum dengar pendapat yang dihadiri oleh petinggi kerajaan dan perwakilan anggota Sangha. Tiga hari kemudian diperoleh hasil pemungutan suara: 539 suara menolak, 354 suara mendukung dan beberapa suara abstain. Akhirnya kaisar pun mencabut dekrit itu.

Perjalanan ke Sumatra

Tahun 664, Master Tripitaka Xuanzang wafat. Yijing mengikuti upacara pemakaman yang berlangsung di luar kota Chang-an. Kepergian Xuanzang mendorong Yijing untuk merealisasikan cita-cita yang sudah terpendam sekian lama. Ia menyampaikan keputusannya ini pada beberapa rekan bhiksu yang lain. Semuanya mendukung dan menyatakan kesediaan untuk mengiringinya pergi ke India.

Setelah berpamitan dengan gurunya, Huizhi, Yijing kembali ke Chang-an dan berkenalan dengan seorang bhiksu muda bernama Shanxing yang kemudian menjadi muridnya. Tak terduga, justru Shanxing inilah yang kemudian benar-benar mendampinginya memulai perjalanan ke India, sedang beberapa rekan yang sebelumnya menyatakan bersedia ikut, satu demi satu berhalangan. Lalu rute mana yang harus ditempuh? Saat itu terjadi peperangan dengan beberapa suku di perbatasan, oleh sebab itu mustahil menempuh jalan darat. Satu-satunya adalah melalui jalur laut. Tahun 671 berangkatlah Yijing dan Shanxing menuju Yangzhou. Dengan bantuan seorang pejabat bernama Feng Xiaoquan, dari Yangzhou mereka berangkat menuju Jiangning (sekarang Nanjing). Di Jiangning Yijing berkenalan dengan Xuankui, seorang bhiksu yang juga ingin ke India. Disepakati untuk bertemu di Vihara Zhizhi, Guangzhou, dan kemudian bersama-sama bertolak ke India. Tak dinyana Xuankui akhirnya juga berhalangan karena terserang penyakit.

Menjelang akhir tahun 671, berlayarlah Yijing dan Shanxing dengan sebuah kapal Persia. 12 hari kemudian kapal mereka merapat di Sriwijaya. Yijing memutuskan untuk menetap sementara waktu di Sriwijaya, di samping mempelajari bahasa Sansekerta sebagai persiapan ke India, pun karena Shanxing dalam kondisi sakit. Namun karena kondisi Shanxing semakin parah, akhirnya diputuskan untuk memulangkannya ke Tiongkok. Berpisahlah guru dan murid itu, sebuah perpisahan yang tak mempertemukan mereka lagi.

Mencapai India

6 bulan kemudian Yijing berangkat dengan sebuah kapal kerajaan Sriwijaya. Awal tahun 673 tibalah di Tamralipti (sekarang wilayah Bangladesh). Di sini berjumpa dengan Dashengdeng (Pelita Mahayana), seorang bhiksu aliran Chan yang berasal dari Buzhou (sekarang Vietnam). Dashengdeng adalah murid Xuanzang. Yijing kemudian memperdalam kemampuan bahasa Sansekertanya di bawah bimbingan Dashengdeng.

Satu setengah tahun berlalu, Yijing menyatakan keinginan untuk berkunjung ke tempat-tempat suci Buddhis di India Tengah. Demi keamanan, mereka bergabung dengan sebuah rombongan berjumlah 500-600 orang. Dalam perjalanan inilah Yijing sakit dan dirampok oleh sekelompok bandit.

Akhirnya mereka tiba di Vihara Nalanda. Berbeda dengan vihara di Tiongkok, Nalanda mirip kota benteng bertembok tinggi dengan sebuah pintu gerbang yang di dalamnya terdapat 8 bangunan utama dan lebih dari 100 stupa. Di Nalanda ini mereka berjumpa dengan Xuanzhao, seorang bhiksu yang diutus kaisar Tiongkok untuk mencari obat panjang usia.

Meski berhasil mendapatkan ramuan obat panjang usia, namun Xuanzhao dan dua bhiksu pengiringnya tak dapat kembali ke Tiongkok karena peperangan yang memutuskan jalan penghubung India - Tiongkok. Xuanzhao mengantar Yijing berdua mengunjungi Gunung Grdhrakuta (Kepala Burung Nazar).

Dari Nalanda, Yijing dan Dashengdeng kemudian melanjutkan perjalanan mengunjungi vihara dan tempat-tempat suci Buddhis lainnya. Namun setiba di Kusinagara, Dashengdeng yang telah mendekati usia 60 tahun memutuskan untuk menetap di lokasi suci tempat Buddha ber-Parinirvana itu. Akhirnya Yijing seorang diri kembali ke Nalanda.

Belajar di Nalanda

100 tahun lamanya Yijing belajar di Nalanda, khususnya mengenai penerapan Vinaya yang ketat. Dalam kurun waktu itu, Xuanzhao wafat di Nalanda, sedang Dashengdeng wafat di Kusinagara. Sebelum wafat, Dashengdeng sempat mengirimkan pesan terakhir bagi Yijing agar bagaimanapun juga harus pulang dan mengembangkan Buddha Dharma di Tiongkok.

Akhirnya Yijing memutuskan untuk kembali ke Tiongkok. Dengan membawa beberapa peti berisi Sutra, Vinaya Pitaka, patung, dan relik suci, Yijing menuju Tamralipti. Entah kebetulan atau matangnya buah karma, Yijing kembali bertemu dengan para bandit di tempat yang sama. Untungnya para bandit itu hanya mengambil bekal makanan, uang, dan beberapa benda berharga lainnya. Mereka tidak mengusik Yijing dan benda-benda suci Buddhis dalam peti.

Kembali ke Sriwijaya

Tahun 687, kapal yang dinaiki Yijing bersandar di pelabuhan Sriwijaya. 15 tahun sudah Yijing meninggalkan Sriwijaya. Berita kepulangan Yijing tersebar dengan cepat. Yijing disambut oleh Bhiksu Ketua Vihara Kerajaan, Sakyajilidhi, dan dikunjungi oleh Raja Sriwijaya.

Keinginan Yijing untuk secepatnya berlayar kembali ke Tiongkok menjadi tertunda setidaknya 3 bulan karena harus menunggu datangnya angin selatan. Setelah angin selatan datang bertiup, Raja baru mengungkapkan keinginan agar Yijing menetap selamanya di Sriwijaya. Berselang beberapa hari kemudian, Sakyajilidhi memberitakan bahwa di Tiongkok terjadi ketegangan politik perebutan kekuasaan antara Ratu Wuzetian dengan keturunan kaisar. Yijing disarankan untuk tidak pulang lebih dahulu.

Dua minggu kemudian, seorang pedagang dari Guangzhou berhasil ”menculik” Yijing dan membawanya kembali berlayar ke Tiongkok. Sesampai di Guangzhou, Yijing mempersiapkan alat-alat tulis dan mencari asisten untuk membantu proyek penerjemahan Sutra. Menjelang akhir tahun, Yijing untuk ketiga kalinya kembali ke Sriwijaya dengan membawa beberapa asisten yakni Master Vinaya Zhen-gu, dua bhiksu muda (Daohong dan Falang), serta Sramanera Huaiye.

Tahun 690, Wuzetian memproklamirkan dirinya sebagai Kaisar dinasti yang baru, Zhou, menggantikan dinasti Tang. Tahun 691, rombongan duta persahabatan yang diutus Wuzetian tiba di Sriwijaya. Salah satu anggota rombongan adalah Master Dajin. Saat kembali ke Tiongkok, Dajin membawa surat Yijing yang ditujukan pada kaisar.

Pulang ke Tiongkok

Dua tahun kemudian, tahun 694, Yijing beserta Zhen-gu dan Daohong kembali ke Tiongkok meninggalkan Sriwijaya selamanya. Falang meninggal di Sriwijaya, sedang Huaiye menetap di Sriwijaya mengikuti Master Sakyajilidhi. Berakhirlah sudah perjalanan akbar yang memakan waktu lebih dari 20 tahun itu. Mendengar berita kepulangan Yijing, penerus jejak Xuanzang, Kaisar Wuzetian mengirim utusan ke Guangzhou untuk menjemput Yijing. Tahun 695, tibalah Yijing di Luoyang, ibu kota Timur yang ditinggalkannya lebih dari 30 tahun yang lalu.

Yijing dielu-elukan oleh penduduk dan pejabat kota Luoyang, serta disambut langsung di pintu gerbang timur istana oleh Kaisar Wanita Wuzetian. Kaisar Wu menganugerahkan gelar ”Master Tripitaka” pada Yijing. Saat itu gelar ini hanya dimiliki empat orang bhiksu. Hanya Yijing yang merupakan satu-satunya bhiksu asal Tiongkok.

Bersama dengan Sikshananda, Yijing menerjemahkan Sutra Avatamsaka (Huayan Jing). Selain itu juga banyak menerjemahkan Sutra, Vinaya, dan Sastra, antara lain: Vinaya Saravanabhava, Sutra Avadana, dan Sutra Suvarnaprabhasa.

Tahun 705, Kaisar Wu tumbang, putra mahkota naik tahta dengan nama Kaisar Zhongzong, dengan demikian pulihlah kembali nama dinasti Tang.

Tahun 704, Yijing diundang ke Vihara Shaolin untuk melakukan prosesi Vinaya sesuai aturan yang ditetapkan oleh Buddha Sakyamuni.

Tugas mulia penerjemahan selama tahun 713 yang dilakukan Yijing berlangsung di beberapa vihara, yakni Vihara Dafuxian di Luoyang, Vihara Ximing di Chang-an, istana kaisar di Luoyang, Vihara Dajianfu di Chang-an, dan di istana kaisar di Chang-an selama masa varsa di tahun 707. Selama masa varsa itu, Kaisar Zhongzong meminta Yijing untuk menerjemahkan Sutra Bhaishajyaguru, sedang kaisar sendiri menjadi asisten Yijing.

Tahun 713, Master Tripitaka Yijing wafat di Vihara Dajianfu di Chang-an. Seperti halnya Faxian dan Xuanzang, selain menerjemahkan Tripitaka, Yijing juga meninggalkan karya tulis, yakni: Warisan Dharma Dalam yang Dikirim Kembali dari Lautan Selatan (Nanhai Jigui Neifachuan) dan Riwayat Bhiksu Mulia Dinasti Tang Pencari Dharma di India (Datang Xiyu Qiufa Gaosengzhuan) yang di dalamnya mengisahkan perjalanan lebih dari 60 bhiksu dinasti Tang yang menuju India, salah satunya adalah Huining yang sempat menetap selama 3 tahun di Jawa (664-667). Perlu diketahui, Huining ini bukanlah Huineng, Sesepuh ke-6 Chan.

Karya tulis Yijing sangat berjasa bagi penelitian jalur transportasi dan kebudayaan antara Tiongkok dan India. Selain itu, Yijing juga berjasa dalam lahirnya kamus Sansekerta-Mandarin yang pertama di Tiongkok.

Sebagai penutup Jejak Agung ini, penulis kutipkan petuah terakhir Yijing yang antara lain berbunyi: “Mereka yang mempelajari Vinaya, harus memulainya dari bagian yang paling kecil; mereka yang mempelajari Sutra dan Sastra, terlebih dulu harus membedakan antara yang lurus dan sesat. Sila, konsentrasi, dan kebijaksanaan, ketiganya harus dipelajari dan dilatih dengan sebaik-baiknya, bila hanya menguasai satu di antaranya, tak dapat dikatakan sebagai hal yang sempurna...”

Dapat mengikuti jejak agung Yijing adalah kontribusi yang sangat besar bagi pengembangan Buddha Dharma dan kebahagiaan semua makhluk. Dan untuk dapat merealisasikan ikrar mulia ini, sudah tentu kita harus mampu melaksanakan petuah terakhir Yijing.***

Jejak Agung ini dipersembahkan oleh: Tjahyono Wijaya