Selasa, 21 Januari 2014

Makna Sosial Keagamaan Pembacaan Paritta Dalam Agama Buddha


oleh :
Ven. Dr. Pategama Gnanarama Thera                                                                               Lanka Daily News, Jan 12, 2005

Colombo , Sri Lanka —Agama Buddha ditinjau dari pandangan fungsionalis sosiologis memberikan peranan dalam membawakan kebersamaan sosial di masyarakat. Praktek pembacaan paritta dalam Agama Buddha dengan jelas merupakan alat yang dipakai untuk memberikan dukungan psikologis pada para pengikutnya.

Salah satu pembuat teori fungsionalis terdahulu, Emile Durkheim, menunjukkan fungsi agama dalam mempertahankan kekompakan sosial di sistem sosial apapun. Maka sikap Agama Buddha terhadap pembacaan paritta dapat dianalisa dari sudut yang berhubungan dengan sosiologis, guna melihat seberapa jauh kecenderungan Agama Buddha membawa kebersamaan dan kesatuan di masyarakat.

Pembacaan paritta yang dilakukan sehubungan dengan peristiwa-peristiwa penting di kehidupan sehari-hari memungkinkan para umat Buddha memelihara kebersamaan sosial dan identitas Buddhis bahkan dalam masyarakat modern yang berubah pesat. Agama Buddha menyediakan dukungan psikologis dalam ketidakpastian, kesedihan dan penderitaan para pengikutnya.

Dukungan yang telah diperluas secara moral dan emosi tersebut dinamakan dukungan psikologis dalam istilah sosiologis. Dukungan tersebut dapat dilihat dalam pembacaan paritta yang dilakukan tidak hanya untuk peristiwa kelahiran, pernikahan dan kematian, tetapi juga untuk penderitaan dalam hidup dan juga untuk setiap kejadian yang menguntungkan. Pembacaan paritta begitu kuat telah menyatu ke dalam gaya hidup umat Buddha sehingga menjadi salah satu praktek Agama Buddha yang paling populer di antara para umat Buddha di seluruh dunia.

Dalam rumah tangga Buddhis, pembacaan paritta dilakukan di setiap peristiwa penting rumah tangga guna menghilangkan pengaruh-pengaruh jahat dan memberikan berkah pada orang atau pihak yang bersangkutan. Pembacaan paritta dilakukan di peristiwa kelahiran anak, pengharapan keselamatan proses kelahiran dan selanjutnya di setiap peristiwa pribadi dan sosial yang bermakna bagi umat Buddha.

Dengan cara demikian, kebanyakan peristiwa upacara ditandai dengan pembacaan paritta oleh para bhikkhu. Tidak peduli apakah itu peletakan batu pertama bangunan atau memasuki rumah baru atau pernikahan, umat Buddha biasanya memohon berkah dalam bentuk paritta yang dibacakan oleh beberapa bhikkhu.

Semangat tinggi yang ditunjukkan dalam pembacaan paritta tersebut dengan jelas memberikan semacam bentuk dorongan emosi. Upacara peristiwa-peristiwa penting pribadi, sosial dan relijius seringkali dirayakan dengan kerjasama dan partisipasi dari para anggota keluarga, kawan-kawan dan simpatisan.

Lagi pula, penting untuk dicatat, disamping melakukan konsultasi pengobatan, paritta dibaca untuk mereka yang sedang sakit, memohon berkah atas kekuatan kebenaran Buddha, Dhamma dan Sangha demi penyembuhan secara cepat.

Maka cukup logis untuk menyatakan bahwa pembacaan paritta dalam Agama Buddha telah memperkenalkan suatu dimensi relijius bagi umat awam bahwa mereka dapat berpartisipasi secara aktif dalam praktek tersebut dan dengan demikian turut memberikan sumbangan pada pemeliharaan kebersamaan sosial karena dukungan psikologis yang diberikan oleh perbuatan tersebut.

Apakah pembacaan paritta itu?

‘Paritta’ menurut etimologi berarti ‘perlindungan’ (berasal dari pari+tra = untuk melindungi). Dijelaskan dalam arti pemberian perlindungan di setiap keadaan dengan permohonan berkah atas kebenaran Tiga Permata pada umumnya dan terutama atas kebenaran Dhamma.

Dalam pemberian perlindungan, beberapa aspek dari Dhamma ditekankan untuk memberikan berkah bagi mereka yang memerlukan. Ditekankan bahwa pembacaan-pembacaan yang bersifat melindungi ini bukanlah dari karangan (mantra) mistik yang berasal dari campuran kata-kata dan suara atau formula gaib atau jimat atau mantra-mantra pengusir setan.

Paritta adalah khotbah asli Sang Buddha dan yang diabadikan dalam Kitab Suci Tipitaka Pali. Karya yang dikenal sebagai ‘The Great Book of Protection’ (Buku Perlindungan Besar) diduga disusun di Sri Lanka pada masa awal jaman, karya tersebut terdiri dari khotbah-khotbah yang dipilih dari teks-teks yang diakui dan sebagian besar disusun untuk keperluan pembacaan paritta.

Khotbah-khotbah ini telah dideklamasikan sebagai paritta atau bacaan (chant) bahkan di jaman Sang Buddha. Secara perlahan-lahan, saat Buddhisme berkembang menjadi agama dengan pengikut besar, pembacaan paritta menjadi lebih populer di antara mereka karena kemanjurannya memberikan perlindungan dengan menangkis dukkha, bhaya, roga.

Permohonan berkah dengan penyebaran cinta kasih

Pada umumnya, berkah didapatkan seseorang atau orang-orang dengan pertimbangan beberapa aspek Dhamma. Disamping penyebaran cinta kasih ke semua makhluk, perenungan Dhamma, permohonan kekuatan dan sifat-sifat Dhamma juga disertakan dalam bacaan-bacaan (chant) ini. Maka dalam perkembangan pembacaan paritta sebagai tradisi Buddhis khusus, beberapa aspek permohonan berkah turut mempertimbangkan situasi tertentu yang dihadapi para bhikkhu dan umat awam di jaman Sang Buddha.

Mungkin bentuk pembacaan paritta terdahulu berhubungan dengan pengkhotbahan tentang cinta kasih (Metta Sutta). Khotbah tersebut ditemukan di Suttanipata dan Khuddakapatha dan digunakan untuk memancarkan cinta kasih (metta) kepada semua makhluk.

Sang Buddha mengajarkan khotbah tersebut kepada beberapa bhikkhu yang tinggal di hutan, dilakukan sebagai paritta perlindungan dan juga sebagai obyek meditasi. Dalam meditasi mereka, para bhikkhu telah diganggu oleh makhluk-makhluk dewa yang mencoba menakuti para bhikkhu agar mereka meninggalkan hutan tersebut.

Bhikkhu-bhikkhu tersebut telah menjadikan hutan sebagai tempat tinggal mereka selama musim hujan. Menyadari bahwa kehadiran para bhikkhu ini dapat mengganggu makhluk-makhluk dewa yang tinggal di pepohonan hutan itu, mereka sering mencoba menakuti para bhikkhu dengan menyamar sebagai setan-setan.

Para bhikkhu menjadi takut dan konsentrasi mereka terganggu. Mereka kembali ke Savatthi dan melaporkan kejadian tersebut pada Sang Buddha. Sang Buddha mengajarkan mereka Metta Sutta untuk dibacakan dan inti dari sutta tersebut dijadikan obyek meditasi.

Saat kembali ke hutan yang sama, mereka membacakan khotbah tersebut dan pada waktu yang sama mereka mengkonsentrasikan perhatian ke thema khotbah tersebut. Diceritakan bahwa para dewa mendengarkan pembacaan sutta, kejengkelan yang tak beralasan mereka menjadi reda dan sejak saat itu mereka menjaga dan melindungi para bhikkhu selama para bhikkhu menetap di sana .

Khanda Paritta yang ditemukan di Vinaya Cullavagga, Anguttara Nikaya, dan juga di Khandavatta Jataka dari koleksi Jataka mengajarkan para bhikkhu yang menetap di hutan untuk menyebarkan cinta kasih kepada empat jenis ular naga agar tidak digigit mereka. Khotbah tersebut dinamakan Ahinda Sutta di Anguttara Nikaya.

Sutta tersebut diajarkan sehubungan dengan kematian seorang bhikkhu yang menetap di hutan yang disebabkan oleh gigitan seekor ular. Walaupun sampai sekarang tidak diketahui empat jenis ular naga tersebut, mereka juga ditemukan dalam sebuah naskah Sanskerta. Walaupun sutta tersebut berbicara tentang cinta kasih dan kekuatan tujuh Buddha, sutta tersebut diberi nama Khanda Paritta di Cullavagga.

Hal ini membingungkan Lionel Lokuiliyana yang menyusun ‘The Great Book of protection’ dalam versi Bahasa Inggris. Karena sulit mengatakan mengapa khotbah tersebut diberi nama itu, ia menduga bahwa mungkin sutta itu diberi nama menurut ular jahat yang ditemukan di Mahabharata. Tetapi alasan itu tidak tepat karena kumpulan Mahabharata disusun beberapa abad setelah Vinaya Cullavagga dan juga karya-karya Nikaya, nama tersebut tidak ada hubungannya dengan ular naga jahat di Mahabharata.

Sutta tersebut mungkin dinamakan demikian karena sutta itu adalah perlindungan untuk lima nafsu indriya (pancakkhandha) yang dimiliki oleh setiap individu. Tetapi tujuh Buddha dalam permohonan berkah yang dibicarakan sutta tersebut mungkin timbul beberapa puluh tahun setelah kebangkitan Buddhisme.


Sumber : Socio-religious significance of Buddhist chanting

Diterjemahkan oleh : Jenny H – Surabaya

Editor : Bhikkhu Uttamo