Senin, 20 Januari 2014

Agama Buddha dan Revolusi Ilmu Pengetahuan

Oleh :K. N. Jayatilleke

Adalah merupakan fakta historis bahwa revolusi ilmu pengetahuan yang terjadi pada Abad Ke-Tujuh Belas di Dunia Barat itu sebagian besar bertanggung jawab atas goncangnya konsepsi Agama, di masa awal, mengenai alam semesta. Tidak hanya bahwa ilmu pengetahuan itu bertentangan dengan dogma yang khusus dari Agama yang ada di Dunia Barat, tetapi tampaknya juga telah membahayakan dasar-dasar maupun konsep-konsep fundamental, yang bersifat implicit, didalam pandangan Agama mengenai benda-benda.Cosmology baru dari Copernicus, Galileo dan para generasi penerusnya, telah mengubah gambaran geocentris tentang alam semesta, walaupun itu dinyatakan sebagai “bertentangan dengan Kitab Suci”.

Biology baru (Teori Evolusi) telah menggoncangkan doktrin-doktrin mengenai penciptaan khusus dan mengenai kejatuhan manusia. Dan psychology baru tampaknya menunjukkan bahwa jiwa manusia, itu seperti badan jasmaninya, bekerja atas dasar pola-pola hukum sebab dan akibatnya, dan seberapa pun megvnyelamnya di kedalaman, adalah tidak mungkin untuk menemukan didalamnya, roh yang tidak mengalami perubahan, yang menguasai semua aktivitas-aktivitasnya.Tetapi lebih serious lagi adalah akibat dari pandangan ilmu pengetahuan terhadap sikap religious, yang umum, yang menyangkut suatu kepercayaan terhadap Tuhan yang bersifat pribadi (= personal God), terhadap Tujuan dan terhadap objektivitas dari nilai-nilai moral.

Ilmu pengetahuan telah membuat penemuan-penemuan dan telah memperoleh kemajuan yang menyenangkan mengenai assumsi persebaban universal, tanpa perlu keterangan teleologis atau intervensi yang bersifat Illahi. Ilmu pengetahuan membicarakan suatu alam semesta yang sifatnya amoral, yang bersifat acuh tak acuh terhadap manusia. Sama seperti diantara manusia, nilai-nilai moral, juga sama dengan nilai-nilai ekonomi, itu sifatnya subjektif, karena nilai-nilai tersebut tergantung pada kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan manusia, dan suatu humanisme ethis adalah yang paling baik, sebab dapat memberikan harapan-harapan. Bahkan ethica yang demikian itu tidak perlu bersifat universal, karena, seperti yang telah diketemukan oleh para anthropologist, masyarakat yang berbeda-beda itu tampaknya mengikuti kode-kode moral yang berbeda-beda, yang sesuai untuk mereka. Oleh karena itu, relativisme ethis merupakan kenyataan ilmiah mengenai sifat dari nilai-nilai moral.

Tentu saja, terdapat beberapa orang yang masih menggantungkan dirinya pada dogma-dogma didalam menghadapi ilmu pengetahuan, atau masih mempercayai dogma-dogma didalam arti yang tidak harafiah. Tetapi posisi mereka masih tetap sama dengan yang lama, walaupun orang-orang tidak lagi bersifat optimistis (setelah melampaui Zaman Perang Dunia Ke-Satu dan Ke-Dua, dan setelah menginjak ambang seakan-akan Perang Dunia Ke-Tiga itu juga akan pecah), mengenai kemampuan ilmu pengetahuan didalam mengganti posisi lama, untuk menciptakan Dunia Baru yang berisi Perdamaian dan Kesejahteraan. Juga diterima sebagai hal yang wajar bahwa keterangan-keterangan yang sifatnya mechanistic tentang alam semesta itu tidak perlu untuk lalu harus membuang keterangan-keterangan yang bersifat teleologis.

Ilmu pengetahuan juga telah melenyapkan materialisme yang kasar dari Abad Ke-Delapan Belas, dan para ilmuwan tidak lagi menerangkan alam semesta atas dasar model-model mesin, sedang beberapa ilmuwan telah menyangkal determinasi yang kaku di bidang atom. Tetapi semua ini masih jauh dari teriakan Agama.Tempat yang bagaimana yang wajib ditempati oleh Agama Buddha didalam kontek yang demikian itu?. Apakah dogma-dogma dan sikap-sikapnya, berkeadaan lebih baik atau lebih buruk dari dogma-dogma dan sikap-sikap dari Agama-Agama lain?.

Beberapa penulis dari Dunia Barat mengenai Agama tampaknya telah berassumsi bahwa demikian itu adanya, tetapi apabila orang membaca banyak naskah-naskah Buddhis, orang akan mulai merasa heran, dan bertanya mengapa revolusi ilmu pengetahuan yang telah mempengaruhi hampir semua Agama itu, tidak terjadi pada Buddhisme yang ada di masa-masa awal dari perkembangannya.Saya katakan yang demikian itu, karena saya mendapati bahwa Buddhisme yang ada di masa-masa awal dari perkembangannya itu menggaris bawahi pentingnya pandangan ilmu pengetahuan didalam membicarakan problema-problema moralitas dan Agama. “Dogma” khususnya dikatakan mampu diverifikasi. Dan keterangannya yang bersifat umum tentang sifat manusia dan alam semesta itu berkeadaan sangat bersesuaian dengan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan, dan tidak begitu menyimpang, atau berbeda dengan keterangan-keterangan dari ilmu pengetahuan.

Didalam kita membicarakan hal yang disebutkan terakhir itu dapat kita temui misalnya bahwa konsepsi tentang Kosmos, dari Agama Buddha pada awal perkembangannya, itu secara essensinya, sama dengan konsepsi modern tentang alam semesta. Didalam teks Agama Buddha yang berbahasa Pali, yang kami warisi dan telah kami pelajari, dapat kami kemukakan keterangan secara aksaranya bahwa terdapat ratusan dan bahkan ribuan matahari-matahari, dan bulan-bulan, bumi-bumi, dan dunia-dunia yang lebih tinggi lainnya, yang membentuk sistem dunia minor; bahwa ratusan ribu sistem dunia minor, itu membentuk sistem dunia pertengahan; dan ratusan ribu sistem dunia pertengahan itu membentuk sistem dunia major. Didalam terminologi modern, itu tampaknya, yang dinamai sistem dunia minor (yang didalam Agama Buddha dinamai culanika-lokadhatu) itu adalah sebuah galaxy, yang menurut pengamatan ilmu astronomi modern, dengan mempergunakan telescope yang paling baik, terdiri dari ratusan juta bintang-bintang.

Konsepsi Agama Buddha mengenai waktu, memiliki kesamaan yang sangat besar, dengan konsepsinya ilmu pengetahuan.Tentu saja, tidak terdapat theori evolusi biologis seperti yang diuraikan oleh ilmu pengetahuan modern, pada teks-teks Agama Buddha, tetapi mengenai manusia dan masyarakat, dan juga mengenai alam-alam, yang digambarkan sebagai selalu mengalami perubahan dan selalu mengalami evolusi, yang sesuai dengan hukum sebab dan akibat, konsepsi Agama Buddha jelas sangat mirip dengan konsepsinya ilmu pengetahuan.

Kemudian didalam bidang psychologi (= ilmu-jiwa), kita dapati bahwa Buddhisme didalam awal perkembangannya, pandangannya mengenai manusia adalah menganggap manusia itu sebagai suatu unit psycho-physical yang unsur “psyche”nya tidak merupakan roh (= soul) yang tidak mengalami perubahan, tetapi merupakan suatu continuum yang bersifat dinamis yang terdiri dari bagian kesadaran jiwa dan bagian-tidak-sadarNya jiwa, didalam mana tersimpan residue ingatan-ingatan yang di-’charge’ (= diisi) secara emosional, yang berisi ingatan semasa kanak-kanaknya, dan juga ingatan-ingatan mengenai pengalamannya semasa kehidupan-kehidupannya dalam kelahiran-kelahirannya, sebelum kelahiran yang sekarang ini. Jiwa yang sifatnya demikian itu, diterangkan, sebagai didorong untuk bertingkah-laku dibawah pengaruh tiga type keinginan, – yaitu : keinginan untuk memuasi keinginan-keinginan keindriaan (= Koma-tanha), keinginan untuk melestarikan-dirinya (= Bhava-tanha), dan keinginan untuk menghancurkan sesuatu (= Vibhava-tanha). Kecuali mengenai kepercayaan tentang kelahiran kembali (= reinkarnasi = tumimbal-lahir), konsepsi tentang jiwa, itu dipandang dari sudut ilmu pengetahuan modern, dinyatakan benar (= bersesuaian dengan ilmu, pengetahuan) dan orang tidak akan mengalami salah langkah, jika dalam pengamatannya melihat keadaan yang sama (parallel) antara ajaran Agama Buddha mengenai ketiga keinginan tersebut dimuka, dengan konsepsinya Freud mengenai : Eros (= Cinta-Berahi), Libido (= Dorongan untuk Hidup), dan Thanatos (= Dorongan untuk Mati, atau untuk Menghancurkan sesuatu).

Saya mengemukakan kesamaan tersebut diatas, tidak dengan bermaksud untuk mengatakan bahwa Agama Buddha itu layak mengajar sesuatu kepada ilmu pengetahuan modern, tetapi bahwa revolusi ilmu pengetahuan itu tidak mempengaruhi dan tidak menyimpangkan pandangan Agama Buddha, seperti yang terjadi terhadap tradisi-tradisi keagamaan dari Agama-Agama lain.Sekarang, marilah kita bicarakan kembali mengenai isi ajaran Agama Buddha, sebagai theori tentang sifat dan tujuan dari manusia. Pertama-tama, perlulah diterangkan bahwa Agama Buddha itu memegang teguh pandangannya bahwa suatu penyelidikan yang jujur dan tidak memihak, terhadap Kebenaran atau Kasunyataan, itu merupakan pandangan yang benar dan baik, walaupun terhadap masalah-masalah religi dan moral, itu tidak menghalangi usaha untuk mencapai kemajuan spiritual, yang dilakukan oleh seseorang.

Lebih dari satu kali, dalam beberapa kesempatan, Sang Buddha telah memberikan nasehat kepada para Pencari Kasunyataan, yang jujur, didalam kata-kata beliau sebagai berikut ini : “Apabila anda menghadapi suatu situasi yang meragukan, hendaklah anda menangguhkan keputusan anda. Janganlah anda menerima sesuatu pendapat, hanya : karena pendapat tersebut didesas-desuskan sedemikian rupa, karena pendapat tersebut merupakan kepercayaan yang tradisional sifatnya, karena sebagian besar dari orang-orang menyetujui pendapat itu, karena pendapat tersebut terdapat didalam Kitab-Kitab Suci, karena pendapat tersebut merupakan hasil dari argumentasi dan spekulasi yang bersifat metaphysis, karena pendapat tersebut merupakan fakta yang berasal dari penyelidikan yang dangkal, karena pendapat tersebut, bersesuaian dengan kecenderungan-kecenderungan seseorang, karena pendapat tersebut merupakan pendapat dari tokoh yang authoritative atau merupakan pendapat dari guru anda yang memilliki nilai yang prestise-nya tinggi.”. Penyelidikan yang kritis dan verifikasi pribadi adalah pembimbing ke religi dan moralitas yang benar. “Apabila seseorang berbicara menjelekkan saya, ajaran saya, dan himpunan pendeta yang saya bentuk,” demikian kata Sang Buddha, “janganlah lalu anda memiliki niat buruk terhadap dia, itu membuat hati anda menjadi goncang, atau kecewa, karena tanggapan anda itu hanya akan menyebabkan hati anda terluka.” Sebaliknya, apabila seseorang berbicara menyebut-nyebut kebaikan saya, ajaran saya, dan himpunan pendeta yang saya bentuk, janganlah lalu hati anda menjadi terlalu gembira, hati anda menjadi bergejolak dan berbangga diri, karena apabila demikian tanggapan anda, maka itu hanya akan menghalangi pembentukan keputusan pendapat anda secara benar, tanpa perlu menghiraukan apakah sifat-sifat baik didalam diri kita yang terpuji itu benar-benar ada didalam diri kita.” Suatu pandangan yang ilmiah itu kita pandang perlu kita miliki, tidak hanya karena itu penting untuk menemukan kehidupan yang religious dan yang bermoral sejati saja, tetapi bahkan penting untuk pengkajian-diri, secara berlanjut, yang didalam kehidupan hal yang demikian itu memang kita perlukan.

Selanjutnya, menurut pandangan Agama Buddha, lapangan phenomena religi dan moral, itu bukan lapangan mysteri, tetapi memegang teguh pandangan bahwa hukum sebab dan akibat itu sebagai yang mewarnai gejala agama dan moral. Prinsip determinasi sebab akibat, yaitu yang rumusannya berbunyi : “Jika A adalah menjadi unsur penyebab timbulnya B, maka kapan saja terjadi A, maka peristiwa B akan muncul, dan B itu tidak akan muncul, kecuali jika A terjadi”; pendapat yang demikian itu dipegang teguh oleh Sang Buddha. sebagai suatu pedoman. Selanjutnya Sang Buddha menerangkan bahwa : “Saya hanya berbicara tentang sebab dan hal-hal yang timbul dari unsur sebab itu.” Jadi, semua phenomena, semua gejala, yang tercakup didalamnya pengalaman moral dan spiritual (dengan kekecualian Nirvana, yang merupakan phenomena yang tidak terkena persyaratan), diterangkan sebagai dipersyarati oleh hukum sebab dan akibat. Hukum-hukum yang demikian itu digolongkan menurut lapangan operasi, sebagai hukum-hukum physik, atau hukum-hukum jasmaniah (=utuniyama) hukum-hukum biologis (= vejaniyama), hukum-hukum psychologis, atau hukum-hukum kejiwaan (= cittaniyama), dan hukum-hukum spiritual dan moral (= dhamma-niyama).

Sekarang marilah kita bicarakan tentang tiga hukum yang mengatur kehidupan dan tujuan hidup individu. Hukum-hukum itu adalah : hukum kontinuitas, yang membuat lestarinya individualitas (= bhava), hukum retribusi, atau penjatuhan hukuman dan pemberian hadiah (= karma), dimana perbuatan-perbuatan yang baik dipandang dari sudut moral, menghasilkan akibat yang menyenangkan, sedang perbuatan-perbuatan yang jahat dipandang dari sudut moral, menghasilkan akibat yang tidak menyenangkan, bagi individu, dan akhirnya, ada : hukum timbulnya sesuatu berdasarkan persebaban tertentu (= causal genesis, atau dinamai “persebaban yang saling bergantungan”) (= paticcasamuppada), yang dimaksudkan untuk menerangkan kedua hukum yang dua tersebut dimuka.

Hukum kontinuitas, yang secara populer dikenal sebagai kelahiran kembali (= tumimbal lahir = reinkarnasi) itu meyakinkan adanya daya tahan, atau kelestarian, dari bagian tidak-sadar, yang bersifat dinamis, pada (jiwa) individu, terhadap adanya kematian badan jasmani. Apabila bagian tidak-sadar (dari jiwa), atau individu, itu tidak bersesuaian keadaannya dengan alam-alam yang tinggi, yang disebabkan karena keadaan dari perkembangan spiritual dan moral, dari individu, dapatlah dikatakan secara umum bahwa terdapat daya tahan atau kelestarian didalam kehidupan di alam-roh (= petti-visaya = spirit-sphere), sebagai roh yang tidak berbadan (= discarnate spirit), dan yang kemudian dapat mengalami kelahiran lagi di dunia, sebagai manusia.

Kritik-kritik terhadap Agama Buddha sering mengemukakan pendapatnya bahwa theori kelahiran kembali, dari Agama Buddha ini, bersifat dogmatic, atau diterima begitu saja oleh umatnya, tetapi suatu studi yang dilakukan secara teliti terhadap teks-teks Agama Buddha menunjukkan bahwa dalam kenyataannya tidak demikian halnya.Agama Buddha muncul sewaktu timbul spekulasi, atau pemikiran, atau perenungan, yang mendalam, tentang problema “survival”, atau “ketulusan-hidup”. Terdapat juga ketika itu beberapa mahzab filsafat materialisme, yang semuanya menyangkal kebenaran pandangan terhadap “survival” atau “ketulusan-hidup”, dan juga terdapat golongan filsafat sceptics, yang hanya meragukan kemungkinan adanya “survival”, atau “ketulusan-hidup” itu. Bahkan eksperimen sebagai misalnya kegiatan menimbang badan orang menjelang dan sesudah orang meninggal dunia, agar dapat menemukan sesuatu bukti mengenai masalah survival, atau ketulusan-hidup.

Salah satu dari theori-theori materialis, menyebutkan dan yang tidak dipercaya oleh Sang Buddha, ialah bahwa kesadaran dari jiwa, atau dari individu, itu merupakan hasil-samping, – by-product -, dari elemen-elemen, yang dicampur didalam proporsi tertentu untuk membentuk badan organis, yang sama keadaannya seperti keadaan didalam mana warna merah itu dihasilkan dengan pencampuran secara tertentu, dan dalam perbandingan yang sesuai, dari pinang, sirih, dan kapur” (yang tidak satu pun dari ketiganya yang berwarna merah). Beberapa dari theori-theori yang materialistic, yang sifatnya demikian itu, maupun yang sama dengan sejumlah theori-theori yang mengatakan bahwa orang itu hanya hidup sekali saja, dan lalu orang meninggal dunia (tidak secara berkali-kali, seperti Kasunyataan yang ditunjukkan oleh Agama Buddha), ada yang berpegang teguh pada pendapatnya bahwa roh itu tetap sadar setelah orangnya meninggal dunia, yang lainnya berpendapat bahwa orang itu setelah meninggal dunia roh-nya tidak sadar (tetapi tetap ada), namun ada lagi yang berpendapat bahwa setelah orang meninggal dunia, orangnya lalu memiliki kesadaran super; semua theori itu telah dikaji oleh Sang Buddha, dan Sang Buddha telah mengemukakan pendapat beliau (berdasarkan Kasunyataan yang telah beliau peroleh).

Theori kelahiran kembali itu telah dikemukakan sebagai suatu yang benar-benar berkeadaan demikian, yang kebenarannya dapat diverifikasi, dengan jalan memperkembangkan kemampuan melihat kembali kelahiran-kelahiran kita didalam kehidupan-kehidupan sebelum kelahiran yang sekarang ini; potensi untuk dapat melihat hal yang demikian itu, dikatakan berada didalam diri tiap orang, dan ada didalam jangkauan semua orang untuk memilikinya.Oleh karena itu, kasunyataan tentang kelahiran kembali (= reinkarnasi = tumimbal lahir) itu bukan suatu dogma untuk dipercayai begitu saja dengan kepercayaan, tetapi merupakan suatu hypothesa yang dapat diverifikasi secara ilmiah kebenarannya.

Adapun tentang bukti-bukti mengenai kasunyataan reinkarnasi, sekarang ini, secara kasar terdapat dua jenis keterangan. Terdapat bukti secara spontan, yang dialami oleh banyak orang, baik yang tinggal di Dunia Timur, maupun yang tinggal di Dunia Barat, yang menyatakan bahwa mereka itu memiliki ingatan-ingatan (yang jelas) akan kehidupannya di masa-masa kehidupan sebelum yang sekarang ini, yang beberapa kasusnya, mengenai ingatannya kembali dengan jelas akan kehidupannya di masa-masa sebelum yang sekarang ini, telah dikonfirmasikan (telah diperkuat) oleh penyelidikan-penyelidikan lebih lanjut (yaitu misalnya : kasusnya Shanti Devi, yang dimuat didalam majalah mingguan India yang bernama “The Illustrated Weekly of India“, terbitan 15 Desember 1935; kasusnya Nellie Horster, yang dimuat didalam majalah “Milwaukee Sentinel”, terbitan 25 September 1892). Juga terdapat banyak sekali bukti-bukti tentang kebenaran adanya reinkarnasi itu, yang lebih dapat dipercaya lagi, yang didapat dan dikemukakan oleh para ahli ilmu penyakit jiwa (= psychiatrist) dan para ahli limu jiwa (= psychologist) yang telah menemukan bahwa didalam keadaan hypnose yang trance, orang yang dihypnose itu ingatan-ingatannya dapat dilacak ke belakang, tidak hanya sampai masa kanak-kanaknya saja, tetapi juga dapat hingga ke kehidupannya sebelum hidup di Bumi ini; beberapa kasus dari hal-hal yang demikian itu telah dapat diverifikasi (yaitu, misalnya oleh A. de Roches, didalam bukunya yang berjudul : “Les Vies Successives“, penerbitan : Bibliotheque Charcomac, Paris; Ralph Shirley, didalam bukunya yang berjudul : “The Problem of Rebirth“, penerbitan : Rider & Co, London; Professor Theodore Flourncy, didalam bukunya yang berjudul : “Des Inde a la planet March“; Professor Charles E. Cory, didalam bukunya yang berjudul : “A divided Self”, yang dimuat didalam majalah Journal of Abnormal Psychology, Vol. XIV, 1919).

Hukum retribusi moral (= Hukum sebab-akibat di bidang moral), atau hukum karma, seperti yang diajarkan oleh Agama Buddha, juga dikiritik atas dasar bahwa itu banyak terwarnai sifat fatalisme. Kritik yang demikian itu, karena orang yang mengkirik tidak memahami ajaran Sang Buddha. Hukum sebab-akibat didalam Agama Buddha diperbedakan secara teliti oleh Sang Buddha, dalam satu hal dari Determinisme yang kaku, dan pada hal yang lainnya lagi dari Indeterminisme. Sang Buddha mengemukakan argumentasi beliau bahwa apabila segala sesuatu itu terkena determinasi, maka lalu akan tidak ada kebebasan-kehendak (= free-will) dan tidak ada lagi kehidupan moral dan spiritual, dan lalu kita ini akan menjadi hanya sebagai budak-budak dari masa lalu saja, didalam hal yang lain, apabila segala sesuatu itu terkena Indeterminisme (adhicca-samuppanna) atau terjadi secara kebetulan saja, maka kehidupan moral dan spiritual akan tidak mungkin ada, karena latihan pemeliharaan dan peningkatan nilai-nilai akan tidak menghasilkan pertumbuhan moral dan spiritual.

Menurut Sang Buddha, karena dunia ini telah dikonstitusikan secara demikian rupa, maka segala sesuatu itu tidak terkena determinisme yang kaku, atau tidak sama sekali memiliki indeterminisme sehingga kehidupan religious itu mungkin dan kita inginkan.Agar supaya dapat menerangkan secara baik dan jelas, mengenai kasunyataan tentang reinkarnasi dan hukum karma, beberapa ahli pemikir dari aliran Agama Hindu yang dinamai faham Upanisad telah menerima doktrin-doktrin tersebut, dengan mengemukakan konsep tentang atman, atau roh, yang sifatnya kekal abadi, yang tidak mengalami sesuatu perubahan (= changeless soul). Individu itu secara berlanjut tetap ada, dan tetap berkeadaan sama, karena dia memilki roh yang bersifat tetap (permanent soul), yang menjadi agent dari semua aksi, sekaligus juga menjadi pribadi yang mengalami atau menerima buah-buah dari perbuatannya. Sang Buddha dengan cepat menanggapi konsep tersebut, dengan mengatakan bahwa beliau telah melihat bahwa entitas-entitas yang bersifat metaphysis (metaphysical entities) yang demikian itu, tidak menerangkan sesuatu, dan bahwa itu tidak ada artinya dalam mengemukakan atau menyangkal terhadap entitas (= entity) yang tidak dapat diverifikasi. Oleh karena itu, Sang Buddha menolak konsep roh, sementara itu beliau tetap mempertahankan doktrin mengenai kontinuitas dari individu, yang dapat kita amati, dan menerangkan kedua hukum tersebut diatas, yaitu tentang hukum kontinuitas dan retribusi moral (hukum sebab-dan-akibat) atas dasar bahwa semua faktor phenomena yang dapat diverifikasi, itu menentukan genesisnya yang kontinu, dan pertumbuhan dari individu. Hal ini sangat rumit, jika kita berikan uraiannya hingga sekecil-kecilnya didalam artikel ini. Singkatnya bahwa itu memberi deskripsi, atau menguraikan tentang bagaimana individu itu dikondisikan oleh masa lampau psychologis-nya (kehidupan-kehidupan di masa lampau-lah, yaitu kehidupan-kehidupan sebelum yang sekarang ini, yang merupakan, atau menjadi sejumlah faktor, yang mewarnai corak umum, dari perwatakannya) dan bahwa konstitusi genetical dari tubuh seseorang, itu berasal dari kedua orang-tuanya. Individu itu tetap beraksi secara kontinu dan bereaksi terus terhadap lingkungan-sekitarnya, mengumpul-ngumpulkan pengalaman kehidupan didalam kesadaran yang selalu maju, atau mengalami evolusi (= samvattanika-vinnana), yang berlanjut terus setelah kematian badan jasmani, apabila ketiga jenis keinginan yang terdapat didalam individu itu masih berkeadaan aktif.Pengetahuan yang sifatnya pribadi dan langsung mengenai ketiga hukum tersebut diatas itu membentuk tiga-pengetahuan (= tisso vijja), yang oleh Sang Buddha dan siswa-siswa beliau, dinyatakan bahwa telah memilikinya. Kesadaran terhadap fakta tersebut, serta ditemuinya jalan didalam mana orang dapat tidak lagi berkeadaan dikondisikan, itu dikatakan merupakan hasil telah bebasnya seseorang dari terkena kondisi, secara terus menerus, -suatu keadaan yang bersesuaian dengan pencapaian keadaan tidak lagi berkeadaan dikondisikan, serta memperoleh kemudahan didalam mencapai Nirvana. Ini merupakan penyelamatan yang diperoleh orang didalam menganut dan mempraktekkan ajaran-ajaran Agama Buddha, yang secara aksaranya, terbebasnya orang dari ikatan kehidupan yang berkeadaan terbatas dan terkena kondisi-kondisi.Secara tepat, dapatlah diterangkan bahwa Nirvanaitu di luar deskripsi, atau konsepsi; alasan dikatakan demikian, karena Nirvana, adalah keadaan yang sedemikian berbeda, secara radikal, dengan type benda-benda yang ada, yang dapat kita bayangkan atau konsepsikan, sehingga deskripsi yang penuh arti atau defisininya, tidak mungkin dapat kita berikan dalam bentuk istilah-istilah yang bersifat konsepsional.

Dikatakan bahwa, untuk mengatakan sesuatu, atau seseorang, itu berada di Nirvana, adalah salah, karena eksistensi adalah suatu konsep yang kita applikasikan kepada benda-benda phenomenal dan mempunyai referensi kepada ruang dan waktu. Nirvana itu bersifat “tidak terkena hitungan waktu” (= timeless), didalam arti bahwa itu tidak dapat kita perkatakan, sebagai sesuatu yang ada di masa yang lampau, ada di masa sekarang, dan ada di masa yang akan datang”; Nirvana itu tidak bertempat didalam ruang dan waktu, dan tidak terkondisikan oleh persebaban, tidak sama dengan semua benda yang bersifat phenomenal; tetapi pernyataan bahwa Nirvana itu “tidak ada” (does not exist) adalah pernyataan yang juga salah, karena jika kita katakan bahwa Nirvana itu “tidak ada”, itu berarti lenyap atau berkeadaan hancur. Sekalipun demikian, deskripsi tentang Nirvana itu memiliki sifat berkeadaan positif dan sekaligus juga memiliki sifat negatif, walaupun ungkapan yang demikian ini, bukan merupakan suatu definisi yang eksak, sebab “Nirvana” itu berkeadaan “berada diluar scope atau lingkup logika”.Secara negatif, dapatlah diterangkan bahwa Nirvana, itu adalah keadaan tidak adanya ketidak-bahagiaan. Semua eksistensi phenomenal, itu dikatakan sebagai terkena ketidak-bahagiaan; kita katakan tidak bahagia, baik penyebabnya adalah karena menghayati rasa sakit jasmaniah atau kejiwaan, dan merasa was-was atas hari-hari yang akan kita jalani, maupun yang penyebabnya pengalaman yang menyenangkan, tetapi tidak dapat kita alami secara mantap, atau tidak bersifat abadi. Pandangan yang demikian itu, merupakan pandangan kehidupan yang sifatnya realistic, bahkan walaupun kita sedang menghadapi fakta secara sangat dekat, sebagai yang dikatakan oleh Sang Buddha sebagai berikut : “Manusia itu secara keseluruhan, lebih banyak mengalami penghayatan kebahagiaan, dari pada mengalami penghayatan hal-hal yang tidak menyenangkan”, dan oleh karena itu adalah tidak benar kalau dikatakan bahwa Agama Buddha itu bersifat pessimistic, karena Agama Buddha itu tidak berfikir dengan terwarnai oleh keinginan-keinginan (= wishful thinking).

Secara positif, dapat diterangkan bahwa Nirvana itu adalah merupakan suatu keadaan “Kebahagiaan Yang Tertinggal” (= Supreme felicity) = (Paramam sukham).Jalan untuk memperoleh keselamatan (didalam Agama Buddha) diutarakan sebagai ajaran Jalan Yang Ber-Ruas Delapan, didalam mana langkah pertamanya, adalah ajaran mengenai Pandangan atau Pemahaman Yang Benar, dan hidup sesuai dengan filsafat kehidupan yang benar, dan sebagai hasilnya lalu dapat memiliki Cita-Cita atau Aspirasi Yang Benar, Berbicara Yang Benar, Bertingkah-laku Yang Benar, Bermata-pencaharian Yang Benar, Berperhatian Yang Benar, yang titik kulminasinya pada pertumbuhan yang bersifat religious, dan kesadaran spiritual yang intuitif, yang diperoleh karena telah dapat menjalankan Meditasi atau Kontemplasi yang Benar. Hasil yang sepenuhnya dari kontemplasi, itu dapat dituai hanya dengan jalan meninggalkan kehidupan sosial yang aktif, untuk masuk ke kehidupan yang banyak diisi dengan kegiatan-kegiatan kontemplatif. Cara kehidupan meditative ini dicirikan dengan dicapainya tingkatan-tingkatan kesadaran mystic yang bersifat pribadi (= personal mystical consciousness) (= rupa-jhana) dan kesadaran mystic yang bersifat tidak pribadi, atau impersonal (= arupa-jhana), yang bertitik kulminasi didalam pencapaian Nirvana. Dengan telah berkembang atau bertumbuhnya jiwa (= mind) dan semangat kerohanian (= spirit)-nya, dikatakan bahwa lalu muncullah didalam individu, suatu kemampuan tertentu, yang tadinya bersifat latent, didalam diri orang tersebut, sebagai misalnya telepathy dan kewaskitaan penglihatan (= clairvoyance) dan kemampuan dapat melihat kehidupan-kehidupannya di masa yang lampau, sebelum kehidupan yang sekarang. Kemampuan-kemampuan cognitive ini, seperti telah diterangkan dibagian muka, memungkinkan individu untuk dapat merealisir keadaan yang terkondisikan, lalu diubah menjadi berkeadaan Tidak Terkondisikan.

Berbicara mengenai persyaratan untuk dapat melangkah masuk ke Jalan Suci yang menuju ke Kesadaran Nirvana, dapatlah diterangkan bahwa itu terdiri dari keharuan telah dicapainya dalam taraf titik yang tertinggi perkembangan moral (= sila), perkembangan spiritual dan intuitional (= samadhi), serta perkembangan cognitive, atau intellectual-nya (= panna). Pada suatu ketika Sang Buddha ditanya, yaitu “Apakah beliau berpengharapan dapat menyelamatkan sepertiga, dari penduduk dunia, separo-nya, ataukah seluruhnya, dengan jalan menawarkan Jalan yang dapat menyelamatkan mereka itu!?!”, yang atas pertanyaan tersebut, Sang Buddha menjawab bahwa beliau tidak menyatakan dapat menyelamatkan sepertiga penduduk dunia, tetapi hanya berpengharapan agar beliau dapat menjadi seorang penjaga pintu yang baik, yang pintu tersebut merupakan hanya satu-satunya pintu menuju ke istana, yang dapat memberitahukan bahwa semua orang yang ingin dapat sampai di kehidupan Surga, haruslah melalui pintu yang beliau juga itu, bahkan beliau juga mengetahui bahwa semua orang yang dimasa-masa yang lampau telah diselamatkan, yang sekarang sedang diselamatkan, dan yang pada masa-masa mendatang akan diselamatkan, semuanya masuk ke pencapaian keselamatannya, melalui pintu yang beliau jaga itu.Demikian itulah ajaran Agama Buddha, pada masa-masa awal dari perkembangannya, yang ditawarkan sebagai suatu hypothesa ilmiah, yang sifatnya self-consistent, yang menyentuh masalah-masalah religi dan moralitas, yang setiap orang dapat memverifikasikannya. Tidak berdasarkan atas wahyu, fakta-fakta yang telah diverifikasikan oleh Sang Buddha dan ratusan siswa-siswa beliau, dan yang dapat diverifikasi oleh setiap Pencari Kasunyataan yang tekun, telah dikemukakan oleh Sang Buddha sebagai kriteria dari Kasunyataan-Kasunyataan.

Test yang bersifat pragmatic dan empirical dari ilmu pengetahuan, itu bagi Sang Buddha, adalah test dari Agama yang benar. Kepercayaan yang diminta oleh Sang Buddha adalah kepercayaan yang membutuhkan pengetahuan dengan suatu filsafat kehidupan yang tertentu, dengan jalan dirinya wajib menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Agama Buddha, didalam setiap saat dalam kehidupannya. Dan ajaran-ajaran Agama Buddha itu layak untuk direalisir, dengan jalan mencoba melaksanakan ajaran-ajaran Sang Buddha, sambil meneliti sampai sejauh mana praktek dan hasil-hasil praktek yang telah dia jalankan. Sama seperti para ilmuwan telah bekerja di bidang lain-lainnya, para Buddha atau Orang-Orang Suci yang telah mencapai Kesempurnaan dalam kehidupan mereka, mereka telah menemukan Kasunyataan-Kasunyataan, yang sepanjang waktu dapat dicari pada Kitab-Kitab Suci Agama Buddha. Para Buddha telah mengkotbahkan Kasunyataan-Kasunyataan itu bagi kebaikan dunia. Setiap orang dari kita ini, harus mencari dan berusaha untuk menyelamatkan diri kita masing-masing; tidak ada orang lain yang dapat menyelamatkan diri kita, dan Orang-Orang Suci itu hanya menunjukkan Jalannya saja.

Nampaklah dengan jelas, kiranya, bahwa Agama yang sifatnya demikian itu. bersesuaian sifat-sifatnya dengan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan. Dalam hal yang demikian itu, Agama Buddha mempunyai segi-segi yang tidak berbeda dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para ilmuwan didalam mereka mencari kenyataan-kenyataan, sejauh para ilmuwan itu membatasi diri mereka pada methodologi dan lapangan-lapangan masing-masing, tanpa dengan mempergunakan suatu dogma materialisme.Berbicara tentang tujuan, pandangan Agama Buddha mengenai alam yang sifat atau keadaannya telah dikemukakan pada berbagai Kitab Suci Agama Buddha, nampaknya manusia tidak mampu memahami tujuannya; walaupun demikian, individu-individu itu dapat saja memilih tujuan kehidupan, dan membuat agar kehidupannya bermakna sepenuhnya; adapun tujuan yang ditawarkan oleh Agama Buddha, adalah Pencapaian Nirvana. Mungkin Sang Buddha berargumentasi bahwa apabila alam itu memiliki tujuan untuk dicapai didalam Zaman Akhir dari Kehidupan Manusia, maka tidaklah salah, kalau orang mempercayai adanya penyelamatan bagi semua manusia, namun orang dapat saja lalu berpendapat bahwa kehidupan yang abadi itu tidak ada (dan kehidupan yang abadi ini menjadi tujuan yang dirindukan manusia untuk mencapainya!); tetapi menurut Sang Buddha, tidak ada keharusan untuk mempercayai pendapat yang demikian, sekalipun sebenarnya pencapaian kemajuan didalam kehidupan itu merupakan hal yang tidak dapat dielakkan; tidak ada seorang pun yang ditakdirkan wajib mencapai Kesadaran Nirvana, kecuali jika dia ingin mencapainya.

Berbicara mengenai nilai-nilai moral, Agama Buddha memegang teguh nilai-nilai moral itu, karena menurut Hukum Karma, seorang peminum minuman keras, misalnya, jika dia tidak menyesali tabiatnya yang buruk itu dan bertobat (yaitu mengubah tingkah-lakunya atau cara kehidupannya yang demikian itu) dia cenderung terlahirkan lagi sebagai orang yang terlalu bodoh amat sangat (tingkat kejiwaan yang didalam ilmu jiwa dinamai “moron”), apa pun perdapat atau keinginan si peminum minuman keras tersebut, atau para anggota masyarakat dimana dia menjadi anggotanya.