Sabtu, 15 Desember 2018

36 jenis Arus Nafsu

Notes :

Yang dimaksud dengan 36 jenis arus nafsu adalah sebagai berikut.
Tanha/craving/nafsu keinginan ada 3 :
- kāma-taṇhā : nafsu keinginan akan nafsu indria
- bhava-taṇhā : keinginan untuk “menjadi” atau “ada”
- vibhava-taṇhā : keinginan untuk “tidak menjadi” atau "tidak ada" atau

Ada 6 landasan (ayatana) internal : yaitu melalui :
mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, pikiran.

Ada 6 landasan (ayatana) external : yaitu melalui :
bentuk/forms, suara/bunyi, bebauan, rasa, sentuhan, dan ide/bentuk-bentuk pikiran.

3 jenis tanha yang melalui 6 landasan internal diatas -> menghasilkan 18 jenis tanha.
3 jenis tanha yang melalui 6 landasan external diatas -> menghasilkan 18 jenis tanha.
Sehingga total ada 36 jenis arus nafsu. 

Sumber: www.sariputta.com

Selasa, 16 Oktober 2018

MEMECAHKAN MASALAH By Ven Ajahn Brahm.

Sudah berapa banyakkah Anda mencoba memecahkan “masalah”? Anda akan terus mencoba memecahkannya bukan hanya sampai Anda meninggal dalam kehidupan ini saja, namun selama berapa banyak masa kehidupan Anda selanjutnya, lagi dan lagi. Alih-alih, pahamilah bahwa dunia ini hanyalah permainan indra-indra saja. Hanyalah lima khanda (kelompok kemelekatan bentuk (rupakkhandha), kelompok kemelekatan perasaan (vedanakkhandha), kelompok kemelekatan pencerapan (sannakkhandha), kelompok kemelekatan bentuk-bentuk pikiran (sankharakkhandha), dan kelompok kemelekatan kesadaran (vinnanakkhandha).”
(Digha Nikaya 22) yang melakukan urusan mereka; itu tidak ada urusannya dengan Anda. Itu hanya orang, orang biasa, dunia hanya dunia biasa.

Terkadang di vihara kami, Anda melihat serombongan besar burung kakatua. Mereka sangat berisik. Beberapa orang mengatakan jika mereka tidak menyukai suara kakatua, namun entah Anda suka atau tidak suka akan suara kakatua, burung-burung itu tetap saja ribut, jadi mengapa kita sendiri yang tidak melepaskan keterlibatan kita di dalamnya?

Sebagai seorang meditator, saya dahulu sering bertanya kepada diri saya sendiri, “Mengapa suara bisa mengusik saya?” Apakah itu suara burung di luar atau suara seseorang sedang batuk atau membanting pintu di balai utama, mengapa saya bisa mendengarnya? Mengapa saya tidak mampu melakukan hal yang sama dengan mata saya yang tertutup, yaitu mencari “kelopak” dan menutupi telinga saya? Melalui perenungan suara dan memahami bagaimana kerjanya, menjadi cukup jelas bahwa satu-satunya alasan saya mendengarnya adalah karena saya keluar dan mendengarkannya. Ada keterlibatan yang aktif dengan dunia suara. Itulah sebabnya suara itu dapat mengusik saya. Ajahn Chah guru saya dahulu sering mengatakan bahwa bukan suara itu yang mengusik Anda; Andalah yang mengusik suara itu. Itu suatu ungkapan yang sangat mendalam, dan itu banyak berarti bagi saya. saya menggunakan ungkapan itu untuk memahami sifat suara dan mengapa suara terdengar begitu mengusik.

Ketika seseorang memanggil Anda babi, idiot, atau apa pun, Anda tidak perlu mendengarnya. Kita mendengarnya karena kita sendiri yang tertarik kepadanya; kita terlibat dengannya dan melekat pada dunia suara itu. Namun jika kita menyadari bahwa suara itu datang sesuai sifat alaminya, saat itulah kita mengalami nibbida (ketidakmelekatan). Ada suara indah, suara gila, dan suara burung. Sebagian burung bersuara merdu dan sebagian lagi dapat merusak kuping, seperti gagak, suaranya sangat mengerikan. Namun itu bukanlah salah gagak; memang begitulah suara alaminya mereka, sama halnya dengan vihara: sebagian anagarika (bhikkhu) seperti gagak dan sebagian seperti burung bulbul sebagian bhikkhu bicara dengan indah, sebagian bicara dengan mengerikan. Itulah alaminya mereka, itu saja. Itu tidak ada hubungannya dengan kita, dan karena itulah kita semestinya melepaskan diri dari keterlibatan.

Ketika kita bisa melepaskan keterlibatan dari hal-hal ini melalui nibbida (ketidakmelekatan), mereka akan memudar. Duka memudar ketika sebab duka memudar. Dunia indriya mulai pupus lenyap ketika kita tidak begitu peduli untuk mengubahnya. Ketika kita melepas keterlibatan diri darinya dengan nibbida (ketidakmelekatan), kita merasa muak dengan dunia indra, dan mulai menolaknya. Ini karena nibbida (ketidakmelekatan) muncul dari melihat dunia sebagaimana adanya, dengan itu, kita bergerak ke arah yang berbeda dibandingkan dengan penghuni dunia lainnya yang masih satu dunia dengan kita.

Sumber: Dhamma Kehidupan

Rabu, 06 Juni 2018

BUDDHA , Pengendali Pikiran


kendali_1


BUDDHA, PENGENDALI PIKIRAN
Oleh: Piyadassi Mahathera

Orang yang mempelajari agama Buddha secara objektif yang dengan teliti membaca buku tentang agama Buddha di masa awalnya secara menyeluruh, (dalam buku manapun) akan menemukan kepribadian yang dinamis dari seorang manusia yang telah mencapai Penerangan Tertinggi dan Kebebasan Mutlak melalui kesempumaan moral, intelektual dan spiritual. Seorang guru yang berusaha dengan semangat tanpa kenal lelah dan tekad yang bulat untuk menyebarkan kebenaran yang telah disadari-Nya. Orang yang memiliki kepribadian dinamis itu adalah Buddha.
Buddha bukanlah seorang filsuf di antara ahli filsafat lainnya, melainkan seorang Guru suci yang telah mencapai Penerangan, yang ajaran-Nya bertujuan merombak pikiran dan kehidupan umat manusia. Semangat pengorbanan diri, cinta kasih yang tanpa batas, kebaikan hati dan toleransi yang terkombinasi dengan kepribadian-Nya yang luar biasa, membangunkan mereka yang mengikuti-Nya dari ninabobo kebodohan dan membangunkan mereka untuk menyadari kebenaran.
Ajaran-Nya berawal di India Utara tetapi pesan-Nya menarik perhatian seluruh dunia. Buddha berbicara kepada seluruh umat manusia dan untuk sepanjang jaman. Ajaran dan disiplin-Nya (dhamma-vinaya) adalah untuk seluruh umat manusia, apapun bahasa yang mereka gunakan, apapun pakaian yang mereka kenakan, apapun negara yang mereka sebut “rumah”. Bahasa Buddha adalah kebenaran. Beliau mengenakan pakaian kebenaran dan seluruh dunia adalah “rumah”Nya; karena kebenaran terdapat dimana-mana dan setiap saat dapat disadari oleh setiap orang. Inilah yang dimaksud keuniversalan Buddha Dharma atau Agama Buddha. Kebenaran yang dibicarakan dalam Agama Buddha bukan konsep, oleh karena itu tidak dapat disebarkan hanya dengan kata-kata saja. Buddha dapat menuntun kita dengan menunjukkan jalan menuju kebenaran, kita sendiri yang harus mengikuti cara-cara meditasi untuk menyadari kebenaran dan menjadikannya milik sendiri.
Buddha adalah Pengendali Pikiran. Beliau mengembangkan pengendalian pikiran berkat meditasi dan berbagai bentuk peningkatan spiritual lain dalam rangkaian kehidupan berturut-turut. Dengan inilah Beliau dapat memahami dan menyatakan kebenaran pokok mengenai kehidupan, mengenai arti dan tujuannya. Meskipun begitu kebanyakan orang yang tertarik pada agama Buddha dewasa ini bukanlah memperhatikan kebenaran-kebenaran pokok ini, tetapi mempelajari, bagaimana ia dapat menghasilkan penyelesaian yang berguna untuk mengatasi keragu-raguan dan kesulitan yang mengacaukan dan membingungkan dirinya dalam usaha untuk memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan.
Salah satu kebenaran pokok yang telah dinyatakan oleh Buddha adalah kekuatan yang luar biasa dari pikiran. Menjawab pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang siswa-Nya, Beliau menjelaskan kebenaran ini dengan tegas sekali, “Dunia dikuasai oleh pikiran, dengan pikiran dunia terbentuk; semuanya terjadi di bawah kekuasaan pikiran.”
1) Ilmu pengetahuan belum sepenuhnya menyelidiki kekuatan dan pikiran, tetapi lebih dari 2500 tahun yang lalu Buddha telah menyadari keunggulannya dalam setiap aspek kehidupan. Agama Buddha di masa awal memandang pikiran merupakan suatu kekuatan besar yang harus dikembangkan dalam usaha untuk mencapai tujuan tertinggi, Nirwana (Nibbana). Agama Buddha yang juga tidak mengingkari dunia yang penuh persoalan dan dampak luar biasa yang diakibatkan oleh dunia fisik terhadap kehidupan rohani, menekankan lebih pentingnya pikiran manusia. Kekuatan pikiran merupakan hal yang sangat nyata.
Banyak orang yang mencari ilham dan kebahagiaan dari sumber-sumber di luar dirinya merasa kecewa. Hanya ketika seseorang menyadari keunggulan pikiran dan mengerti bahwa pikiran yang dimiliki seseorang dapat membuat dunia ini menjadi surga atau neraka bagi dirinya sendiri, maka ia akan belajar bagaimana untuk merasa bahagia. Sang Pengendali Pikiran memberikan pertolongan lebih lanjut, seperti yang dikatakan dalam Dhammapada (165):
“Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan.
Oleh diri sendiri pula seseorang ternoda.
Oleh diri sendiri kejahatan tidak dilakukan.
Oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci.
Suci atau tidak suci itu tergantung pada diri sendiri.
Tak seorang pun dapat membuat orang lain suci.”
Selain itu Sang Pengendali Pikiran berkata: “Engkau sendirilah yang harus berusaha, Para Buddha hanya menunjukkan jalan.”
2) Kebenaran-kebenaran yang berharga ini mengajarkan manusia untuk menemukan kebahagiaan di dalam dirinya sendiri dan melalui dirinya sendiri.
Kebenaran pokok lain yang datang dari Sang Pengendali Pikiran adalah:
“Segala sesuatu yang terbentuk adalah tidak kekal,
Mereka timbul dan lenyap, itulah sifat dasarnya;
Mereka dilahirkan dan meninggal dunia,
Terbebas dari hal ini merupakan kebahagiaan tertinggi.”
(D. ii.157)
“Segala hal yang memiliki sifat untuk timbul, memiliki sifat untuk lenyap.”
3) Perubahan ini merupakan inti dari segala sesuatu. Manusia tidak berbahagia karena semua hal yang diinginkannya – istri dan anak-anak, kekayaan dan kekuasaan – tidak bertahan selamanya. Dalam pekerjaan apa pun setiap orang mengalami kecemasan yang sama untuk mempertahankan apa yang dicintainya. Hanya jika manusia menyadari kebenaran pokok mengenai ketidakkekalan segala sesuatu maka ia akan melatih dirinya sendiri untuk melepaskan diri dari nafsu keinginan, karena nafsu keinginan rendah membawa ketidakbahagiaan.
Dalam hubungan ini, Sang Pengendali Pikiran mengucapkan sabda sebagai berikut:
“Dari nafsu keinginan timbul kesedihan,
Dari nafsu keinginan timbul ketakutan,
Bagi orang yang telah bebas dari nafsu keinginan,
Tiada lagi kesedihan maupun ketakutan” (Dhp. 216)
Buddha kadangkala lebih memperhatikan tujuan yang mengandung unsur pengobatan daripada analisis obyektif. Akan tetapi yang terutama mendapat perhatian-Nya adalah pandangan analitis terhadap segala sesuatu, karena hal ini membantu seseorang untuk memahami sesuatu sebagaimana hakekat yang sesungguhnya. Melalui meditasi, Buddha menemukan akar dari penyakit-penyakit universal yang terdapat di hati dan pikiran manusia. Pengetahuan-Nya yang luar biasa sampai ke dalam cara berpikir menempatkan Buddha sebagai Pengendali Pikiran, seorang ahli psikologi, dan seorang ilmuwan terbesar. Tidak disangkal, caranya mencapai kebenaran-kebenaran dari kehidupan rohani ini tidak selalu bersifat eksperimen, namun apa yang ditemukan oleh Buddha tetap benar, dan dalam kenyataannya telah dibuktikan oleh para ahli percobaan. Akan tetapi tujuan Buddha terkait dengan penyelidikan ini berbeda dengan tujuan para ilmuwan. Para ilmuwan lebih memusatkan perhatian untuk memperoleh pengetahuan objektif mengenai sifat-sifat dasar, tetapi pernyataan Buddha tentang sifat-sifat dasar dari pikiran dan jasmani di arahkan untuk mencapai kebebasan, pembebasan tertinggi dari keterikatan. Ajaran-Nya banyak menekankan fenomena pikiran dan mental karena hal ini memainkan peranan penting dalam menimbulkan perbuatan. Dalam agama Buddha pikiran merupakan basis, “Pikiran mendahului segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran membentuk segalanya.” (Dhp.1)
Buddha adalah seorang manusia. Bahkan sesudah Beliau menjadi Buddha Beliau tidak menyatakan diri-Nya sebagai Dewa, Tuhan atau Brahma, yang menciptakan dunia dan mengadili nasib manusia. Ia adalah seorang MANUSIA di antara banyak manusia. Bila ditanya siapakah Dia, jawabannya adalah: “Aku seorang yang telah sadar” dan Beliau menyimpulkan pencapaianNya dalam kata-kata berikut ini:
“Aku mengetahui apa yang harus diketahui,
Apa yang harus dikembangkan telah Kukembangkan.
Apa yang harus ditinggalkan telah Kutinggalkan,
Maka, Aku adalah BUDDHA, Dia yang bangun.”
(Sn. 558)
Pengikut-Nya, menyadari bahwa kebahagiaan dan penderitaan adalah akibat dari perbuatan baik dan perbuatan tidak baik yang dilakukan seseorang, tidak memohon kepada-Nya dan tidak mengharapkan dari-Nya balas jasa ataupun hukuman. Mereka berlindung kepada Buddha dengan menyadari bahwa hidup-Nya dan ajaran-Nya menawarkan pada mereka sebuah teladan dan tuntunan. Dengan mengikuti ajaran-Nya mereka mampu meningkatkan kehidupan rohani dari tingkat yang lebih rendah menuju yang lebih tinggi, dan akhimya mencapai kebahagiaan yang merupakan hasil dari perkembangan spiritual tertinggi, kebahagiaan Nirwana.
Buddha dapat juga disebut sebagai seorang revolusioner dalam pengertian sesungguhnya. Tujuan-Nya yang utama adalah mengadakan perubahan dalam kehidupan rohani manusia, termasuk dunia dan menunjukkan jalan menuju kesucian batin, kedamaian dan kebahagiaan. Akan tetapi Beliau menemukan bahwa masyarakat India sangat memerlukan perubahan secara radikal, karena begitu banyaknya ketimpangan sosial, serta diskriminasi ekonomi dan sosial. Sejauh mengenai perhatian pada ketimpangan ekonomi, Buddha berhasil menciptakan jaminan ekonomi yang stabil dalam kelompok para bhikkhu dan bhikkhuni. Apa pun dasarnya wihara dan dana yang disumbangkan oleh umat awam kepada Sangha selalu merupakan milik Sangha, dan bukan milik perseorangan.
Bagaimanapun juga, Bhagawa menentang semua bentuk diskriminasi sosial. Ketika membicarakan Dharma dalam ajaran-Nya, Beliau tidak membeda-bedakan kasta, suku, kelas, jenis kelamin ataupun perbedaan lainnya Pria dan wanita dari berbagai pekerjaan – kaya dan miskin, kalangan rendah dan kalangan atas, yang terpelajar dan yang buta huruf, brahmana dan luar kasta, pangeran dan fakir miskin, orang suci dan penjahat — semuanya mengindahkan Buddha, berlindung kepada-Nya dan mengikuti jalan menuju kedamaian dan penerangan yang telah ditunjukkan oleh Beliau kepada mereka. Jalan ini terbuka bagi semua orang.
Sebagai orang yang bertingkah laku sesuai dengan apa yang di- khotbahkan-Nya, Buddha selalu memusatkan perbuatan kepada Empat Keadaan Luhur (brahmavihara): cinta kasih (metta), belas kasih (karuna), simpati atau bahagia melihat kebahagiaan orang lain (mudita) dan keseimbangan batin (upekkha). Buddha dikenal sebagai orang yang telah meletakkan gada (nihita danda), seseorang yang telah meletakkan senjata (nihita sattha). Satu-satunya senjata yang berhasil digunakan-Nya adalah cinta kasih dan belas kasih. Beliau mempersenjatai diri dengan kebenaran dan belas kasih.
Beliau adalah penjelajah terbesar di dunia. Ia berjalan dan berjalan terus sepanjang jalan raya dan jalan kecil di India, merangkul semuanya kedalam pancaran kasih dan kebijaksanaan-Nya yang tidak terbatas.
Ia bergerak di antara pria dan wanita, bukan sebagai manusia super atau penjelmaan dewa, tetapi sebagai manusia seutuhnya. Dalam kenyataannya, sifat dasar kemanusiannyalah yang terlihat nyata dalam catatan kehidupan dan kegiatan-Nya yang tertulis dalam Kitab Suci. Buddha membuat orang-orang mengerti bahwa semua orang dapat menjadi Buddha asalkan mau mengembangkan sifat dasar penting yang dapat menuntun menuju penerangan.
Buddha memiliki rasa humor yang tinggi dan sifat ramah yang membuat orang-orang yang datang berhubungan dengan-Nya merasa senang. Namun, agak lucu pula bila kita perhatikan bahwa sebagian orang pada zaman itu, terutama anggota kepercayaan lain, merasa takut kepada Buddha dan tidak berani mengirimkan para murid dan pengikut mereka kepada Buddha, takut kalau-kalau mereka beralih agama. Hal ini tampak jelas dalam catatan berikut ini:
Suatu ketika Nigantha Nataputta (Jaina Mahavira) ingin mengirim seorang siswanya yang terkenal, Upali, menemui Buddha untuk menyangkal kata-kata-Nya dalam perdebatan. Kemudian Dighatapassin, pengikut Jaina, berkata kepada Nataputta: “Bagiku, Yang Mulia, sebenarnya tidak perlu sekali mengirim Upali untuk menyangkal kata-kata Petapa Gotama, karena Petapa Gotama penuh tipu daya; Ia tahu mantra sihir yang dengan itu menarik para pengikut dari sekte-sekte lain. (Gotamo mayavi avattananim mayam janati)” (M.56; A. ii, 190).
Mereka mungkin tidak menyadari bahwa metta yang dimiliki Buddha, kebesaran cinta kasih dan kebaikan hatinyalah yang menarik orang- orang kepada-Nya dan bukan dengan “muslihat yang menarik hati.”
Buddha merupakan perwujudan dari metta, contoh dari cinta kasih dalam tuntunan dan keteladanan. Dalam perdebatan, Beliau selalu tenang dan menghadapi penantang tanpa merasa terganggu, tanpa menunjukkan kemarahan. Saccaka, lawan debatnya, pada akhir perdebatan dengan Buddha, tidak dapat menahan diri untuk berkata: “Bagus sekali, mengagumkan, Gotama yang baik, walau dicecar secara bertubi-tubi, walau diserang dengan kata-kata yang penuh tuduhan, sifat Gotama yang baik begitu jelas, dan wajahnya menunjukkan kebahagiaan sebagai seorang Arahat, yang sempuma, yang telah mencapai Penerangan Tertinggi.” (M36)
Bahkan ketika orang-orang menyerang-Nya dan berusaha mempermalukan dengan kata-kata kasar, air muka Buddha tidak pernah berubah. Dikatakan bahwa Beliau tersenyum, senyuman selalu mengawali ucapan-Nya (mihita pubbangama).
Ernest F. Fenollosa menilai: “Kesan terhadap tokoh ini (Buddha), berdasar pandangan orang untuk pertama kali, menunjukkan Dia memiliki kesucian yang hebat. Anggaplah berkelakar, seorang Kristiani yang berwawasan luas (=dirinya sendiri) juga dapat dengan bebas terdorong untuk membungkukkan diri di hadapan senyuman-Nya yang manis dan penuh kekuatan.”
Tak ada sifat manusia yang menjadi milik khusus (prerogatif) agama, negara, ras atau kebudayaan tertentu. Bagi mereka, semua memiliki mata untuk melihat dan pikiran untuk mengerti akan menyadari bahwa sifat-sifat seperti persahabatan, belas kasih dan kebesaran hati umumnya terdapat dalam diri setiap umat manusia. Akan tetapi ketika orang-orang itu salah jalan dan tersesat, mereka membicarakan dan merencanakan “perang demi keadilan” – kita bahkan membaca mengenai “perang suci”. Perang adalah perang; “adil ataupun suci”; tidak pernah membawa kedamaian. Semua bentuk perang adalah biadab.
Suatu kejadian pada suatu ketika membawa Buddha menuju medan perang. Sakya dan Koliya, dua negara yang bertetangga sampai di ambang peperangan karena memperebutkan air Sungai Rohini. Mengetahui bencana yang akan timbul, Bhagawa lalu menghampiri mereka dan menanyakan kepada mereka manakah yang lebih berharga, air atau darah manusia. Mereka mengakui bahwa darah manusia lebih berharga. Bhagawa berbicara kepada mereka dan perang yang hampir pecah dapat dicegah.
4)Dalam bidang agama dan filosofi, perubahan terbesar yang dilakukan, oleh Buddha ketika Beliau mengecam konsep atta atau atman, roh yang kekal, diri atau aku yang kekal. Ajaran mengenai anatta, tanpa roh yang kekal, semata-mata merupakan ajaran agama Buddha. Buddha menunjukkan bahwa menjadi apapun, dengan berbagai maksud kita menamakan pria, wanita atau pribadi, bukanlah merupakan sesuatu yang statis melainkan dinamis. Perpaduan antara jasmani dan rohani selalu dan terus menerus berubah.
Kini jika seseorang melihat kehidupan dari pandangan ini dan mengerti secara analitis bahwa keberadaannya merupakan rangkaian agregat rohani dan jasmani secara keseluruhan, ia melihat benda-benda sebagaimana yang sesungguhnya. la tidak berpegang pada pandangan salah mengenai “kepercayaan akan adanya pribadi” (sakkaya ditthi), kepercayaan terhadap adanya roh atau diri yang kekal, abadi, tidak berubah dan tetap, karena ia mengetahui melalui pengertian benar bahwa seluruh bentuk kehidupan yang nyata merupakan rangkaian sebab-musabab yang saling bergantungan (paticca samuppada). Melihat bahwa segala sesuatu disebabkan oleh sesuatu yang lain dan kehidupan berhubungan dengan keadaan itu, ia menyadari bahwa sebenarnya tak ada “aku”, tidak ada prinsip aku yang kekal, tak ada diri atau sesuatu mengenai diri, tidak dalam proses kehidupan sekarang maupun di luar kehidupan saat ini. Oleh karena itu, ia bebas dari pikiran mengenai jiwa mikrokosmis (jivatma)atau jiwa makrokosmis (paramatma) atau bahkan jiwa kosmis.
Buddha tidak mengakui segala bentuk atman, jiwa atau diri, besar atau kecil yang kekal, karena hal-hal itu hanya merupakan bayangan dalam pikiran. Beliau bertanya: “Ketika suatu atman, jiwa atau diri tidak ditemukan, bukankah bodoh untuk menyatakan alam semesta sebagai atman atau diri dan mengatakan: aku akan menjadi atman setelah kematian, kekal, abadi, tidak berubah dan akan tetap sebagai atman untuk selamanya?”‘
5)Barang siapa yang berakar pada pemikiran mengenai jiwa atau diri itu akan merasa takut dan khawatir ketika ia mendengar bahwa segala keindahan yang disenanginya akan hancur dan ia akan dihancurkan. Oleh karenanya ia menyukai pemikiran mengenai atman, jiwa atau diri yang kekal untuk mempertahankan dirinya sendiri. Itu sebabnya mengapa Buddha mengingatkan para pengikut-Nya agar memandang Beliau bukan sebagai juru selamat yang menyelamatkan jiwa makhluk ciptaannya, tetapi sebagai seorang guru yang menuntun mereka pada jalan yang benar dan mendorong mereka untuk memiliki kepercayaan pada diri sendin. Beliau juga menerangkan kepada para siswa-Nya bahwa jika Beliau meninggal dunia nanti, mereka harus mencari tempat berlindung dan perlindungan dalam diri mereka sendiri sebagaimana juga di dalam Dharma, ajaran-Nya dan bukan pada tempat lain (attasarana anannasarana dhammasarana anannasarana)
6)Namun, sebagian orang terpelajar, tidak dapat menerima ajaran tanpa aku ini, dan oleh karena itu mereka mencoba untuk mengubah ajaran Buddha dengan mengakui pemikiran mengenai “diri” (atta).
Radhakrishnan, contohnya, salah menerjemahkan Dhammapada ayat 160yang berbunyi: “Diri sendiri adalah tuan dari diri sendiri, siapa pula yang dapat menjadi tuan bagi dirinya sendiri? Setelah dapat menaklukkan dirinya sendiri dengan baik, seseorang akan menemukan tuan yang hanya sedikit orang saja dapat menemukannya.”
7)Di sini kata “atta” tidak memiliki hubungan dengan jiwa atau diri. Kata itu digunakan sebagai refleksi atau kata ganti tak tentu yang berarti saya sendiri, kau sendiri, aku sendiri, diri sendiri atau lain-lain. Berikut ini adalah terjemahan yang benar: “Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri, karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya? Setelah dapat mengenali dirinya sendiri dengan baik, ia akan memperoleh perlindungan yang sungguh amat sukar dicari.”
Para peterjemah juga salah mengartikan kata kunci “natha” yang berarti perlindungan, pertolongan dan bukan “tuan”. Penjelasan pada ayat itu mengatakan “nattho ti patitha”nattha artinya perlindungan (bantuan, tempat berlindung, pertolongan). Pikirkan lawan katanya “anatha“. Apakah artinya menjadi “tanpa tuan”‘? Tidak, ini artinya tanpa bantuan, tanpa perlindungan, tanpa pertolongan. Terjemahan yang salah menimbulkan pemikiran yang keliru mengenai diri yang besar menguasai diri yang kecil, jiwa makrokosmis menguasai jiwa mikrokosmis.
Sebagian orang suka berpikir keliru bahwa Buddhisme dapat diperbandingkan dengan filsafat Marxisme karena keduanya dianggap menyangkal Dewa yang kekal dan roh yang kekal. Salah bila mengatakan bahwa agama Buddha mempengaruhi filsafat Marx, atau ajaran agama Buddha mendekati dasar-dasar ajaran Marxisme. Ajaran Buddha mengenai hukum sebab akibat moral (kamma), kehidupan sebelum kelahiran, kehidupan setelah kematian (punnabhava)dan kebebasan tertinggi dari keterikatan (Nibbana), sama sekali asing bagi Marxisme.
Penganut Marxisme percaya bahwa tidak ada yang hidup terpisah dari materi. Bahkan pikiran merupakan hasil dari materi. Mereka percaya bahwa setelah kematian badan jasmani, “kepribadian” yang berhenti hidup.
Bagi penganut agama Buddha pertanyaan mengenai agama dan asal mulanya bukanlah merupakan pertanyaan yang bersifat metafisika, tetapi merupakan pertanyaan yang bersifat psikologis dan intelektual. Baginya agama bukan semata-mata keyakinan atau kitab wahyu ataupun ketakutan terhadap sesuatu yang tidak diketahui atau ketakutan terhadap makhluk gaib yang memberi pahala terhadap perbuatan baik dan memberi hukuman terhadap perbuatan jahat yang dilakukan oleh makhluk ciptaannya. Tidak hanya perhatian mengenai teologi, tetapi lebih kepada soal psikologis dan intelektual yang diakibatkan karena pengalaman merasa dukkha, yaitu penderitaan, konflik dan ketidakpuasan terhadap keberadaan empiris dalam sifat kehidupan.
Ketika kita mempertimbangkan isi ajaran agama Buddha, kita dapat melihat sesungguhnya ajaran agama Buddha berbeda dengan ajaran agama lain terutama mengenai konsep penciptaan. Ada banyak kepercayaan dalam agama Buddha, tetap tidak dapat dimasukkkan di antara agama-agama yang terpusat pada penciptaan dan kekuatan-kekuatan supranatural. Agama Buddha tidak mengenal Dewa pencipta yang kekal dan tidak menganjurkan upacara pemujaan dalam bentuk apa pun dan permohonan kepada para dewa. Tidak ada kepercayaan terhadap kekuatan supernatural di luar manusia yang menguasai nasibnya. Dalam agama Buddha manusia menghubungkan seluruh pencapaian dan prestasinya kepada usaha dan pengertiannya sendiri. Agama Buddha bersifat antroposentris, tidak teosentris. Bagi umat Buddha, agama merupakan pandangan hidup, kurang lebih mengenai pandangan moral, latihan spiritual dan intelektual yang menuntun ke arah pencapaian pengetahuan tertinggi, yang mengakhiri seluruh penderitaan dan kelahiran yang berulang-ulang dan berhasil mencapai kebebasan batin yang sempurna.
Dilihat dari pandangan filosofis, Buddha tidak merisaukan masalah yang dikhawatirkan oleh para ahli filsafat Timur maupun Barat dari zaman dahulu hingga sekarang. Dalam pandangan-Nya masalah-masalah metafisika hanya membingungkan manusia dan mengganggu keseimbangan rohaninya. Beliau tahu bahwa pemecahannya tidak akan menghindari seseorang dari penderitaan, dari ketidakpuasan terhadap sifat kehidupan. Itulah sebabnya mengapa Beliau tidak ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu, dan pada saatnya menahan diri untuk menjelaskan hal itu yang dirumuskan secara salah.
Tantangan dari agama Buddha merupakan sarana yang mendorong para pemikir keagamaan untuk meninjau kembali definisi kuno mereka tentang agama, dan menemukan definisi baru yang dapat selaras dengan agama Buddha. Cara umat Buddha memahami kebenaran tertinggi, bangun dari kebodohan untuk mencapai pengetahuan sempurna, tidak tergantung hanya kepada perkembangan kepandaian teoritis intelektual akademis, tetapi kepada pelaksanaan dari ajaran yang praktis. Gabungan yang menyenangkan dari teori dan praktik inilah yang menuntun penerangan dan pembebasan akhir.
Catatan:
1. A. ii, 117
2. Dhp. 276
3. Vin. i, 10; S. v, 420.
4. AA. I, 241; SnA 357; Thag A. 141.
5. Alagaddupama Sutta, M. 22, 138
6. Maha Parinibbana Sutta D. 16, 100.
7. S. Radhakrishnan, Gautama the Buddha(Hinds Kitabs, Bombay)
———————-
Sumber : Spektrum Ajaran Buddha, kumpulan tulisan Piyadassi Mahathera
Penerbit : Yayasan Pendidikan Buddhis Triratna, Jakarta, 2003
Y.A. Piyadassi adalah bhikkhu Srilanka. Beliau telah wafat pada tanggal 18 Agustus 1998 di Colombo, Srilanka

Selasa, 29 Mei 2018

Apakah Yang Di maksud dengan Parami


Senin, 30 April 2018

TINGKAT KESUCIAN

Disusun oleh : Tanhadi

Tingkat kesucian dalam agama Buddha dapat dibagi dalam dua golongan :

·       Puthujjana - Ialah para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga yang belum mencapai tingkat kesucian.

·       Ariya-puggala - Ialah para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga yang setidak-tidaknya telah mencapai tingkat kesucian pertama.

Setiap orang yang belum menapaki jalan kesucian dikenal sebagai puthujjana, yang secara harafiah berarti "orang awam". Jika dibandingkan dengan orang yang telah menapaki jalan kesucian (ariya-magga), maka puthujjana akan terkesan "gila" atau "kacau", oleh karena belum memiliki keseimbangan batin.

1.  Empat Tingkat Kesucian

Buddhisme mengenal empat jenis orang suci(ariya) yang terdiri dari Sotapanna (Skt Srotapanna), Sakadagami (Skt Sakrdagamin),Anagami, dan Arahat.

2.  Derajat kesucian ini didasarkan atas jumlah belenggu (samyojana) yang telah mereka patahkan. Aliran Theravada mengenal adanya sepuluh belenggu yang menyebabkan para makhluk terus berputar-putar dalam samsara.

Kesepuluh belenggu itu adalah:

1.  Sakkayaditthi  : Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa atau aku yang kekal.

2.  Vicikiccha: Keragu-raguan terhadap Sang Buddha dan AjaranNya.

3.  Silabbataparamasa : Kepercayaan tahyul bahwa upacara agama saja dapat membebaskan manusia dari penderitaan.

4.  Kamaraga : Nafsu Indriya.

5.  Vyapada : Benci, keinginan tidak baik.

6.  Ruparaga = Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk. (rupa-raga).

7.  Aruparaga = Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa bentuk.

8.  Mana = Ketinggian hati yang halus, Perasaan untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain .

9.  Uddhacca = Bathin yang belum seimbang benar.

10.  Avijja = Kegelapan bathin, Suatu kondisi batin yang halus sekali karena yang bersangkutan belum mencapai tingkat kebebasan sempurna (arahat).

1.     Sotapanna

Kebanyakan umat Buddhis berusaha melatih sila dasar dan menjadi sempurna hanya dalam diri orang-orang yang telah mendekati tingkatan Sotapanna (Skt Srotapanna), dimana kata ini secara harafiah berarti "Pemasuk Arus". Pada tingkatan Sotapanna, seorang mendapatkan sekilas pandangan yang pertama atas Nibbana dan mulai menapaki jalan kesucian.

Seorang Sotapanna diyakini telah mematahkan tiga belenggu pertama (Samyutta-Nikaya) , yaitu :

1.  Sakkayaditthi  : Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa atau aku yang kekal.

2.  Vicikiccha: Keragu-raguan terhadap Sang Buddha dan AjaranNya.

3. Silabbataparamasa : Kepercayaan tahyul bahwa upacara agama saja dapat membebaskan manusia dari penderitaan.

Tetapi Ia belum berhasil membebaskan dirinya dari hawa nafsu. la telah terbebas dari kelahiran kembali sebagai makhluk neraka, hantu, binatang, atau asura. la dipastikan menjadi Arahat setelah mengalami kelahiran kembali maksimum tujuh kali lagi (Anguttara-Nikaya).

Belenggu pertama dihancurkan dengan penembusan mendalam ke dalam Empat Kebenaran mulia dan Sebab Musabab yang Saling Bergantungan. Belenggu kedua dihancurkan karena ia telah "melihat" dan "terjun ke dalam" Dhamma (Majjhima-Nikaya). Belenggu ketiga dihancurkan karena kendati moralnya murni, namun ia menyadari bahwa itu saja masih belum memadai untuk mencapai Nibbana.

  

Ada tiga macam Sotapanna :

a)   Ekabiji Sotapanna adalah Sotapanna yang akan terlahir kembali sekali lagi.

b)   Kolamkola Sotapanna adalah Sotapanna yang akan terlahir kembali dua atau tiga kali lagi.

c)   Sattakkhattuparana Sotapanna adalah Sotapanna yang akan terlahir kembali tujuh kali lagi.

2.     Sakadagami

Dengan memperdalam penembusan pandangan terangnya, seseorang bisa mencapai tingkatan Sakadagami ("Yang Hanya Kembali Sekali Lagi"). Seorang Sakadagami telah mematahkan tiga belenggu Sotapanna(Sakkayaditthi, Vicikiccha , Silabbataparamasa) dan melemahkan belenggu-belenggu Anagami , yaitu :

4.  Kamaraga : Nafsu Indriya.

5.  Vyapada : Benci, keinginan tidak baik.

Seorang Sakadagami dilahirkan kembali maksimum sekali lagi di dalam dunia alam nafsu keinginan (kamadhatu) sebagai manusia atau makhluk surga tingkat bawah sebelum mencapai Nibbana.

3.     Anagami

Seorang Anagami ("Yang Tidak Terlahir Kembali") telah mematahkan sepenuhnya kelima belenggu (Sakkayaditthi, Vicikiccha , Silabbataparamasa, Kamaraga dan Vyapada). Ia tidak lagi dilahirkan di alam nafsu (manusia). Namun pencapaiannya belumlah memadai untuk menjadikannya seorang Arahat, dan bila ia belum sanggup untuk menjadi seorang Arahat pada kelahiran berikutnya, maka ia akan terlahir kembali di surga pertama dari "lima kediaman suci"(Alam Suddhavasa), atau surga-surga terhalus dan termurni di antara surga-surga di Alam Berwujud. Hanya seorang Anagami- lah yang dilahirkan di sana. Di surga ini ia akan mengembangkan penembusannya hingga mencapai tingkat kesucian Arahat dan mencapai parinibbana.

Ada lima macam Anagami :

1.  Mereka yang mencapai penerangan selama pertengahan pertama dari masa kehidupan mereka  ( Antaraparinibbayi ).

2.  Mereka yang mencapai penerangan selama pertengahan kedua dari masa kehidupan mereka ( Antaraparinibbayi ).

3.  Mereka yang mencapai penerangan melalui usaha keras ( Sasankhara parinibbayi )

4.  Mereka yang mencapai penerangan melalui usaha ringan ( Asankhara parinibbayi)

5.  Mereka yang mencapai alam kehidupan akanittha, yaitu alam kehidupan yang tertinggi    (Uddham-soto-akanitthagami)

Dua yang pertama digolongkan berdasarkan atas masa kehidupan mereka, sedangkan yang ketiga dan keempat berdasarkan usaha-usaha mereka, sedangkan yang kelima ditandai melalui alam tujuan mereka.

4.     Arahat

Seorang Arahat telah mematahkan seluruh sepuluh belenggu ini , sehingga dengan demikian mengakhiri dukkha dan semua kelahiran kembali dalam pengalaman Nibbana yang penuh kebahagiaan. Seorang Arahat mempunyai kemampuan terbang dengan tubuh jasmaninya, sedangkan tingkatan-tingkatan yang lebih rendah daripadanya hanya dapat terbang dengan menggunakan kesadarannya.

Catatan:

- Untuk Belenggu ruparaga dan aruparaga, Apabila ia meninggal sewaktu dalam keadaan samadhi dan telah mencapai Jhana I, Jhana II, Jhana III atau Jhana IV , maka ia dilahirkan di Alam bentuk (rupa-raga).

Lima Samyojana/Belenggu pada Sotapanna dan Anagami dikenal sebagai lima belenggu rendah atau Orambhagiya-samyojana, Lima samyojana berikutnya pada Belenggu arahat dikenal dengan nama belenggu tinggi atau Uddhambhagiya-samyojana.

Orambhagiya-samyojana dan Uddhambhagiya-samyojana telah dimusnahkan oleh Arahat.

oooOOooo

Jumat, 20 April 2018

Imlek Bukan Hari Raya Agama Buddha

Selasa, 12 Februari 2008

Bhagavant.com,
Jakarta, Indonesia – Pada tanggal 7 Februari yang lalu, suku bangsa Tionghoa di seluruh dunia merayakan perayaan Tahun Baru China atau disebut Tahun Baru Imlek. Begitu juga masyarakat Indonesia khususnya dari keturunan etnis Tionghoa juga merayakan Tahun Baru Imlek.

Sudah enam tahun sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 TENTANG HARI TAHUN BARU IMLEK tertanggal 9 April 2002, perayaan Tahun Baru Imlek telah dirayakan secara bebas. Namun sayang, nampaknya masih banyak orang, khususnya di Indonesia, yang salah memahami perayaan Tahun Baru Imlek sebagai hari perayaan keagamaan khususnya menganggap sebagai perayaan dalam agama Buddha.

Kesalahpahaman mengenai anggapan bahwa Imlek adalah perayaan agama Buddha oleh sebagian besar orang, khususnya di Indonesia, didasari oleh kurangnya informasi yang benar dan melekatnya stigma dan sikap penyamarataan bahwa warga keturunan etnis Tionghoa pastilah beragama Buddha, Tao atau Kong Hu Chu, dan agama Buddha adalah agama khusus warga keturunan etnis Tionghoa. Sehingga ketika umat Buddha Indonesia yang sebagian besar adalah berlatar belakang keturunan etnis Tionghoa merayakan tradisi Tionghoa, dalam hal ini perayaan Imlek, maka sebagian besar orang beranggapan bahwa Imlek adalah hari raya agama Buddha. Padahal tidak demikian.

Secara singkat, Imlek sendiri merupakan suatu perayaan tradisi menyambut musim semi dan berakhirnya musim dingin yang dilakukan oleh suku bangsa Tionghoa di Tiongkok (China), yang dalam perkembangannya ditetapkan sebagai hari pergantian tahun.

Penanggalan Imlek di Tiongkok dimulai sejak tahun 2637 SM, sewaktu Kaisar Oet Tee / Huang Ti (2698-2598 SM) mengeluarkan siklus pertama pada tahun ke-61 masa pemerintahannya. Penanggalan Imlek sebutan asalnya adalah He Lek, yakni Penanggalan Dinasti Ke / Hsia (2205-1766 SM) yang pertama kali mengenalkan penanggalan berdasarkan matahari, dan penetapan tahun barunya bertepatan dengan tibanya musim semi. Dinasti Sing/Ien (1766-1122 SM) menetapkan tahun barunya mengikuti Dinasti He, yakni akhir musim dingin.

Dari penjelasan di atas jelas bahwa Imlek berawal dari sebuah tradisi menyambut musim semi, dan tidak ada kaitannya dengan perayaan keagamaan manapun. Dengan demikian, Imlek dapat dirayakan secara lintas agama, khususnya mereka yang berlatar belakang keturunan etnis Tionghoa.

Salah satu acara dalam perayaan Imlek adalah ”sembahyang” leluhur. Acara ”sembahyang” leluhur ini rupanya diartikan oleh warga keturunan etnis Tionghoa yang beragama non-Buddhis, non-Tao dan non-Kong Hu Chu sebagai acara berdoa memohon rejeki kepada para leluhur sehingga mereka menganggap bahwa hal tersebut bertentangan dengan ajaran agama mereka. Karenanya, banyak umat Kristen maupun Muslim keturunan etnis Tionghoa yang meninggalkan tradisi perayaan Imlek.

Berbeda dengan umat agama lain, umat Buddha keturunan etnis Tionghoa memandang acara ”sembahyang” leluhur sebagai suatu penghormatan kepada para leluhur dan bukan meminta rejeki kepada para leluhur. Jadi istilah ”sembahyang” yang tepat bukanlah berarti berdoa meminta kepada leluhur, tetapi justru menghormati dan mendoakan para leluhur. Dan menghormati mereka yang patut dihormat adalah salah satu wujud dari pelaksanaan Dhamma (Kebenaran).

Dengan demikian, meskipun Imlek bukan merupakan hari raya agama Buddha namun umat Buddha yang berlatar belakang keturunan etnis Tionghoa dapat dengan bebas merayakan Imlek.

Selamat Tahun Baru Imlek bagi yang merayakannya.

Ullambana, Pattidana di Bulan Hantu Cit Gwee

Kamis, 27 Agustus 2015

Bhagavant.com,
Beijing, Tiongkok – Bulan ke-7 atau Cit Gwee dalam kalender Tionghoa (Imlek), secara tradisi dikenal sebagai “Bulan Hantu”. Dan dalam bulan ini umat Buddha khususnya tradisi Mahayana Tiongkok memperingati Hari Ullambana yang jatuh pada hari ke-15 penanggalan Imlek.

Hari Ullambana sering disalahpahami sebagai Festival Hantu Kelaparan (Zhong Yuan Jie atau Yu Lan Jie) yang ada dalam kepercayaan lain dengan berbagai mitos-mitos suram, serta pantangan-pantangan takhayul yang menyelimutinya. Dan puja bakti pada Hari Ullambana juga disalahpahami sebagai Cioko (Cio ko, Cio Sie Kow) atau Sembahyang Rebutan dalam kepercayaan lain.

Meskipun berkaitan dengan makhluk tak terlihat atau secara umum disebut hantu, Hari Ullambana tidak berkaitan dengan mitos-mitos suram dan pantangan takhayul. Bahkan dalam ajaran Agama Buddha, tidak ada yang namanya “Bulan Hantu”, tidak ada mitos dibebaskannya hantu-hantu dari neraka untuk berlibur (cuti) dan saling berebut makanan dari para dermawan selama bulan ke-7 atau Cit Gwee.

Sebaliknya, Hari Ullambana adalah hari bahagia saat umat Buddha dapat membalas budi dengan membantu makhluk tak terlihat yang menderita yaitu preta (Pali: petā) atau sering diterjemahkan sebagai hantu kelaparan, yang tidak menutup kemungkinan merupakan salah satu orang tua, leluhur, kerabat terdahulu.

Hari Ullambana sendiri muncul berdasarkan pada kepustakaan Buddhisme Mahayana yaitu Ullambana Sutra yang isinya mengenai Yang Arya Maudgalyāyana (Pali: Moggallāna), salah satu Siswa Utama Sri Buddha yang sedang bermeditasi melihat mendiang ibunya yang terlahir kembali sebagai hantu kelaparan dan beliau ingin menolongnya.

Berkat nasihat Sri Buddha, Maudgalyāyana dapat menolong mendiang ibunya dengan cara melimpahkan, membagi atau mengalihkan hasil perbuatan baiknya berupa mempersembahkan dana untuk Sangha Bhiksu, kepada mendiang ibunya, dan dilakukan pada akhir masa varsa (Pali: vassa – retret musim hujan) atau Pravarana (Pali: Pavarana) yaitu pada tanggal 15 bulan 7.

Praktik melimpahkan, membagi atau mengalihkan hasil perbuatan baik (jasa) yang telah dilakukan tersebut juga dipraktikkan dalam tradisi Buddhisme Theravada dan disebut dalam bahasa Pali sebagai Pattidāna. Dengan kata lain, upacara puja atau sembahyang Ullambana pada dasarnya atau esensinya merupakan bentuk dari praktik Pattidāna, hanya saja dilakukan di bulan Cit Gwee (bulan ke-7 Imlek). Sedangkan Pattidāna sendiri dapat dilakukan kapan saja.

Dalam kepustakaan Buddhisme Theravada, praktik Pattidāna berawal dari kisah Raja Bimbisara dari Kerajaan Magadha yang melimpahkan, membagi atau mengalihkan hasil perbuatan baiknya kepada para peta yang merupakan sanak keluarganya dengan cara mempersembahkan dana kepada Sangha Bhikkhu. Kisah ini memiliki esensi yang sama dengan kisah Maudgalyāyana, hanya saja tidak ditetapkan waktu pelaksanaannya.

Tidak sedikit yang berpendapat bahwa hari dan upacara sembahyang Ullambana adalah sama dengan Cioko atau Sembahyang Rebutan, hal ini dikarenakan begitu kentalnya kepercayaan dan tradisi lain yang menyelimuti dan melekat pada hari dan praktik tersebut, seperti membakar uang kertas dan menyembelih hewan untuk persembahan. Perpaduan mitos dan praktik-praktik tradisi lain tersebut telah mengaburkan esensi atau inti dari Ullambana sebagai praktik Pattidāna.

Cioko sendiri sebenarnya merupakan tradisi masyarakat agraris Tiongkok pada zaman dahulu yang merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur serta para dewa yang dilakukan pada pertengahan awal musim gugur (biasanya pada bulan ke-7 Imlek) agar panen mereka dapat menghasilkan hasil yang berlimpah saat musim gugur berakhir. Disebut dengan Sembahyang Rebutan karena berdasarkan kepercayaan tradisi bahwa pada saat upacara sembahyang tersebut para hantu yang bebas sementara dari neraka akan saling memperebutkan persembahan yang diberikan oleh penderma.

Kaburnya esensi Ullambana sebagai bentuk praktik Pattidāna selain karena mitos dan praktik-praktik tradisi lain juga diperkuat dengan adanya konversi penanggalan Hari Ullambana yang ada dalam Ullambana Sutra ke dalam bentuk penanggalan Imlek sehingga jatuh bertepatan dengan bulan ke-7 Imlek yang dalam kepercayaan lain dipercaya sebagai “Bulan Hantu”.

Alih-alih tanggal 15 bulan Kārttika (Pali: Kattikā – bulan ke-7 penanggalan India kuno) atau Oktober, Buddhis Mahayana Tiongkok pada masa lalu menetapkan Hari Ullambana pada tanggal 15 bulan Cit Gwee (bulan ke-7 penanggalan Imlek) atau Agustus.

Tanggal 15 bulan Kārttika sendiri dalam tradisi Buddhisme Theravada, merupakan hari Pavarana yang menandai berakhirnya masa retret musim hujan para bhikkhu dan diikuti dengan masa Kathina. Pada masa inilah umat Buddha dapat mempersembahkan dana kepada sangha bhikkhu yang telah berlatih diri yang diyakini sebagai “ladang subur” untuk menanam kebajikan yang akan menghasilkan pahala sangat besar dan dapat dilimpahkan kepada para makhluk maupun mendiang sanak keluarga yang terlahir di alam peta (hantu kelaparan).

Bercampurnya peringatan Hari Ullambana dengan tradisi kepercayaan lain dan membentuk tradisi sendiri juga dirayakan di berbagai negara. Di Jepang perayaan ini dikenal dengan nama Festival O-Bon, sedangkan di Vietnam dikenal dengan nama Tết Trung Nguyên.

Sangat disayangkan jika esensi Ullambana sebagai praktik pelimpahan jasa atau Pattidāna yang penuh berkah ini dikaburkan dengan mitos-mitos takhayul dan praktik-praktik non-Buddhis yang dapat mengurangi makna dan manfaatnya. Untuk itu pengertian benar dari esensi Ullambana perlu ditanamkan dalam diri setiap umat Buddha yang memperingati dan mempraktikkan kegiatan ini.[Bhagavant, 27/8/15, Sum]

Menambah Makna dan Nilai Hari Cheng Beng dengan Pattidana


Rabu, 4 April 2018

Bhagavant.com,
Jakarta, Indonesia – Hari Cheng Beng dirayakan setiap tahunnya pada awal bulan April oleh etnis Tionghoa yang masih memegang tradisi leluhur.

Berbagai ritual dilakukan saat perayaan Hari Cheng Beng ini, seperti ziarah kubur, mempersembahkan makanan, hingga membakar uang-uangan serta baju-bajuan kertas.

Berdasarkan dari asal katanya, kata “cheng beng” adalah istilah dalam bahasa Hokkian untuk kata “qing ming” (清明 – qingming) dalam bahasa Mandarin yang berarti “cerah dan terang”.

Hari yang cerah dan terang ini dianggap tepat untuk mengenang dan menghormati mendiang orang tua atau leluhur. Bahkan, Kaisar Xuanzong dari Dinasti Tang (685-762) mendorong perayaan Cheng Beng ini.

Meskipun Cheng Beng sendiri bukanlah tradisi dari Agama Buddha, namun tidak sedikit umat Buddha yang juga merupakan etnis Tionghoa dan keturunannya ikut merayakannya.

Ada berbagai alasan mengapa umat Buddha etnis Tionghoa tetap merayakan dan menjalankan ritual yang ada pada Hari Cheng Beng. Sekadar mempertahankan tradisi hingga berdasarkan pandangan keliru bisa menjadi alasannya.

Terlepas dari alasan merayakannya, Cheng Beng sejatinya bermakna untuk mengenang dan menghormati mendiang orang tua atau leluhur.

Makna itulah yang juga diajarkan dalam Agama Buddha, dan yang juga seharusnya dipahami umat Buddha dalam merayakan Cheng Beng.

Mengenang dan menghormati leluhur dalam Agama Buddha sesungguhnya terkandung dalam perayaan Hari Ullamabana dan praktik Pattidana (pelimpahan jasa).

Pattidana adalah praktik melimpahkan, membagi atau mengalihkan hasil perbuatan baik (jasa) yang telah dilakukan seseorang kepada makhluk yang sudah meninggal khususnya yang terlahir di alam menderita.

Cara terbaik pelimpahan jasa adalah dengan memberikan persembahan kepada Sangha (komunitas para bhiksu/bhikkhu).

Dalam Tirokudda Sutta, disebutkan cara untuk menolong sanak keluarga yang telah meninggal. Yaitu dengan memberikan dan menempatkan persembahan di dalam Sangha.

Alih-alih hanya melakukan ritual yang berbau mitos dan tidak mendasar, umat Buddha dapat menambahkan makna dan nilai yang lebih mulia dalam perayaan Cheng Beng dengan cara mempraktikkan Pattidana.

Dengan demikian, umat Buddha masih tetap bisa menjaga tradisi dengan pemahaman yang benar sesuai Buddha Dhamma.

Selain itu, umat Buddha juga dapat ikut menjaga pelestarian lingkungan dengan mengurangi ritual pembakaran persembahan kertas yang menimbulkan polusi udara.

Usaha untuk mengurangi ritual pembakaran persembahan kertas kini menjadi perhatian serius, khususnya oleh vihara-vihara tradisi Mahayana Tiongkok.

Vihara Kong Meng San Phor Kark See, salah satu vihara terbesar di Singapura, sebagai contoh, telah melarang ritual tersebut karena berdampak buruk pada lingkungan.[Bhagavant, 4/4/18, Sum]

Bolehkah Umat Buddha Merayakan Cheng Beng?

Bolehkah Umat Buddha Merayakan Cheng Beng?

Selasa, 28 Maret 2017

Bhagavant.com,
Jakarta, Indonesia – Salah satu tradisi Tionghoa adalah memperingati Hari Cheng Beng. Apa itu Hari Cheng Beng? Dan bolehkah umat Buddha merayakan Cheng Beng?

Berdasarkan asal katanya, kata “cheng beng” adalah istilah dalam bahasa Hokkian untuk kata “qing ming” (清明 – qingming) dalam bahasa Mandarin yang berarti “cerah dan terang”.

Kata “qing ming” sendiri adalah istilah dalam astronomi Tionghoa yang mengacu pada salah satu dari 24 posisi matahari. Posisi matahari tersebut terjadi saat musim semi di bulan ketiga penanggalan lunar (Imlek) atau tanggal 4 atau 5 April penanggalan Masehi. Pada saat itulah cuaca dianggap paling cerah dan terang, sehingga disebut dengan istilah “qing ming“.

Saat cuaca cerah dan terang itulah masyarakat Tionghoa kuno di Tiongkok, khususnya Kaisar Xuanzong dari Dinasti Tang (685-762) yang mendorong perayaan Qingming, menganggap sebagai waktu yang tepat untuk mengenang dan menghormati mendiang orang tua atau leluhur.

Salah satu cara mengenang dan menghormati leluhur yang menjadi tradisi yaitu dengan mengunjungi makam leluhur (ziarah kubur) dan membersihkannya. Cuaca yang cerah dan terang mempermudah seseorang untuk membersihkan pusara leluhur mereka.

Sejak saat itulah Qingming atau Cheng Beng kemudian dikenal dengan perayaan atau Festival Bersih Terang atau Festival Ziarah Kubur atau Membersihkan Kubur.

Tradisi ziarah kubur untuk mengenang dan menghormati leluhur yang ditambah dan diselimuti dengan bentuk kepercayaan setempat (non-Buddhis) menjadikan Cheng Beng seperti yang dirayakan saat ini.

Di zaman modern ini, bagi sebagian masyarakat Tionghoa dan peranakannya, tradisi ziarah kubur menjadi hal yang dapat dikesampingkan dengan tanpa menghilangkan makna menghormati dan mengenang leluhur, yaitu dengan cukup melaksanakan persembahyangan dengan tetap diselimuti oleh kepercayaan rakyat Tiongkok (non-Buddhis).

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, makna inti dari Hari Cheng Beng tidak lain dan tidak bukan adalah mengenang dan menghormati mendiang orang tua atau leluhur.

Mempersembahkan makanan kesukaan mendiang, membakar baju dan uang kertas, dan sejenisnya yang ada dalam perayaan Cheng Beng hanyalah cara-cara menghormati yang berasal dari kepercayaan setempat yang menjadi kebiasaan (tradisi).

Lalu, bolehkah umat Buddha khususnya etnis Tionghoa merayakan Cheng Beng?

Berdasarkan pemahaman pada makna inti dari perayaan Cheng Beng yaitu mengenang dan menghormati mendiang orang tua atau leluhur, umat Buddha jelas boleh merayakan Cheng Beng.

Mengenang dan menghormati mendiang orang tua atau leluhur juga diajarkan dalam Agama Buddha yang terlihat dan terkandung dalam perayaan Hari Ullamabana dan praktik pelimpahan jasa (Pali: pattidana).

Yang perlu ditekankan adalah perlunya umat Buddha memiliki pemahaman yang benar (yaitu makna intinya) dan melakukan penyesuaian dengan ajaran Agama Buddha dalam merayakan Cheng Beng.

Umat Buddha dapat menggantikan cara-cara non-Buddhis yang ada dalam perayaan Cheng Beng dengan cara-cara Buddhis dalam mengenang dan menghormati mendiang orang tua atau pun leluhur.

Umat Buddha masih tetap boleh dan dapat berziarah kubur dan membersihkan makam leluhur sebagai cara mengenang dan menghormati leluhur.

Umat Buddha juga boleh memberikan persembahan kepada mendiang leluhur dengan catatan dilakukan berdasarkan pemahaman yang benar, yaitu menyadari hal ini adalah hanya satu bentuk penghormatan, dan memahami bahwa makhluk-makhluk yang terlahir kembali di alam tertentu saja dapat menerima dan menikmati persembahan tersebut.

Tetapi daripada membeli baju, uang, atau properti dari kertas lainnya untuk dibakar dan menimbulkan polusi, jauh lebih baik dan bermanfaat jika mendanakan sesuatu kepada mereka yang membutuhkannya seperti kepada panti asuhan, panti wreda, atau pembangunan vihara.

Dan di antara  persembahan untuk mengenang dan menghormati leluhur, yang terbaik dan terunggul adalah memberikan persembahan kepada Sangha (komunitas para bhikkhu/bhiksu) dalam bentuk praktik pelimpahan jasa.[Bhagavant, 28/3/17, Sum]