Jumat, 20 April 2018

Menambah Makna dan Nilai Hari Cheng Beng dengan Pattidana


Rabu, 4 April 2018

Bhagavant.com,
Jakarta, Indonesia – Hari Cheng Beng dirayakan setiap tahunnya pada awal bulan April oleh etnis Tionghoa yang masih memegang tradisi leluhur.

Berbagai ritual dilakukan saat perayaan Hari Cheng Beng ini, seperti ziarah kubur, mempersembahkan makanan, hingga membakar uang-uangan serta baju-bajuan kertas.

Berdasarkan dari asal katanya, kata “cheng beng” adalah istilah dalam bahasa Hokkian untuk kata “qing ming” (清明 – qingming) dalam bahasa Mandarin yang berarti “cerah dan terang”.

Hari yang cerah dan terang ini dianggap tepat untuk mengenang dan menghormati mendiang orang tua atau leluhur. Bahkan, Kaisar Xuanzong dari Dinasti Tang (685-762) mendorong perayaan Cheng Beng ini.

Meskipun Cheng Beng sendiri bukanlah tradisi dari Agama Buddha, namun tidak sedikit umat Buddha yang juga merupakan etnis Tionghoa dan keturunannya ikut merayakannya.

Ada berbagai alasan mengapa umat Buddha etnis Tionghoa tetap merayakan dan menjalankan ritual yang ada pada Hari Cheng Beng. Sekadar mempertahankan tradisi hingga berdasarkan pandangan keliru bisa menjadi alasannya.

Terlepas dari alasan merayakannya, Cheng Beng sejatinya bermakna untuk mengenang dan menghormati mendiang orang tua atau leluhur.

Makna itulah yang juga diajarkan dalam Agama Buddha, dan yang juga seharusnya dipahami umat Buddha dalam merayakan Cheng Beng.

Mengenang dan menghormati leluhur dalam Agama Buddha sesungguhnya terkandung dalam perayaan Hari Ullamabana dan praktik Pattidana (pelimpahan jasa).

Pattidana adalah praktik melimpahkan, membagi atau mengalihkan hasil perbuatan baik (jasa) yang telah dilakukan seseorang kepada makhluk yang sudah meninggal khususnya yang terlahir di alam menderita.

Cara terbaik pelimpahan jasa adalah dengan memberikan persembahan kepada Sangha (komunitas para bhiksu/bhikkhu).

Dalam Tirokudda Sutta, disebutkan cara untuk menolong sanak keluarga yang telah meninggal. Yaitu dengan memberikan dan menempatkan persembahan di dalam Sangha.

Alih-alih hanya melakukan ritual yang berbau mitos dan tidak mendasar, umat Buddha dapat menambahkan makna dan nilai yang lebih mulia dalam perayaan Cheng Beng dengan cara mempraktikkan Pattidana.

Dengan demikian, umat Buddha masih tetap bisa menjaga tradisi dengan pemahaman yang benar sesuai Buddha Dhamma.

Selain itu, umat Buddha juga dapat ikut menjaga pelestarian lingkungan dengan mengurangi ritual pembakaran persembahan kertas yang menimbulkan polusi udara.

Usaha untuk mengurangi ritual pembakaran persembahan kertas kini menjadi perhatian serius, khususnya oleh vihara-vihara tradisi Mahayana Tiongkok.

Vihara Kong Meng San Phor Kark See, salah satu vihara terbesar di Singapura, sebagai contoh, telah melarang ritual tersebut karena berdampak buruk pada lingkungan.[Bhagavant, 4/4/18, Sum]