Jumat, 20 April 2018

Ullambana, Pattidana di Bulan Hantu Cit Gwee

Kamis, 27 Agustus 2015

Bhagavant.com,
Beijing, Tiongkok – Bulan ke-7 atau Cit Gwee dalam kalender Tionghoa (Imlek), secara tradisi dikenal sebagai “Bulan Hantu”. Dan dalam bulan ini umat Buddha khususnya tradisi Mahayana Tiongkok memperingati Hari Ullambana yang jatuh pada hari ke-15 penanggalan Imlek.

Hari Ullambana sering disalahpahami sebagai Festival Hantu Kelaparan (Zhong Yuan Jie atau Yu Lan Jie) yang ada dalam kepercayaan lain dengan berbagai mitos-mitos suram, serta pantangan-pantangan takhayul yang menyelimutinya. Dan puja bakti pada Hari Ullambana juga disalahpahami sebagai Cioko (Cio ko, Cio Sie Kow) atau Sembahyang Rebutan dalam kepercayaan lain.

Meskipun berkaitan dengan makhluk tak terlihat atau secara umum disebut hantu, Hari Ullambana tidak berkaitan dengan mitos-mitos suram dan pantangan takhayul. Bahkan dalam ajaran Agama Buddha, tidak ada yang namanya “Bulan Hantu”, tidak ada mitos dibebaskannya hantu-hantu dari neraka untuk berlibur (cuti) dan saling berebut makanan dari para dermawan selama bulan ke-7 atau Cit Gwee.

Sebaliknya, Hari Ullambana adalah hari bahagia saat umat Buddha dapat membalas budi dengan membantu makhluk tak terlihat yang menderita yaitu preta (Pali: petā) atau sering diterjemahkan sebagai hantu kelaparan, yang tidak menutup kemungkinan merupakan salah satu orang tua, leluhur, kerabat terdahulu.

Hari Ullambana sendiri muncul berdasarkan pada kepustakaan Buddhisme Mahayana yaitu Ullambana Sutra yang isinya mengenai Yang Arya Maudgalyāyana (Pali: Moggallāna), salah satu Siswa Utama Sri Buddha yang sedang bermeditasi melihat mendiang ibunya yang terlahir kembali sebagai hantu kelaparan dan beliau ingin menolongnya.

Berkat nasihat Sri Buddha, Maudgalyāyana dapat menolong mendiang ibunya dengan cara melimpahkan, membagi atau mengalihkan hasil perbuatan baiknya berupa mempersembahkan dana untuk Sangha Bhiksu, kepada mendiang ibunya, dan dilakukan pada akhir masa varsa (Pali: vassa – retret musim hujan) atau Pravarana (Pali: Pavarana) yaitu pada tanggal 15 bulan 7.

Praktik melimpahkan, membagi atau mengalihkan hasil perbuatan baik (jasa) yang telah dilakukan tersebut juga dipraktikkan dalam tradisi Buddhisme Theravada dan disebut dalam bahasa Pali sebagai Pattidāna. Dengan kata lain, upacara puja atau sembahyang Ullambana pada dasarnya atau esensinya merupakan bentuk dari praktik Pattidāna, hanya saja dilakukan di bulan Cit Gwee (bulan ke-7 Imlek). Sedangkan Pattidāna sendiri dapat dilakukan kapan saja.

Dalam kepustakaan Buddhisme Theravada, praktik Pattidāna berawal dari kisah Raja Bimbisara dari Kerajaan Magadha yang melimpahkan, membagi atau mengalihkan hasil perbuatan baiknya kepada para peta yang merupakan sanak keluarganya dengan cara mempersembahkan dana kepada Sangha Bhikkhu. Kisah ini memiliki esensi yang sama dengan kisah Maudgalyāyana, hanya saja tidak ditetapkan waktu pelaksanaannya.

Tidak sedikit yang berpendapat bahwa hari dan upacara sembahyang Ullambana adalah sama dengan Cioko atau Sembahyang Rebutan, hal ini dikarenakan begitu kentalnya kepercayaan dan tradisi lain yang menyelimuti dan melekat pada hari dan praktik tersebut, seperti membakar uang kertas dan menyembelih hewan untuk persembahan. Perpaduan mitos dan praktik-praktik tradisi lain tersebut telah mengaburkan esensi atau inti dari Ullambana sebagai praktik Pattidāna.

Cioko sendiri sebenarnya merupakan tradisi masyarakat agraris Tiongkok pada zaman dahulu yang merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur serta para dewa yang dilakukan pada pertengahan awal musim gugur (biasanya pada bulan ke-7 Imlek) agar panen mereka dapat menghasilkan hasil yang berlimpah saat musim gugur berakhir. Disebut dengan Sembahyang Rebutan karena berdasarkan kepercayaan tradisi bahwa pada saat upacara sembahyang tersebut para hantu yang bebas sementara dari neraka akan saling memperebutkan persembahan yang diberikan oleh penderma.

Kaburnya esensi Ullambana sebagai bentuk praktik Pattidāna selain karena mitos dan praktik-praktik tradisi lain juga diperkuat dengan adanya konversi penanggalan Hari Ullambana yang ada dalam Ullambana Sutra ke dalam bentuk penanggalan Imlek sehingga jatuh bertepatan dengan bulan ke-7 Imlek yang dalam kepercayaan lain dipercaya sebagai “Bulan Hantu”.

Alih-alih tanggal 15 bulan Kārttika (Pali: Kattikā – bulan ke-7 penanggalan India kuno) atau Oktober, Buddhis Mahayana Tiongkok pada masa lalu menetapkan Hari Ullambana pada tanggal 15 bulan Cit Gwee (bulan ke-7 penanggalan Imlek) atau Agustus.

Tanggal 15 bulan Kārttika sendiri dalam tradisi Buddhisme Theravada, merupakan hari Pavarana yang menandai berakhirnya masa retret musim hujan para bhikkhu dan diikuti dengan masa Kathina. Pada masa inilah umat Buddha dapat mempersembahkan dana kepada sangha bhikkhu yang telah berlatih diri yang diyakini sebagai “ladang subur” untuk menanam kebajikan yang akan menghasilkan pahala sangat besar dan dapat dilimpahkan kepada para makhluk maupun mendiang sanak keluarga yang terlahir di alam peta (hantu kelaparan).

Bercampurnya peringatan Hari Ullambana dengan tradisi kepercayaan lain dan membentuk tradisi sendiri juga dirayakan di berbagai negara. Di Jepang perayaan ini dikenal dengan nama Festival O-Bon, sedangkan di Vietnam dikenal dengan nama Tết Trung Nguyên.

Sangat disayangkan jika esensi Ullambana sebagai praktik pelimpahan jasa atau Pattidāna yang penuh berkah ini dikaburkan dengan mitos-mitos takhayul dan praktik-praktik non-Buddhis yang dapat mengurangi makna dan manfaatnya. Untuk itu pengertian benar dari esensi Ullambana perlu ditanamkan dalam diri setiap umat Buddha yang memperingati dan mempraktikkan kegiatan ini.[Bhagavant, 27/8/15, Sum]