Senin, 30 April 2018

TINGKAT KESUCIAN

Disusun oleh : Tanhadi

Tingkat kesucian dalam agama Buddha dapat dibagi dalam dua golongan :

·       Puthujjana - Ialah para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga yang belum mencapai tingkat kesucian.

·       Ariya-puggala - Ialah para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga yang setidak-tidaknya telah mencapai tingkat kesucian pertama.

Setiap orang yang belum menapaki jalan kesucian dikenal sebagai puthujjana, yang secara harafiah berarti "orang awam". Jika dibandingkan dengan orang yang telah menapaki jalan kesucian (ariya-magga), maka puthujjana akan terkesan "gila" atau "kacau", oleh karena belum memiliki keseimbangan batin.

1.  Empat Tingkat Kesucian

Buddhisme mengenal empat jenis orang suci(ariya) yang terdiri dari Sotapanna (Skt Srotapanna), Sakadagami (Skt Sakrdagamin),Anagami, dan Arahat.

2.  Derajat kesucian ini didasarkan atas jumlah belenggu (samyojana) yang telah mereka patahkan. Aliran Theravada mengenal adanya sepuluh belenggu yang menyebabkan para makhluk terus berputar-putar dalam samsara.

Kesepuluh belenggu itu adalah:

1.  Sakkayaditthi  : Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa atau aku yang kekal.

2.  Vicikiccha: Keragu-raguan terhadap Sang Buddha dan AjaranNya.

3.  Silabbataparamasa : Kepercayaan tahyul bahwa upacara agama saja dapat membebaskan manusia dari penderitaan.

4.  Kamaraga : Nafsu Indriya.

5.  Vyapada : Benci, keinginan tidak baik.

6.  Ruparaga = Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk. (rupa-raga).

7.  Aruparaga = Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa bentuk.

8.  Mana = Ketinggian hati yang halus, Perasaan untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain .

9.  Uddhacca = Bathin yang belum seimbang benar.

10.  Avijja = Kegelapan bathin, Suatu kondisi batin yang halus sekali karena yang bersangkutan belum mencapai tingkat kebebasan sempurna (arahat).

1.     Sotapanna

Kebanyakan umat Buddhis berusaha melatih sila dasar dan menjadi sempurna hanya dalam diri orang-orang yang telah mendekati tingkatan Sotapanna (Skt Srotapanna), dimana kata ini secara harafiah berarti "Pemasuk Arus". Pada tingkatan Sotapanna, seorang mendapatkan sekilas pandangan yang pertama atas Nibbana dan mulai menapaki jalan kesucian.

Seorang Sotapanna diyakini telah mematahkan tiga belenggu pertama (Samyutta-Nikaya) , yaitu :

1.  Sakkayaditthi  : Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa atau aku yang kekal.

2.  Vicikiccha: Keragu-raguan terhadap Sang Buddha dan AjaranNya.

3. Silabbataparamasa : Kepercayaan tahyul bahwa upacara agama saja dapat membebaskan manusia dari penderitaan.

Tetapi Ia belum berhasil membebaskan dirinya dari hawa nafsu. la telah terbebas dari kelahiran kembali sebagai makhluk neraka, hantu, binatang, atau asura. la dipastikan menjadi Arahat setelah mengalami kelahiran kembali maksimum tujuh kali lagi (Anguttara-Nikaya).

Belenggu pertama dihancurkan dengan penembusan mendalam ke dalam Empat Kebenaran mulia dan Sebab Musabab yang Saling Bergantungan. Belenggu kedua dihancurkan karena ia telah "melihat" dan "terjun ke dalam" Dhamma (Majjhima-Nikaya). Belenggu ketiga dihancurkan karena kendati moralnya murni, namun ia menyadari bahwa itu saja masih belum memadai untuk mencapai Nibbana.

  

Ada tiga macam Sotapanna :

a)   Ekabiji Sotapanna adalah Sotapanna yang akan terlahir kembali sekali lagi.

b)   Kolamkola Sotapanna adalah Sotapanna yang akan terlahir kembali dua atau tiga kali lagi.

c)   Sattakkhattuparana Sotapanna adalah Sotapanna yang akan terlahir kembali tujuh kali lagi.

2.     Sakadagami

Dengan memperdalam penembusan pandangan terangnya, seseorang bisa mencapai tingkatan Sakadagami ("Yang Hanya Kembali Sekali Lagi"). Seorang Sakadagami telah mematahkan tiga belenggu Sotapanna(Sakkayaditthi, Vicikiccha , Silabbataparamasa) dan melemahkan belenggu-belenggu Anagami , yaitu :

4.  Kamaraga : Nafsu Indriya.

5.  Vyapada : Benci, keinginan tidak baik.

Seorang Sakadagami dilahirkan kembali maksimum sekali lagi di dalam dunia alam nafsu keinginan (kamadhatu) sebagai manusia atau makhluk surga tingkat bawah sebelum mencapai Nibbana.

3.     Anagami

Seorang Anagami ("Yang Tidak Terlahir Kembali") telah mematahkan sepenuhnya kelima belenggu (Sakkayaditthi, Vicikiccha , Silabbataparamasa, Kamaraga dan Vyapada). Ia tidak lagi dilahirkan di alam nafsu (manusia). Namun pencapaiannya belumlah memadai untuk menjadikannya seorang Arahat, dan bila ia belum sanggup untuk menjadi seorang Arahat pada kelahiran berikutnya, maka ia akan terlahir kembali di surga pertama dari "lima kediaman suci"(Alam Suddhavasa), atau surga-surga terhalus dan termurni di antara surga-surga di Alam Berwujud. Hanya seorang Anagami- lah yang dilahirkan di sana. Di surga ini ia akan mengembangkan penembusannya hingga mencapai tingkat kesucian Arahat dan mencapai parinibbana.

Ada lima macam Anagami :

1.  Mereka yang mencapai penerangan selama pertengahan pertama dari masa kehidupan mereka  ( Antaraparinibbayi ).

2.  Mereka yang mencapai penerangan selama pertengahan kedua dari masa kehidupan mereka ( Antaraparinibbayi ).

3.  Mereka yang mencapai penerangan melalui usaha keras ( Sasankhara parinibbayi )

4.  Mereka yang mencapai penerangan melalui usaha ringan ( Asankhara parinibbayi)

5.  Mereka yang mencapai alam kehidupan akanittha, yaitu alam kehidupan yang tertinggi    (Uddham-soto-akanitthagami)

Dua yang pertama digolongkan berdasarkan atas masa kehidupan mereka, sedangkan yang ketiga dan keempat berdasarkan usaha-usaha mereka, sedangkan yang kelima ditandai melalui alam tujuan mereka.

4.     Arahat

Seorang Arahat telah mematahkan seluruh sepuluh belenggu ini , sehingga dengan demikian mengakhiri dukkha dan semua kelahiran kembali dalam pengalaman Nibbana yang penuh kebahagiaan. Seorang Arahat mempunyai kemampuan terbang dengan tubuh jasmaninya, sedangkan tingkatan-tingkatan yang lebih rendah daripadanya hanya dapat terbang dengan menggunakan kesadarannya.

Catatan:

- Untuk Belenggu ruparaga dan aruparaga, Apabila ia meninggal sewaktu dalam keadaan samadhi dan telah mencapai Jhana I, Jhana II, Jhana III atau Jhana IV , maka ia dilahirkan di Alam bentuk (rupa-raga).

Lima Samyojana/Belenggu pada Sotapanna dan Anagami dikenal sebagai lima belenggu rendah atau Orambhagiya-samyojana, Lima samyojana berikutnya pada Belenggu arahat dikenal dengan nama belenggu tinggi atau Uddhambhagiya-samyojana.

Orambhagiya-samyojana dan Uddhambhagiya-samyojana telah dimusnahkan oleh Arahat.

oooOOooo

Jumat, 20 April 2018

Imlek Bukan Hari Raya Agama Buddha

Selasa, 12 Februari 2008

Bhagavant.com,
Jakarta, Indonesia – Pada tanggal 7 Februari yang lalu, suku bangsa Tionghoa di seluruh dunia merayakan perayaan Tahun Baru China atau disebut Tahun Baru Imlek. Begitu juga masyarakat Indonesia khususnya dari keturunan etnis Tionghoa juga merayakan Tahun Baru Imlek.

Sudah enam tahun sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 TENTANG HARI TAHUN BARU IMLEK tertanggal 9 April 2002, perayaan Tahun Baru Imlek telah dirayakan secara bebas. Namun sayang, nampaknya masih banyak orang, khususnya di Indonesia, yang salah memahami perayaan Tahun Baru Imlek sebagai hari perayaan keagamaan khususnya menganggap sebagai perayaan dalam agama Buddha.

Kesalahpahaman mengenai anggapan bahwa Imlek adalah perayaan agama Buddha oleh sebagian besar orang, khususnya di Indonesia, didasari oleh kurangnya informasi yang benar dan melekatnya stigma dan sikap penyamarataan bahwa warga keturunan etnis Tionghoa pastilah beragama Buddha, Tao atau Kong Hu Chu, dan agama Buddha adalah agama khusus warga keturunan etnis Tionghoa. Sehingga ketika umat Buddha Indonesia yang sebagian besar adalah berlatar belakang keturunan etnis Tionghoa merayakan tradisi Tionghoa, dalam hal ini perayaan Imlek, maka sebagian besar orang beranggapan bahwa Imlek adalah hari raya agama Buddha. Padahal tidak demikian.

Secara singkat, Imlek sendiri merupakan suatu perayaan tradisi menyambut musim semi dan berakhirnya musim dingin yang dilakukan oleh suku bangsa Tionghoa di Tiongkok (China), yang dalam perkembangannya ditetapkan sebagai hari pergantian tahun.

Penanggalan Imlek di Tiongkok dimulai sejak tahun 2637 SM, sewaktu Kaisar Oet Tee / Huang Ti (2698-2598 SM) mengeluarkan siklus pertama pada tahun ke-61 masa pemerintahannya. Penanggalan Imlek sebutan asalnya adalah He Lek, yakni Penanggalan Dinasti Ke / Hsia (2205-1766 SM) yang pertama kali mengenalkan penanggalan berdasarkan matahari, dan penetapan tahun barunya bertepatan dengan tibanya musim semi. Dinasti Sing/Ien (1766-1122 SM) menetapkan tahun barunya mengikuti Dinasti He, yakni akhir musim dingin.

Dari penjelasan di atas jelas bahwa Imlek berawal dari sebuah tradisi menyambut musim semi, dan tidak ada kaitannya dengan perayaan keagamaan manapun. Dengan demikian, Imlek dapat dirayakan secara lintas agama, khususnya mereka yang berlatar belakang keturunan etnis Tionghoa.

Salah satu acara dalam perayaan Imlek adalah ”sembahyang” leluhur. Acara ”sembahyang” leluhur ini rupanya diartikan oleh warga keturunan etnis Tionghoa yang beragama non-Buddhis, non-Tao dan non-Kong Hu Chu sebagai acara berdoa memohon rejeki kepada para leluhur sehingga mereka menganggap bahwa hal tersebut bertentangan dengan ajaran agama mereka. Karenanya, banyak umat Kristen maupun Muslim keturunan etnis Tionghoa yang meninggalkan tradisi perayaan Imlek.

Berbeda dengan umat agama lain, umat Buddha keturunan etnis Tionghoa memandang acara ”sembahyang” leluhur sebagai suatu penghormatan kepada para leluhur dan bukan meminta rejeki kepada para leluhur. Jadi istilah ”sembahyang” yang tepat bukanlah berarti berdoa meminta kepada leluhur, tetapi justru menghormati dan mendoakan para leluhur. Dan menghormati mereka yang patut dihormat adalah salah satu wujud dari pelaksanaan Dhamma (Kebenaran).

Dengan demikian, meskipun Imlek bukan merupakan hari raya agama Buddha namun umat Buddha yang berlatar belakang keturunan etnis Tionghoa dapat dengan bebas merayakan Imlek.

Selamat Tahun Baru Imlek bagi yang merayakannya.

Ullambana, Pattidana di Bulan Hantu Cit Gwee

Kamis, 27 Agustus 2015

Bhagavant.com,
Beijing, Tiongkok – Bulan ke-7 atau Cit Gwee dalam kalender Tionghoa (Imlek), secara tradisi dikenal sebagai “Bulan Hantu”. Dan dalam bulan ini umat Buddha khususnya tradisi Mahayana Tiongkok memperingati Hari Ullambana yang jatuh pada hari ke-15 penanggalan Imlek.

Hari Ullambana sering disalahpahami sebagai Festival Hantu Kelaparan (Zhong Yuan Jie atau Yu Lan Jie) yang ada dalam kepercayaan lain dengan berbagai mitos-mitos suram, serta pantangan-pantangan takhayul yang menyelimutinya. Dan puja bakti pada Hari Ullambana juga disalahpahami sebagai Cioko (Cio ko, Cio Sie Kow) atau Sembahyang Rebutan dalam kepercayaan lain.

Meskipun berkaitan dengan makhluk tak terlihat atau secara umum disebut hantu, Hari Ullambana tidak berkaitan dengan mitos-mitos suram dan pantangan takhayul. Bahkan dalam ajaran Agama Buddha, tidak ada yang namanya “Bulan Hantu”, tidak ada mitos dibebaskannya hantu-hantu dari neraka untuk berlibur (cuti) dan saling berebut makanan dari para dermawan selama bulan ke-7 atau Cit Gwee.

Sebaliknya, Hari Ullambana adalah hari bahagia saat umat Buddha dapat membalas budi dengan membantu makhluk tak terlihat yang menderita yaitu preta (Pali: petā) atau sering diterjemahkan sebagai hantu kelaparan, yang tidak menutup kemungkinan merupakan salah satu orang tua, leluhur, kerabat terdahulu.

Hari Ullambana sendiri muncul berdasarkan pada kepustakaan Buddhisme Mahayana yaitu Ullambana Sutra yang isinya mengenai Yang Arya Maudgalyāyana (Pali: Moggallāna), salah satu Siswa Utama Sri Buddha yang sedang bermeditasi melihat mendiang ibunya yang terlahir kembali sebagai hantu kelaparan dan beliau ingin menolongnya.

Berkat nasihat Sri Buddha, Maudgalyāyana dapat menolong mendiang ibunya dengan cara melimpahkan, membagi atau mengalihkan hasil perbuatan baiknya berupa mempersembahkan dana untuk Sangha Bhiksu, kepada mendiang ibunya, dan dilakukan pada akhir masa varsa (Pali: vassa – retret musim hujan) atau Pravarana (Pali: Pavarana) yaitu pada tanggal 15 bulan 7.

Praktik melimpahkan, membagi atau mengalihkan hasil perbuatan baik (jasa) yang telah dilakukan tersebut juga dipraktikkan dalam tradisi Buddhisme Theravada dan disebut dalam bahasa Pali sebagai Pattidāna. Dengan kata lain, upacara puja atau sembahyang Ullambana pada dasarnya atau esensinya merupakan bentuk dari praktik Pattidāna, hanya saja dilakukan di bulan Cit Gwee (bulan ke-7 Imlek). Sedangkan Pattidāna sendiri dapat dilakukan kapan saja.

Dalam kepustakaan Buddhisme Theravada, praktik Pattidāna berawal dari kisah Raja Bimbisara dari Kerajaan Magadha yang melimpahkan, membagi atau mengalihkan hasil perbuatan baiknya kepada para peta yang merupakan sanak keluarganya dengan cara mempersembahkan dana kepada Sangha Bhikkhu. Kisah ini memiliki esensi yang sama dengan kisah Maudgalyāyana, hanya saja tidak ditetapkan waktu pelaksanaannya.

Tidak sedikit yang berpendapat bahwa hari dan upacara sembahyang Ullambana adalah sama dengan Cioko atau Sembahyang Rebutan, hal ini dikarenakan begitu kentalnya kepercayaan dan tradisi lain yang menyelimuti dan melekat pada hari dan praktik tersebut, seperti membakar uang kertas dan menyembelih hewan untuk persembahan. Perpaduan mitos dan praktik-praktik tradisi lain tersebut telah mengaburkan esensi atau inti dari Ullambana sebagai praktik Pattidāna.

Cioko sendiri sebenarnya merupakan tradisi masyarakat agraris Tiongkok pada zaman dahulu yang merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur serta para dewa yang dilakukan pada pertengahan awal musim gugur (biasanya pada bulan ke-7 Imlek) agar panen mereka dapat menghasilkan hasil yang berlimpah saat musim gugur berakhir. Disebut dengan Sembahyang Rebutan karena berdasarkan kepercayaan tradisi bahwa pada saat upacara sembahyang tersebut para hantu yang bebas sementara dari neraka akan saling memperebutkan persembahan yang diberikan oleh penderma.

Kaburnya esensi Ullambana sebagai bentuk praktik Pattidāna selain karena mitos dan praktik-praktik tradisi lain juga diperkuat dengan adanya konversi penanggalan Hari Ullambana yang ada dalam Ullambana Sutra ke dalam bentuk penanggalan Imlek sehingga jatuh bertepatan dengan bulan ke-7 Imlek yang dalam kepercayaan lain dipercaya sebagai “Bulan Hantu”.

Alih-alih tanggal 15 bulan Kārttika (Pali: Kattikā – bulan ke-7 penanggalan India kuno) atau Oktober, Buddhis Mahayana Tiongkok pada masa lalu menetapkan Hari Ullambana pada tanggal 15 bulan Cit Gwee (bulan ke-7 penanggalan Imlek) atau Agustus.

Tanggal 15 bulan Kārttika sendiri dalam tradisi Buddhisme Theravada, merupakan hari Pavarana yang menandai berakhirnya masa retret musim hujan para bhikkhu dan diikuti dengan masa Kathina. Pada masa inilah umat Buddha dapat mempersembahkan dana kepada sangha bhikkhu yang telah berlatih diri yang diyakini sebagai “ladang subur” untuk menanam kebajikan yang akan menghasilkan pahala sangat besar dan dapat dilimpahkan kepada para makhluk maupun mendiang sanak keluarga yang terlahir di alam peta (hantu kelaparan).

Bercampurnya peringatan Hari Ullambana dengan tradisi kepercayaan lain dan membentuk tradisi sendiri juga dirayakan di berbagai negara. Di Jepang perayaan ini dikenal dengan nama Festival O-Bon, sedangkan di Vietnam dikenal dengan nama Tết Trung Nguyên.

Sangat disayangkan jika esensi Ullambana sebagai praktik pelimpahan jasa atau Pattidāna yang penuh berkah ini dikaburkan dengan mitos-mitos takhayul dan praktik-praktik non-Buddhis yang dapat mengurangi makna dan manfaatnya. Untuk itu pengertian benar dari esensi Ullambana perlu ditanamkan dalam diri setiap umat Buddha yang memperingati dan mempraktikkan kegiatan ini.[Bhagavant, 27/8/15, Sum]

Menambah Makna dan Nilai Hari Cheng Beng dengan Pattidana


Rabu, 4 April 2018

Bhagavant.com,
Jakarta, Indonesia – Hari Cheng Beng dirayakan setiap tahunnya pada awal bulan April oleh etnis Tionghoa yang masih memegang tradisi leluhur.

Berbagai ritual dilakukan saat perayaan Hari Cheng Beng ini, seperti ziarah kubur, mempersembahkan makanan, hingga membakar uang-uangan serta baju-bajuan kertas.

Berdasarkan dari asal katanya, kata “cheng beng” adalah istilah dalam bahasa Hokkian untuk kata “qing ming” (清明 – qingming) dalam bahasa Mandarin yang berarti “cerah dan terang”.

Hari yang cerah dan terang ini dianggap tepat untuk mengenang dan menghormati mendiang orang tua atau leluhur. Bahkan, Kaisar Xuanzong dari Dinasti Tang (685-762) mendorong perayaan Cheng Beng ini.

Meskipun Cheng Beng sendiri bukanlah tradisi dari Agama Buddha, namun tidak sedikit umat Buddha yang juga merupakan etnis Tionghoa dan keturunannya ikut merayakannya.

Ada berbagai alasan mengapa umat Buddha etnis Tionghoa tetap merayakan dan menjalankan ritual yang ada pada Hari Cheng Beng. Sekadar mempertahankan tradisi hingga berdasarkan pandangan keliru bisa menjadi alasannya.

Terlepas dari alasan merayakannya, Cheng Beng sejatinya bermakna untuk mengenang dan menghormati mendiang orang tua atau leluhur.

Makna itulah yang juga diajarkan dalam Agama Buddha, dan yang juga seharusnya dipahami umat Buddha dalam merayakan Cheng Beng.

Mengenang dan menghormati leluhur dalam Agama Buddha sesungguhnya terkandung dalam perayaan Hari Ullamabana dan praktik Pattidana (pelimpahan jasa).

Pattidana adalah praktik melimpahkan, membagi atau mengalihkan hasil perbuatan baik (jasa) yang telah dilakukan seseorang kepada makhluk yang sudah meninggal khususnya yang terlahir di alam menderita.

Cara terbaik pelimpahan jasa adalah dengan memberikan persembahan kepada Sangha (komunitas para bhiksu/bhikkhu).

Dalam Tirokudda Sutta, disebutkan cara untuk menolong sanak keluarga yang telah meninggal. Yaitu dengan memberikan dan menempatkan persembahan di dalam Sangha.

Alih-alih hanya melakukan ritual yang berbau mitos dan tidak mendasar, umat Buddha dapat menambahkan makna dan nilai yang lebih mulia dalam perayaan Cheng Beng dengan cara mempraktikkan Pattidana.

Dengan demikian, umat Buddha masih tetap bisa menjaga tradisi dengan pemahaman yang benar sesuai Buddha Dhamma.

Selain itu, umat Buddha juga dapat ikut menjaga pelestarian lingkungan dengan mengurangi ritual pembakaran persembahan kertas yang menimbulkan polusi udara.

Usaha untuk mengurangi ritual pembakaran persembahan kertas kini menjadi perhatian serius, khususnya oleh vihara-vihara tradisi Mahayana Tiongkok.

Vihara Kong Meng San Phor Kark See, salah satu vihara terbesar di Singapura, sebagai contoh, telah melarang ritual tersebut karena berdampak buruk pada lingkungan.[Bhagavant, 4/4/18, Sum]

Bolehkah Umat Buddha Merayakan Cheng Beng?

Bolehkah Umat Buddha Merayakan Cheng Beng?

Selasa, 28 Maret 2017

Bhagavant.com,
Jakarta, Indonesia – Salah satu tradisi Tionghoa adalah memperingati Hari Cheng Beng. Apa itu Hari Cheng Beng? Dan bolehkah umat Buddha merayakan Cheng Beng?

Berdasarkan asal katanya, kata “cheng beng” adalah istilah dalam bahasa Hokkian untuk kata “qing ming” (清明 – qingming) dalam bahasa Mandarin yang berarti “cerah dan terang”.

Kata “qing ming” sendiri adalah istilah dalam astronomi Tionghoa yang mengacu pada salah satu dari 24 posisi matahari. Posisi matahari tersebut terjadi saat musim semi di bulan ketiga penanggalan lunar (Imlek) atau tanggal 4 atau 5 April penanggalan Masehi. Pada saat itulah cuaca dianggap paling cerah dan terang, sehingga disebut dengan istilah “qing ming“.

Saat cuaca cerah dan terang itulah masyarakat Tionghoa kuno di Tiongkok, khususnya Kaisar Xuanzong dari Dinasti Tang (685-762) yang mendorong perayaan Qingming, menganggap sebagai waktu yang tepat untuk mengenang dan menghormati mendiang orang tua atau leluhur.

Salah satu cara mengenang dan menghormati leluhur yang menjadi tradisi yaitu dengan mengunjungi makam leluhur (ziarah kubur) dan membersihkannya. Cuaca yang cerah dan terang mempermudah seseorang untuk membersihkan pusara leluhur mereka.

Sejak saat itulah Qingming atau Cheng Beng kemudian dikenal dengan perayaan atau Festival Bersih Terang atau Festival Ziarah Kubur atau Membersihkan Kubur.

Tradisi ziarah kubur untuk mengenang dan menghormati leluhur yang ditambah dan diselimuti dengan bentuk kepercayaan setempat (non-Buddhis) menjadikan Cheng Beng seperti yang dirayakan saat ini.

Di zaman modern ini, bagi sebagian masyarakat Tionghoa dan peranakannya, tradisi ziarah kubur menjadi hal yang dapat dikesampingkan dengan tanpa menghilangkan makna menghormati dan mengenang leluhur, yaitu dengan cukup melaksanakan persembahyangan dengan tetap diselimuti oleh kepercayaan rakyat Tiongkok (non-Buddhis).

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, makna inti dari Hari Cheng Beng tidak lain dan tidak bukan adalah mengenang dan menghormati mendiang orang tua atau leluhur.

Mempersembahkan makanan kesukaan mendiang, membakar baju dan uang kertas, dan sejenisnya yang ada dalam perayaan Cheng Beng hanyalah cara-cara menghormati yang berasal dari kepercayaan setempat yang menjadi kebiasaan (tradisi).

Lalu, bolehkah umat Buddha khususnya etnis Tionghoa merayakan Cheng Beng?

Berdasarkan pemahaman pada makna inti dari perayaan Cheng Beng yaitu mengenang dan menghormati mendiang orang tua atau leluhur, umat Buddha jelas boleh merayakan Cheng Beng.

Mengenang dan menghormati mendiang orang tua atau leluhur juga diajarkan dalam Agama Buddha yang terlihat dan terkandung dalam perayaan Hari Ullamabana dan praktik pelimpahan jasa (Pali: pattidana).

Yang perlu ditekankan adalah perlunya umat Buddha memiliki pemahaman yang benar (yaitu makna intinya) dan melakukan penyesuaian dengan ajaran Agama Buddha dalam merayakan Cheng Beng.

Umat Buddha dapat menggantikan cara-cara non-Buddhis yang ada dalam perayaan Cheng Beng dengan cara-cara Buddhis dalam mengenang dan menghormati mendiang orang tua atau pun leluhur.

Umat Buddha masih tetap boleh dan dapat berziarah kubur dan membersihkan makam leluhur sebagai cara mengenang dan menghormati leluhur.

Umat Buddha juga boleh memberikan persembahan kepada mendiang leluhur dengan catatan dilakukan berdasarkan pemahaman yang benar, yaitu menyadari hal ini adalah hanya satu bentuk penghormatan, dan memahami bahwa makhluk-makhluk yang terlahir kembali di alam tertentu saja dapat menerima dan menikmati persembahan tersebut.

Tetapi daripada membeli baju, uang, atau properti dari kertas lainnya untuk dibakar dan menimbulkan polusi, jauh lebih baik dan bermanfaat jika mendanakan sesuatu kepada mereka yang membutuhkannya seperti kepada panti asuhan, panti wreda, atau pembangunan vihara.

Dan di antara  persembahan untuk mengenang dan menghormati leluhur, yang terbaik dan terunggul adalah memberikan persembahan kepada Sangha (komunitas para bhikkhu/bhiksu) dalam bentuk praktik pelimpahan jasa.[Bhagavant, 28/3/17, Sum]