Written by Laurens Kwoo
Seseorang tidak sepatutnya membunuh makhluk lain atau mengambil barang yang tidak diberikan;
Ia seharusnya tidak mengucapkan kebohongan atau menjadi peminum dari minuman keras;
Ia seharusnya berpantang dari hubungan sexual;
Ia seharusnya tidak makan di malam hari, di waktu yang tidak tepat;
Ia seharusnya tidak mengenakan kalung bunga atau wewangian;
Ia seharusnya tidur di kasur jerami, tikar sederhana yg terbentang di lantai —
karena inilah delapan faktor dari Uposatha
yang telah dinyatakan oleh Yang Terbangkitkan
Menuju pada akhir dari penderitaan dan ketegangan.
Bulan & matahari, keduanya indah untuk dilihat,
Memancarkan cahaya kemanapun mereka pergi,
& mencerai-beraikan kegelapan kemanapun mereka bergerak di angkasa,
Mencerahkan angkasa, menerangi ruang-ruang.
Dalam jangkauannya ditemukan kekayaan:
mutiara, kristal, permata pirus,
batu keberuntungan, platinum, emas murni,
& emas yang dimurnikan yang disebut 'Hataka.'
Meskipun demikian — semua ini seperti sinar dari semua bintang ketika dibandingkan dengan bulan —
tidaklah sepadan bahkan seperenambelasnya dibandingkan dengan delapan faktor Uposatha.
Jadi siapapun — laki-laki atau perempuan —
yang dilengkapi dgn kebajikan-kebajikan dari delapan faktor Uposatha ini,
telah melakukan perbuatan bermanfaat, menghasilkan kebahagiaan,
melampaui celaan, menuju pada kondisi surgawi
- Muluposatha Sutta: Akar-akar dari Uposatha, Anguttara Nikaya 3.70 -
Uposatha atau dalam bahasa Sansekerta Upavasatha adalah hari yang penting dalam tradisi Buddhis. Hari Uposatha adalah hari dimana umat perumah tangga menjalankan praktik Atthasila (menjalankan delapan sila) dan para Bhikkhu akan mengulang Patimokha (aturan-aturan kebhikkhuan/vinaya).
Upavasatha juga dikatakan merupakan akar kata dari puasa dalam bahasa Indonesia yang berasal dari kata 'upavāsa' (baca: upawaasa) atau upavassa' (baca : upawassa) yang terdiri dari kata upa = dekat/mendekat; vāsa atau vassa = berdiam/tinggal.
Hari uposatha mengacu pada penanggalan bulan gelap dan bulan terang.
Hari itu digunakan sebagai acuan bagi umat perumah-tangga untuk masuk ke dalam praktik memegang 8 aturan moralitas (Attha= delapan ; sila: moralitas).
Berikut ini adalah 8 aturan moral yang dilaksanakan oleh umat perumah-tangga atau upasaka dan upasika:
1. Panatipata veramani sikkhapadam samadiyami
Aku bertekad melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.
2.Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami
Aku bertekad melatih diri menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan.
3. Abrahmacariya veramani sikkhapadam samadiyami
Aku bertekad melatih diri menghindari perbuatan tidak suci.
4. Musavada veramani sikkhapadam samadiyami
Aku bertekad melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar.
5. Suramerayamajja pamadatthana veramani sikkhapadam samadiyami
Aku bertekad melatih diri menghindari minuman memabukkan hasil penyulingan atau peragian yang menyebabkan lemahnya kesadaran.
6. Vikalabhojana veramani sikkhapadam samadiyami
Aku bertekad melatih diri menghindari makan makanan setelah tengah hari.
7. Nacca-gita-vadita-visukkadassana mala-gandha-vilepana-dharana-mandana-vibhusanathana veramani sikkhapadam samadiyami
Aku bertekad melatih diri menghindari menari, menyanyi, bermain musik, dan pergi melihat pertunjukkan, memakai, berhias dengan bebungaan, wewangian, dan barang olesan (kosmetik) dengan tujuan untuk mempercantik tubuh
8. Uccasayana-mahasayana veramani sikkhapadam samadiyami
Aku bertekad untuk melatih diri menghindari penggunaan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi dan besar (mewah).
Apa perbedaan dengan Pancasila yang selama ini kita kenal? Pancasila merupakan aturan moral dasar/kebiasaan baik (pakati sila) yang wajib dipegang teguh oleh seorang Upasaka/upasika. Sedangkan jika kita lihat pada Atthasila terdapat 3 aturan tambahan dan ada perubahan pada sila ketiga yaitu:Kamesumicchacara menjadi Abrahmacariya.
Abrahmacariya mengacu pada absensi dari melakukan hubungan sexual secara total. Sedangkan pada Pancasila masih memperbolehkan terjadinya hubungan sexual selama dengan pasangan sah masing-masing.
Lalu pada Vikalabhojana veramani sikkhapadam samadiyami:
Aku bertekad melatih diri menghindari makan makanan setelah tengah hari. Maksudnya adalah tidak makan setelah lewat dari siang hari, dan hanya diperbolehkan untuk minum minuman seperti madu, air gula, jus (dgn catatan buahnya tidak boleh lebih besar dari satu kepalan tangan), khusus untuk susu tidak diperkenankan diminum setelah lewat dari tengah hari. Kita hanya boleh makan lagi pada esok hari, subuh ketika matahari mulai terbit, jadi bukan setelah lewat jam 12 malam.
Mengenai sila ke 7 dan 8, plus sila sebelumnya yaitu sila ke 6 sebenarnya jika kita perhatikan tambahan tiga sila ini mengatur pada apa yang kita rasakan, dengar, lihat, cium, sentuh. Inilah mengapa Atthasila juga disebut sebagai Indriya-samvara sila atau latihan pengendalian pintu Indera. Atthasila merupakan sebuah upaya dimana seseorang meraih kendali atas inderanya. Pada umumnya manusialah yang dikendalikan oleh keinginan-keinginan dari nafsu-nafsu indera yg terus meminta dan menagih tanpa ada batas akhirnya sehingga inilah yang membuat seseorang terbutakan oleh keinginan dan kehilangan kebijaksanaan.
Sila merupakan faktor dari latihan (sikkhapada) dan fondasi dari pengembangan batin atau meditasi, tanpa sila yang kokoh maka sangat sulit bagi kita untuk mengembangkan kemampuan batin kita. Fungsi dari sila itu sendiri adalah untuk membersihkan perbuatan, dengan aturan latihan dan penahanan diri sesuai dengan aturan moralitas yang dipegang.
Sila merupakan dasar perlindungan sejati seseorang dan merupakan jalan untuk merubah diri kita dengan mengembangkan disiplin moral. Prinsip Sila adalah hiri: rasa malu berbuat jahat danotappa: rasa takut akan akibat dari perbuatan jahat. Atau ada juga prinsip yang disebut sebagai attanam upamam katva yang berarti:
“Dengan mempertimbangkan diri sendiri sama seperti orang lain dan orang lain sama seperti dirinya sendiri.
Dalam hal ini seorang pengikut yang mulia bercermin:
'Disinilah aku, sangat mencintai kehidupanku, tidak ingin untuk mati, sangat mencintai kesenangan dan menolak rasa sakit.
Seandainya seseorang harus menghilangkan kehidupanku, hal ini tidak akan menjadi hal yang menyenangkan dan menggembirakan bagiku.
Jika aku, pada giliranku, harus menghilangkan kehidupan orang lain, kehidupan yang sangat dicintai oleh orang itu, tidak menginginkan untuk mati, orang lain sangat mencintai kesenangan dan menolak rasa sakit, hal itu tidak akan menjadi hal yang menyenangkan dan menggembirakan baginya.
Bagi kondisi yang tidak menyenangkan atau menggembirakan bagiku haruslah tidak menyenangkan dan menggembirakan bagi yang lainnya: dan kondisi tidak menyenangkan bagiku, bagaimana bisa aku menimbulkan hal itu pada orang lain?'
Sebagai hasil dari perenungan yang demikian, ia sendiri berpantang dari mengambil kehidupan makhluk-makhluk dan ia mendorong orang lain juga untuk berpantang, dan berbicara dalam pujian mengenai berpantang.
Samyuttanikaya, 55, No. 7
Lebih lanjut dalam Maha parinibbana Sutta – Digha Nikaya, Sang Buddha membabarkan mengenai manfaat dari Sila:
- Melalui kewaspadaan terus-menerus dalam dirinya , ia memperoleh banyak kekayaan
- Reputasi yang baik karena perbuatan yang terkendali akibat praktik dari sila.
- Perkumpulan apapun yg ia masuki baik Brahmana, Khattiya, perumah-tangga ataupun petapa, ia memasukinya dengan penuh percaya diri & ketenangan
- Ia meninggal dengan tenang dan tidak bingung
- Setelah meninggal terlahir dalam kondisi bahagia di surga
Moralitas adalah perlindungan sejati seseorang. Setelah melakukan apa yang bajik dan baik, Ia tidak akan menyesal atau menyalahkan dirinya, dan orang bijaksana tidak menyalahkannya. Moralitas adalah dasar tertinggi untuk keamanan, fondasi untuk ketekunan dan sebuah berkah.
Buddha Dhamma adalah ajaran yang berisikan praktik dan bukan ajaran untuk diyakini, untuk itu sangat penting bagi kita untuk meraih manfaat Dhamma itu sendiri dengan mempraktikkan ajaran. Dhamma akan melindungi mereka yang mempraktikkannya. Dengan mempraktikkan Sila maka kita juga mencegah lenyapnya Dhamma sejati seperti yang diungkapkan oleh Sang Buddha dalam Samyutta Nikaya 16.13:
”Lima hal inilah Kassapa, yang menyebabkan lenyapnya Dhamma yang sejati. Apakah yang lima itu?
Ketika para bhikkhu, bhikkhuni, pengikut awam pria dan wanita tidak memiliki rasa hormat pada Buddha. Mereka tidak memiliki rasa hormat pada Dhamma. Mereka tidak memiliki rasa hormat pada Sangha. Mereka tidak memiliki rasa hormat pada pelatihan diri (Vinaya, Sila). Dan mereka tidak memiliki rasa hormat pada pencapaian konsentrasi”
Sila merupakan faktor utama dalam tahapan berlatih (sikkha) sebelum seseorang mengembangkan Samadhi (konsentrasi) dan Panna (kebijaksanaan). Untuk itu sangat penting melatih dan mengembangkan moralitas kita agar kita dapat terus mengembangkan kualitas batin kita menuju ke arah yang lebih baik hingga tercapainya Nibbana.
”Jika engkau menyayangi dirimu,
maka jgnlah membelenggu dirimu sendiri dengan kejahatan,
Karena kebahagiaan tidaklah mudah didapat bagi mereka yang melakukan perbuatan yang salah.
Ketika ditangkap oleh akhir kehidupan, saat engkau meninggalkan alam kehidupan sebagai manusia, apa yg sebenarnya engkau miliki?
Apa yang kau bawa di sepanjang perjalanan?
Apa yang mengikuti di belakangmu seperti bayangan yang tidak pernah meninggalkan bendanya.
Keduanya, baik kebajikan & kejahatan yang engkau lakukan disini:
Itulah milikmu yang sejati, yang akan kau bawa sepanjang perjalananmu;
Itulah yang mengikuti di belakangmu seperti bayangan yang tidak pernah meninggalkan bendanya.
Karena itu lakukanlah apa yang terpuji, sebagai sebuah timbunan harta di kehidupan mendatang.
Perbuatan bajik adalah penyokong bagi semua makhluk ketika mereka muncul/lahir di dunia lainnya.
Samyutta Nikaya 3.4 - Piya Sutta
Selamat mempraktikkan Atthasila di hari Uposatha.