Jumat, 29 April 2016

Uposatha dan Atthasila

Written by Laurens Kwoo

Seseorang tidak sepatutnya membunuh makhluk lain atau mengambil barang yang tidak diberikan;

Ia seharusnya tidak mengucapkan kebohongan atau menjadi peminum dari minuman keras;

Ia seharusnya berpantang dari hubungan sexual;

Ia seharusnya tidak makan di malam hari, di waktu yang tidak tepat;

Ia seharusnya tidak mengenakan kalung bunga atau wewangian;

Ia seharusnya tidur di kasur jerami, tikar sederhana yg terbentang di lantai  —

karena inilah delapan faktor dari Uposatha

yang telah dinyatakan oleh Yang Terbangkitkan

Menuju pada akhir dari penderitaan dan ketegangan.

 

Bulan & matahari, keduanya indah untuk dilihat,

Memancarkan cahaya kemanapun mereka pergi,

& mencerai-beraikan kegelapan kemanapun mereka bergerak di angkasa,

Mencerahkan angkasa, menerangi ruang-ruang.

  Dalam jangkauannya ditemukan kekayaan:

          mutiara, kristal, permata pirus,

          batu keberuntungan, platinum, emas murni,

          & emas yang dimurnikan yang disebut 'Hataka.'

          Meskipun demikian — semua ini seperti sinar dari semua bintang ketika dibandingkan dengan bulan —

tidaklah sepadan bahkan seperenambelasnya dibandingkan dengan delapan faktor Uposatha.

 

Jadi siapapun — laki-laki atau perempuan —

yang dilengkapi dgn kebajikan-kebajikan dari delapan faktor Uposatha ini,

telah melakukan perbuatan bermanfaat, menghasilkan kebahagiaan,

melampaui celaan, menuju pada kondisi surgawi

- Muluposatha Sutta: Akar-akar dari Uposatha, Anguttara Nikaya 3.70 -

 

Uposatha atau dalam bahasa Sansekerta Upavasatha adalah hari yang penting dalam tradisi Buddhis. Hari Uposatha adalah hari dimana umat perumah tangga menjalankan praktik Atthasila (menjalankan delapan sila) dan para Bhikkhu akan mengulang Patimokha (aturan-aturan kebhikkhuan/vinaya).

Upavasatha juga dikatakan merupakan akar kata dari puasa dalam bahasa Indonesia yang berasal dari kata 'upavāsa' (baca: upawaasa) atau upavassa' (baca : upawassa) yang terdiri dari kata upa = dekat/mendekat; vāsa atau vassa = berdiam/tinggal.

Hari uposatha mengacu pada penanggalan bulan gelap dan bulan terang.

Hari itu digunakan sebagai acuan bagi umat perumah-tangga untuk masuk ke dalam praktik memegang 8 aturan moralitas (Attha= delapan ; sila: moralitas).

Berikut ini adalah 8 aturan moral yang dilaksanakan oleh umat perumah-tangga atau upasaka dan upasika:

1. Panatipata veramani sikkhapadam samadiyami

Aku bertekad melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.

2.Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami

Aku bertekad melatih diri menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan.

3. Abrahmacariya veramani sikkhapadam samadiyami

Aku bertekad melatih diri menghindari perbuatan tidak suci.

4. Musavada veramani sikkhapadam samadiyami

Aku bertekad melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar.

5. Suramerayamajja pamadatthana veramani sikkhapadam samadiyami

Aku bertekad melatih diri menghindari minuman memabukkan hasil penyulingan atau peragian yang menyebabkan lemahnya kesadaran.

6. Vikalabhojana veramani sikkhapadam samadiyami

Aku bertekad melatih diri menghindari makan makanan setelah tengah hari.

7. Nacca-gita-vadita-visukkadassana mala-gandha-vilepana-dharana-mandana-vibhusanathana veramani sikkhapadam samadiyami

Aku bertekad melatih diri menghindari menari, menyanyi, bermain musik, dan pergi melihat pertunjukkan, memakai, berhias dengan bebungaan, wewangian, dan barang olesan (kosmetik) dengan tujuan untuk mempercantik tubuh

8. Uccasayana-mahasayana veramani sikkhapadam samadiyami

Aku bertekad untuk melatih diri menghindari penggunaan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi dan besar (mewah).

Apa perbedaan dengan Pancasila yang selama ini kita kenal? Pancasila merupakan aturan moral dasar/kebiasaan baik (pakati sila) yang wajib dipegang teguh oleh seorang Upasaka/upasika. Sedangkan jika kita lihat pada Atthasila terdapat 3 aturan tambahan dan ada perubahan pada sila ketiga yaitu:Kamesumicchacara menjadi Abrahmacariya.

Abrahmacariya mengacu pada absensi dari melakukan hubungan sexual secara total. Sedangkan pada Pancasila masih memperbolehkan terjadinya hubungan sexual selama dengan pasangan sah masing-masing.

Lalu pada Vikalabhojana veramani sikkhapadam samadiyami:

Aku bertekad melatih diri menghindari makan makanan setelah tengah hari. Maksudnya adalah tidak makan setelah lewat dari siang hari, dan hanya diperbolehkan untuk minum minuman seperti madu, air gula, jus (dgn catatan buahnya tidak boleh lebih besar dari satu kepalan tangan), khusus untuk susu tidak diperkenankan diminum setelah lewat dari tengah hari. Kita hanya boleh makan lagi pada esok hari, subuh ketika matahari mulai terbit, jadi bukan setelah lewat jam 12 malam.

Mengenai sila ke 7 dan 8, plus sila sebelumnya yaitu sila ke 6 sebenarnya jika kita perhatikan tambahan tiga sila ini mengatur pada apa yang kita rasakan, dengar, lihat, cium, sentuh. Inilah mengapa Atthasila juga disebut sebagai Indriya-samvara sila atau latihan pengendalian pintu Indera. Atthasila merupakan sebuah upaya dimana seseorang meraih kendali atas inderanya. Pada umumnya manusialah yang dikendalikan oleh keinginan-keinginan dari nafsu-nafsu indera yg terus meminta dan menagih tanpa ada batas akhirnya sehingga inilah yang membuat seseorang terbutakan oleh keinginan dan kehilangan kebijaksanaan.

Sila merupakan faktor dari latihan (sikkhapada) dan fondasi dari pengembangan batin atau meditasi, tanpa sila yang kokoh maka sangat sulit bagi kita untuk mengembangkan kemampuan batin kita. Fungsi dari sila itu sendiri adalah untuk membersihkan perbuatan, dengan aturan latihan dan penahanan diri sesuai dengan aturan moralitas yang dipegang.

Sila merupakan dasar perlindungan sejati seseorang dan merupakan jalan untuk merubah diri kita dengan mengembangkan disiplin moral. Prinsip Sila adalah hiri: rasa malu berbuat jahat danotappa: rasa takut akan akibat dari perbuatan jahat. Atau ada juga prinsip yang disebut sebagai attanam upamam katva  yang berarti:

“Dengan mempertimbangkan diri sendiri sama seperti orang lain dan orang lain sama seperti dirinya sendiri.

Dalam hal ini seorang pengikut yang mulia bercermin:

'Disinilah aku, sangat mencintai kehidupanku, tidak ingin untuk mati, sangat mencintai kesenangan dan menolak rasa sakit.

Seandainya seseorang harus menghilangkan kehidupanku, hal ini tidak akan menjadi hal yang menyenangkan dan menggembirakan bagiku.

Jika aku, pada giliranku, harus menghilangkan kehidupan orang lain, kehidupan yang sangat dicintai oleh orang itu, tidak menginginkan untuk mati, orang lain sangat mencintai kesenangan dan menolak rasa sakit, hal itu tidak akan menjadi hal yang menyenangkan dan menggembirakan baginya.

Bagi kondisi yang tidak menyenangkan atau menggembirakan bagiku haruslah tidak menyenangkan dan menggembirakan bagi yang lainnya: dan kondisi tidak menyenangkan bagiku, bagaimana bisa aku menimbulkan hal itu pada orang lain?'

Sebagai hasil dari perenungan yang demikian, ia sendiri berpantang dari mengambil kehidupan makhluk-makhluk dan ia mendorong orang lain juga untuk berpantang, dan berbicara dalam pujian mengenai berpantang.

Samyuttanikaya, 55, No. 7

Lebih lanjut dalam Maha parinibbana Sutta – Digha Nikaya, Sang Buddha membabarkan mengenai manfaat dari Sila:

-          Melalui kewaspadaan terus-menerus dalam dirinya , ia memperoleh banyak kekayaan

-          Reputasi yang baik karena perbuatan yang terkendali akibat praktik dari sila.

-          Perkumpulan apapun yg ia masuki baik Brahmana, Khattiya, perumah-tangga ataupun petapa, ia memasukinya dengan penuh percaya diri & ketenangan

-          Ia meninggal dengan tenang dan tidak bingung

-          Setelah meninggal terlahir dalam kondisi bahagia di surga

Moralitas adalah perlindungan sejati seseorang. Setelah melakukan apa yang bajik dan baik, Ia tidak akan menyesal atau menyalahkan dirinya, dan orang bijaksana tidak menyalahkannya. Moralitas adalah dasar tertinggi untuk keamanan, fondasi untuk ketekunan dan sebuah berkah.

Buddha Dhamma adalah ajaran yang berisikan praktik dan bukan ajaran untuk diyakini, untuk itu sangat penting bagi kita untuk meraih manfaat Dhamma itu sendiri dengan mempraktikkan ajaran. Dhamma akan melindungi mereka yang mempraktikkannya. Dengan mempraktikkan Sila maka kita juga mencegah lenyapnya Dhamma sejati seperti yang diungkapkan oleh Sang Buddha dalam Samyutta Nikaya 16.13:

”Lima hal inilah Kassapa, yang menyebabkan lenyapnya Dhamma yang sejati. Apakah yang lima itu?

Ketika para bhikkhu, bhikkhuni, pengikut awam pria dan wanita tidak memiliki rasa hormat pada Buddha. Mereka tidak memiliki rasa hormat pada Dhamma. Mereka tidak memiliki rasa hormat pada Sangha. Mereka tidak memiliki rasa hormat pada pelatihan diri (Vinaya, Sila). Dan mereka tidak memiliki rasa hormat pada pencapaian konsentrasi”

Sila merupakan faktor utama dalam tahapan berlatih (sikkha) sebelum seseorang mengembangkan Samadhi (konsentrasi) dan Panna (kebijaksanaan). Untuk itu sangat penting melatih dan mengembangkan moralitas kita agar kita dapat terus mengembangkan kualitas batin kita menuju ke arah yang lebih baik hingga tercapainya Nibbana.

”Jika engkau menyayangi dirimu,

maka jgnlah membelenggu dirimu sendiri dengan kejahatan,

Karena kebahagiaan tidaklah mudah didapat bagi mereka yang melakukan perbuatan yang salah.

Ketika ditangkap oleh akhir kehidupan, saat engkau meninggalkan alam kehidupan sebagai manusia, apa yg sebenarnya engkau miliki? 

Apa yang kau bawa di sepanjang perjalanan?

Apa yang mengikuti di belakangmu seperti bayangan yang tidak pernah meninggalkan bendanya.

Keduanya, baik kebajikan & kejahatan yang engkau lakukan disini:

Itulah milikmu yang sejati, yang akan kau bawa sepanjang perjalananmu;

Itulah yang mengikuti di belakangmu seperti bayangan yang tidak pernah meninggalkan bendanya.

Karena itu lakukanlah apa yang terpuji, sebagai sebuah timbunan harta di kehidupan mendatang.

Perbuatan bajik adalah penyokong bagi semua makhluk ketika mereka muncul/lahir di dunia lainnya.

 Samyutta Nikaya 3.4 - Piya Sutta

Selamat mempraktikkan Atthasila di hari Uposatha.

Kamis, 21 April 2016

Bodhisattva Maitreya

Namo Buddhaya

~ Bodhisattva Maitreya akan menjadi Samyaksambuddha setelah usia rata-rata manusia mencapai 80.000 (84.000) tahun ~

Sumber Tulisan : Sinar Dharma [Copas]
OLeh: Ching Ik dan Hendrick

Tidak Ada yang Dapat Mengungguli Ketika mencapai Pencerahan Sempurna, Buddha Sakyamuni mengatakan “Sungguh menakjubkan, setiap makhluk hidup memiliki hakikat Buddha, hanya karena tertutup oleh delusi dan kemelekatan sehingga tidak menyadarinya.” Meskipun Buddha disebutkan sebagai manusia teragung, yang memahami segenap penjuru alam, guru para dewa dan manusia, namun kedudukan Buddha bukanlah monopoli satu orang, bukan pula penguasa atas kaum manusia.

Menjadi Buddha adalah perjuangan dan tujuan tertinggi setiap individu. Sedangkan memberi persembahan kepada Buddha dapat berarti memberi persembahan yang apresiasif bahwa setiap diri kita memiliki potensi yang setara dengan kemuliaan Buddha. Oleh karena itu, sebelum muncul Buddha Sakyamuni, dunia ini telah pernah muncul Buddha-Buddha lain tak terhitung banyaknya di masa lalu yang tak terhingga. Setelah kemangkatan Buddha Sakyamuni pun, pada masa yang akan datang akan muncul lagi Buddha lain di dunia ini. Lalu siapakah bakal Buddha berikut setelah era Buddha Sakyamuni, inilah yang akan diperkenalkan di dalam profi l berikut. Dialah Yang Ariya Bodhisattva Maitreya.

Nama Maitreya mengandung arti cinta kasih. Konon nama beliau disebut Ajita yang artinya ‘tidak ada yang dapat mengungguli’, sedangkan Maitreya adalah nama marga. Bagaimana kisah munculnya nama ini dan asal usul Maitreya membangkitkan ikrar bodhicitta? Kejadiannya bermula ketika Buddha Sakyamuni sedang berkunjung ke sebuah kerajaan. Saat itu Maitreya juga berada di sana sebagai seorang putra brahmana yang mendatangi Buddha untuk memberi penghormatan. Sekelompok brahmacari (pertapa) melihat sosok Maitreya memiliki 32 tanda fisik unggul dengan tubuh memancarkan cahaya gemilang. Merasa sangat aneh dan takjub melihat hal ini, mereka lalu bertanya pada Buddha, di hadapan Buddha manakah Maitreya pernah membangkitkan bodhicitta untuk pertama kalinya hingga memiliki tubuh cahaya yang sedemikian cemerlang yang hampir tidak berbeda dengan tubuh Bhagava? Pada kesempatan itulah Buddha menceritakan sebuah kisah kilas balik pada masa kalpa tak terhingga yang telah lampau. Saat itu terdapat seorang Buddha bernama Buddha Maitreya. Seorang brahmana bernama Sarvanyanaprabhasa mengajak Buddha Maitreya beradu debat. Karena tidak mampu mengungguli Buddha Maitreya, Brahmana akhirnya menyerah kalah dan memohon menjadi siswa Buddha Maitreya. Pada kesempatan itulah Brahmana Sarvanyanaprabhasa membangkitkan Abhinihara, yakni tekad mencapai Pencerahan Sempurna yang sama seperti Buddha Maitreya, juga berharap memiliki nama yang sama pula yakni Maitreya.

Siapakah Brahmana Sarvanyanaprabhasa? Tidak lain adalah Bodhisattva Ajita Maitreya. Pengukuhan Menjadi Samyaksambuddha Ada beberapa Sutra yang menceritakan mengenai pengukuhan Buddha tentang Bodhisattva Maitreya menjadi bakal Buddha berikutnya. Salah satu kisah yang ditafsirkan sebagai awal pengenalan ini terdapat pada kitab Madhyamagama – bagian Shuo Ben Jing.

Hal ini dikisahkan ketika Buddha mengunjungi wilayah Benares di Taman Rusa Isipatana. Saat itu, YA Aniruddha bersama para bhiksu lainnya sedang berbincang Dharma. Karena itu, Buddha menghampiri para bhiksu dan bertanya, “Oh para bhiksu, apa yang sedang kalian perbincangkan di aula pertemuan ini?” Para bhiksu menjawab, “Bhagava, kami sedang berbincang Dharma bersama YA Aniruddha mengenai hal-hal masa lalu, karena itulah kami berkumpul di aula pertemuan ini.” Buddha lalu berkata, “Apakah kalian ingin mendengar wejangan Dharma yang menyangkut hal-hal masa akan datang?”

Para bhiksu dengan gembira menyahut, “Bhagava, inilah saat yang tepat, Oh Sugata, inilah saat yang tepat.” Buddha lalu berkata, “Oh para bhiksu, dengarkan dan renungkanlah baik-baik, Aku akan menjabarkannya. Oh para bhiksu, jauh di masa yang akan datang, usia kehidupan manusia akan mencapai 80.000 tahun. Saat itu, wilayah Jambudwipa ini sangat makmur. Rakyatnya hidup harmonis, begitu juga dengan kota- kota dan desanya saling berdekatan hingga seekor ayam pun sanggup terbang ke kota tetangganya. Wanita di kehidupan saat itu menikah ketika berusia 500 tahun. Jenis penyakit yang muncul pun hanya sebatas sakit panas, dingin, buang air besar dan kecil, nafsu keinginan, makan dan minum, usia tua.

Pada saat itu juga, hidup seorang raja Cakravartin (penguasa dunia) bernama Luo. Raja Cakravartin memerintah dengan bijaksana. Kondisi dunia pada saat itu penuh dengan kedamaian.” “Oh para bhiksu, jauh di masa yang akan datang, ketika usia kehidupan manusia mencapai 80.000 tahun, akan muncul seorang Buddha dengan nama Buddha Maitreya, Tathagata, Arhat, Samyaksambuddha, Sugata, yang memahami segenap alam, guru para dewa dan manusia, penjinak nafsu, Bhagava yang maha mulia.

Setelah Buddha mengucapkan pengukuhan ini, salah seorang bhiksu bangkit dari tempat duduknya. Beliaulah Bodhisattva Maitreya yang dikukuhkan oleh Buddha. Bhiksu Maitreya bersujud dan beranjali di hadapan Buddha sambil berkata bahwa beliau akan mencapai tingkat Samyaksambuddha pada masa mendatang.

Buddha kemudian mengukuhkan pernyataan Bhiksu Maitreya, “Bagus, bagus, oh Maitreya. Engkau membangkitkan batin yang sangat menakjubkan dengan berkata akan membimbing para makhluk hidup. Seperti yang telah engkau pikirkan dan ucapkan di hadapanKu.”

Kemudian sekali lagi Buddha menyatakan kembali kepada Maitreya, “Oh Maitreya, ketika usia kehidupan manusia 80.000 tahun, Engkau akan mencapai Kebuddhaan, dengan nama Buddha Maitreya, Tathagata, Arhat, Samyaksambuddha, Sugata, yang memahami segenap alam, guru para dewa dan manusia, penjinak nafsu, Bhagava yang maha mulia. Dikelilingi oleh para makhluk, sama seperti Aku sekarang sebagai Tathagata, Arhat, Samyaksambuddha, Sugata, yang memahami segenap alam, guru para dewa dan manusia, penjinak nafsu, Bhagava yang maha mulia, dikelilingi oleh para makhluk.”

Buddha kemudian meminta Ananda mengambilkan jubah emasNya [1] untuk diberikan kepada Bhiksu Maitreya dan meminta Maitreya mendanakan jubah tersebut kepada Triratna secara simbolis.

Demikian ramalan ini diberikan kepada bhiksu Maitreya. Pengukuhan tentang sosok Maitreya tampak cukup menarik perhatian para siswa Buddha. Ketika berada di Taman Anathapindika, YA Ananda juga menanyakannya, begitu juga YA Sariputra memohon kepada Buddha saat berada di puncak Gunung Grdhakuta.

Pada kesempatan lain, YA Upali juga menanyakan hal seputar Maitreya ketika berada di Taman Anathapindika. Bodhisattva Maitreya juga hadir di pesamuan ini. Pada saat itu Buddha memancarkan cahaya gemilang yang memunculkan visual para Buddha, yang mana visual para Buddha ini kemudian menguncarkan berbagai dharani agung.

Setelah Bodhisattva Maitreya mendengar dharani ini, seketika juga menguasai metode tersebut. Akan tetapi, karena YA Upali tidak memahami tingkatan batin Maitreya, maka beliau pun bertanya kepada Buddha, “Oh Lokanatha, Lokanatha pernah berkotbah tentang Ajita (Maitreya) akan menjadi Buddha pada masa yang akan datang. Seperti diketahui bahwa Ajita masih beridentitas sebagai manusia biasa yang masih belum mengikis tuntas noda-noda batin, lantas di alam manakah dia akan dilahirkan setelah kehidupan ini? Meskipun telah menjalani kehidupan monastik, dia tidak juga mempraktikkan samadhi dan tidak mengikis noda batin, namun Bhagava secara pasti mengukuhkannya akan mencapai Kebuddhaan. Setelah akhir hidupnya, ke manakah dia akan dilahirkan?”

Buddha lalu berkata kepada Upali, “Dengarkan dan renungkanlah baik-baik, sekarang di hadapan pesamuan ini, Tathagata, Yang memiliki pengetahuan sempurna, akan mewejangkan Pengukuhan tentang Bodhisattva Maitreya Mencapai Anuttara Samyaksambuddha. Terhitung dua belas tahun dari sekarang, usia kehidupannya akan berakhir dan dipastikan terlahir di Surga Tusita.”

Pada kesempatan itu pula Buddha mewejangkan praktik yang perlu dijalani bagi mereka yang hendak terlahir di Surga Tusita mengikuti Bodhisattva. “Bagi bhiksu atau semua orang yang tidak merasa jijik terhadap kehidupan samsara, sementara sangat senang dapat terlahir di alam surga, dan merasa senang dengan pikiran Pencerahan Sempurna, ataupun berkehendak menjadi siswa Maitreya, maka lakukanlah jenis praktik vipasyana, yang mana praktik ini hendaknya dijalani dengan menaati Lima Sila, Delapan Sila maupun Sila Penuh. Dengan batin dan jasmani yang bersih lalu tanpa mencari Jalan Pemutusan [2], mempraktikkan Sepuluh Perbuatan Baik, lalu secara seksama merenungkan kebahagiaan menakjubkan dari alam Surga Tusita. (Dengan motivasi ini) maka mempraktikkan vipasyana seperti ini disebut vipasyana yang benar, selain dari praktik ini maka disebut vipasyana tidak benar [3].

” Mendengar tentang kegemilangan surga Tusita dan kejadian-kejadian luar biasa dari Bodhisattva Maitreya membuat YA Upali merasa semakin tertarik hingga beliau menanyakan lebih detil lagi tentang kapan waktunya Bodhisattva akan dilahirkan di Tusita.“Oh Bhagava, Surga Tusita ternyata memiliki peristiwa sukacita yang demikian menakjubkan, jadi kapan tepatnya Mahasattva meninggalkan Jambudvipa ini untuk terlahir di Surga tersebut ?” “Oh Upali, Maitreya adalah anak dari seorang brahmana bernama Pravari yang dilahirkan di desa Kapali, wilayah Benares. Dua belas tahun kemudian di bulan kedua tanggal 15, beliau akan kembali ke tempat kelahirannya. Di tempat itulah beliau akan duduk bersila bagaikan orang yang memasuki samadhi, lalu tubuhnya memancarkan cahaya emas keunguan yang sangat cemerlang dan seketika itu juga terlahir di Surga Tusita. Peninggalan relik tubuh jasmaninya seperti rupang emas yang kokoh tanpa goyah sedikitpun, dan di tengah lingkaran cahaya jasmaninya terdapat aksara bertuliskan ‘Shurangama Samadhi Prajna Paramita’ yang bersinar cemerlang.

” Kapankah Bodhisattva Maitreya Menjadi Samyaksambuddha? Setelah terlahir di Surga Tusita, Bodhisattva Maitreya memiliki 32 tanda-fisik unggul dan 80 ciri indah yang hampir tidak berbeda dengan seorang Buddha. Beliau duduk di atas singgasana teratai dan setiap saat memutar roda Dharma kepada para dewa lainnya agar berjalan di jalur cita-cita Anuttara Samyaksambodhi. Demikian terus hingga usia kehidupan mencapai 4.000 tahun surga Tusita atau 56 koti laksa tahun manusia, Maitreya baru meninggalkan Tusita dan terlahir kembali ke alam manusia untuk mencapai Pencerahan Sempurna. Beberapa golongan ekstrem menyatakan bahwa Maitreya telah hadir di antara kita, atau Maitreya akan hadir dalam waktu dekat. Bahkan beberapa ratus tahun terakhir ini banyak orang yang mengaku sebagai titisan Maitreya. Pandangan dan interpretasi ini tentu sangat tidak bersesuaian dengan agama Buddha.

Buddha yang akan datang baru akan mengajarkan Dharma apabila ajaran Buddha sebelumnya telah punah. Baik Sutta Theravada ataupun Sutra Mahayana menyebutkan Bodhisattva Maitreya akan menjadi Samyaksambuddha setelah usia rata-rata manusia mencapai 80.000 atau 84.000 tahun.

5.000 tahun setelah Buddha Parinirvana adalah masa-masa di mana dunia semakin kacau dan kejahatan semakin merajalela, hingga umur rata- rata manusia hanya mencapai 10 tahun. Dalam paham Mahayana, emanasi Bodhisattva Maitreya akan muncul pada zaman terpuruk tersebut untuk mengajarkan dasar-dasar kebajikan dan moralitas sehingga umur rata-rata manusia dari 10 tahun kembali bertambah mencapai 84.000 tahun atau tepatnya sampai pada masa 560.000.000 tahun setelah Buddha Sakyamuni Parinirvana, Bodhisattva Maitreya akan turun ke dunia manusia menjadi Samyaksambuddha.

Dalam Buddhavaca Maitreya Upapadyante Tusita Dhyana Sutra [Sutra Buddha Membabarkan Bodhisattva Maitreya Terlahir di Alam Tusita] ada dikatakan: “Setelah usia Maitreya genap 560.000.000 tahun menurut penanggalan Jambudvipa (bumi), beliau akan meninggalkan istana Surga Tusita lagi, kemudian ditumimbal lahirkan di Dunia Sahaloka.”

Lalu berdasarkan ucapan Buddha di dalam Sutra Buddhavacana Maitreya Bodhisattva Sutra, Bodhisattva Maitreya kelak akan terlahir di alam manusia setelah 567.000.000 tahun bumi, mencapai Penerangan Sempurna di bawah pohon Long Hua (Nagapuspa) di Taman Puspavana di luar kota Ketumat, sesuai dengan umur makhluk yang terlahir di Surga Tusita (jangka waktu kehidupan di Surga Tusita adalah 567.000.000 tahun manusia).

Yogi Shabkar juga berkata, “Di masa depan yang merupakan masa wabah penyakit, peperangan dan kelaparan, ketika usia rata-rata manusia telah berkurang hanya menjadi 10 tahun saja, Seorang yang Berjubah Saffron, seorang emanasi dari Maitreya, akan muncul. Kagum, semua orang akan bertanya- tanya, “Apakah Buddha Maitreya telah hadir?” dan bertanya “Kenapa engkau memakai jubah Dharma yang sangat indah warnanya? Kenapa engkau sangat tampan?” “Setelah melalui praktik kesabaran”, jawab sang emanasi dan ia menambahkan, “Janganlah melakukan perselisihan, praktekkanlah kesabaran.” Ketika orang-orang melakukan tindakan ini, jangka hidup mereka akan bertambah, pertama dari 10 tahun menjadi 20 tahun, kemudian bertahap sampai akhirnya mencapai 80.000 tahun. Kemudian [pada saat itu] Buddha Maitreya akan hadir dan memutar Roda Dharma.”

Sutra-sutra Mahayana tidak mengatakan bahwa Bodhisattva Maitreya akan mencapai Samyaksambuddha setelah 2.500 tahun [500 tahun kelima], namun sutra-sutra tersebut sebenarnya menyebutkan bahwa akan ada emanasi Bodhisattva Maitreya yang muncul di bumi ketika masa 2.500 tahun Ketika masa 5.000 tahun setelah Buddha Parinirvana, jadi bukan sebagai Samyaksambuddha. Maka belumlah pantas bila saat ini menyebut Maitreya sebagai seorang Buddha Sempurna.

Pertemuan Asanga dan Bodhisattva Maitreya

Ajaran Bodhisattva Maitreya yang sesungguhnya dalam agama Buddha dapat ditemukan dalam ajaran Yogacara/Vijnanavada, yang sesungguhnya tidak berbeda dengan ajaran Buddha Sakyamuni. Maitreya mewejangkan kembali sabda Buddha Sakyamuni tentang ajaran “Hanya Kesadaran” yang merupakan Pemutaran Roda Dharma [Dharmacakra] yang ketiga.

Asanga, umat Buddhis yang sangat berdedikasi, berlatih meditasi visualisasi Maitreya selama 12 tahun di sebuah goa, tetapi karena tak memperoleh hasil apa-apa, ia pergi meninggalkan goa tempatnya bermeditasi. Dalam perjalanan, Asanga melihat seekor anjing tua yang sedang sekarat dengan bagian bawah tubuh terluka dikerumuni banyak belatung. Rasa welas asih yang sangat besar muncul dalam diri Asanga. Ia berpikir, “Anjing ini akan mati bila belatung tidak dikeluarkan, namun belatung-belatung akan mati bila dikeluarkan begitu saja. Karenanya aku akan memotong daging dari tubuhku untuk makanan belatung, maka selamatlah baik anjing maupun belatungnya.”

Apabila ia memindahkan dengan jarinya, maka belatung-belatung akan mati terbunuh. Dengan sebilah pedang, ia memotong dagingnya sendiri. Kemudian ia memejamkan mata, menunduk dan berusaha mengeluarkan belatung-belatung itu dengan lidahnya, namun tidak dapat mencapainya. Saat membuka mata, Arya Maitreya nampak berdiri di hadapannya dengan mahapurusha-lakshana yang agung. Takjub, Asanga berkata sambil bercucuran air mata: “Oh Ayahku! Pelindungku! Selama bertahun- tahun aku melakukan beratus-ratus usaha namun tidak membawa hasil. Ketika aku haus dan didera penderitaan, mengapa engkau tidak menurunkan hujan amrita dari samudra awan kemuliaanmu? Mengapa engkau hanya menunjukkan belas kasih yang kecil kepada kami?”

Arya Maitreya menjawab, “Sebagaimana ungkapan, meskipun raja dari para dewa menurunkan hujan, biji yang mati tak akan bertunas. Demikian pula meskipun para Buddha muncul, Ia tak terlihat oleh mereka yang kurang kebajikannya. Aku telah berada bersamamu sejak awal, Aku tidak pernah terpisah denganmu, tapi karena terhalang oleh karmamu, engkau tak dapat melihatKu. Sebaliknya, setelah noda dan rintanganmu dimurnikan oleh pelatihan mantramu yang banyak dan oleh welas asihmu sehingga berani memotong dagingmu sendiri, kini dirimu dapat melihatKu.” Arya Maitreya kemudian berkata, “Tetapi untuk membuktikan kebenaran pernyataan ini bagimu, gendonglah dan bawa Aku ke kota!”

Asanga membawa Bodhisattva ke kota, namun tidak ada satu orang pun yang melihat Arya Maitreya, kecuali seorang wanita tua melihat Asanga menggendong bangkai anjing [4]. Karena penglihatannya itu, ia mendapatkan keberuntungan yang tiada akhir. Seorang tukang tembikar melihat kaki Arya Maitreya, segera ia berada dalam keadaan samadhi dan mencapai banyak siddhi. Pada saat itu Asanga juga mencapai samadhi “kesadaran akan keberadaan.”

“Apa keinginanmu sekarang?” tanya Maitreya Bodhisattva. “Memulihkan ajaran Mahayana,” jawab Asanga. “Baiklah pegang ujung jubahku.” Arya Asanga mengikuti nasehat tersebut dan pergi ke Surga Tusita, berada di sana selama 50 tahun manusia mendengarkan Dharmadesana dari Arya Maitreya dan sangat paham baik makna maupun kalimat demi kalimat. Ia mendengarkan “Lima Dharma Maitreya” yang dibukukan di Dharmankura Vihara di Veluvana. Kelima teks tersebut adalah Abhisamayalamkara, Mahayanasutralamkara, Dharmadharmatavibhanga, Madhyantavibhanga, dan Uttaratantra Shastra [Ratnagotravibhanga].

Emanasi Maitreya di Asia

Dalam tradisi Buddhisme Tiongkok, rupang Bodhisattva Maitreya lebih banyak dikenal orang dalam wujud perawakan gemuk dengan perut buncit yang tertawa riang. Mengapa penggambaran wujud Maitreya demikian unik dan jauh berbeda dari bentuk Bodhisattva Mahasatva umumnya? Hal ini berkaitan dengan beberapa kisah para bhiksu yang diyakini sebagai emanasi Bodhisattva Maitreya.

Entah kebetulan atau tidak, bhiksu-bhiksu itu memiliki ciri- ciri yang hampir sama, yakni berperawakan gemuk. Di antaranya adalah kisah tentang Bhiksu Fu yang hidup pada masa dinasti Liang. Beliau adalah penasihat Kaisar Liang Wudi dan sering memberi bimbingan Dharma kepada Kaisar.

Menjelang kemangkatannya, Bhiksu Fu berkata, “Saya datang dari Surga tingkat ke-4 (Tusita), bertujuan untuk membimbing kalian. Untuk berikutnya akan menggantikan Sakyamuni.”

Dari ucapan inilah diyakini beliau adalah emanasi Bodhisattva Maitreya. Kemudian pada masa Dinasti Lima Kerajaan, di wilayah Mingzhou, kabupaten Fenghua, ada seorang bhiksu yang berperawakan gemuk dengan perut buncit. Setiap hari selalu membawa sebuah kantong kain yang besar di jalanan dan sering tertawa lebar. Orang-orang memanggilnya Bhiksu Budai (Kantong Kain).

Beliau berpindapata kepada siapa saja, dan bila ada yang memberinya arak dan daging, maka akan memasukkannya ke dalam kantong kain. Pada musim dingin, lantai bersalju menjadi alas tidurnya, saat bangun, pakaiannya tidak menjadi basah. Bila beliau mengenakan sandal dari rumput basah sambil berlari-lari di tengah keramaian, maka semua orang akan tahu bahwa hujan akan tiba. Bila mengenakan sandal berukuran tinggi sambil tidur di atas jembatan, maka pertanda cuaca akan kembali cerah. Ketika menjelang mangkat di Vihara Yuelin, beliau berbaring di atas batu sambil berkata, “Maitreya oh Maitreya yang sesungguhnya, jelmaannya ratusan ribu wujud. Setiap saat membimbing orang, namun orang-orang tidak mengenalnya.”

Sedangkan di Tibet, ada dua guru yang dikenal sebagai emanasi Maitreya yaitu Tai Situpa Rinpoche dan Sangye Nyenpa Rinpoche yang berasal dari silsilah Karma Kagyu. Di Korea, Maitreya beremanasi sebagai seorang remaja pria Hwarang. Di Jepang, ada tempat yang diidentikkan dengan Surga Tusita yaitu Gunung Koya tempat Bhiksu Kukai bermeditasi menunggu kedatangan Arya Maitreya. Sedangkan menurut tradisi Mahayana, Mahakashyapa juga bermeditasi di gunung Kukkutapada [Jizu Shan di Tiongkok] menunggu kedatangan Arya Maitreya.

Guru-guru Buddhis seperti Arya Bhavaviveka juga berikrar untuk menjaga tubuh mereka sampai kedatangan Bodhisattva Maitreya. Demikian pula dari Maha Bhiksu Xuanzang di masa Dinasti Tang, hingga era kontemporer seperti Master Xuyun, Taixu dan Yinshun adalah tokoh-tokoh yang berikrar terlahir di Surga Tusita mendampingi Bodhisattva Maitreya. Sebagai seorang calon Buddha yang akan datang, waktu kedatangan Maitreya menjadi topik yang cukup hangat di kalangan umat Buddha.

Namun sebenarnya sudah jelas sekali seperti yang dinyatakan Buddha Sakyamuni bahwa jangka waktu kemunculan Maitreya masih lama. Namun beberapa golongan ekstrem menyatakan bahwa Maitreya telah menjadi Buddha, hal ini tentu sudah tidak sesuai dengan esensi yang ingin disampaikan Buddha ketika mengungkapkan pengukuhan Maitreya. Lagi pula selama ajaran Buddha masih eksis, mempraktikkan Dharma yang nyata dan ada di depan mata jauh lebih realistis dan sudah sepatutnya dilakukan alih-alih menyatakan bahwa Buddha berikutnya telah muncul.

Pada dasarnya, diperkenalkannya seorang bakal Buddha memiliki pesan inspiratif, yakni bahwa setiap makhluk hidup, termasuk diri kita, juga adalah bakal Buddha yang akan datang.Itulah mengapa dikatakan bahwa setiap makhluk memiliki hakikat Buddha dalam dirinya. Hakikat inilah yang perlu kita pulihkan kembali, tentu dengan meneladani kualitas- kualitas yang dimiliki oleh para Ariya bijaksana, salah satunya adalah Bodhisattva Maitreya. Semoga dengan diperkenalkannya Bodhisattva Maitreya dapat membekali kita untuk dapat membangkitkan ikrar agung dan belajar mempraktikkan cinta kasih seperti yang nama yang melekat pada nama Bodhisattva Maitreya

. -------------------------------------------------

[1]Jubah yang terbuat dari benang emas jahitan Mahaprajapati Gotami.

[2] Jalan Pemutusan merujuk pada pencapaian Arahat (memutus samsara). Bila seseorang memilih terlahir di Tusita, maka tidak menempuh Jalan Arhat dulu, karena itu dikatakan “tanpa mencari jalan pemutusan”.

[3] Bukan menampikkan metode vipasyana yang lain, jadi maksudnya adalah bila mempraktikkan metode vipasyana ini maka harus mengikuti prinsip-prinsip yang telah diajarkan seperti di atas.

[4] Yang kita tangkap dari cerita ini, anjing yang sekarat itu sebenarnya adalah emanasi Bodhisattva Maitreya.