Kamis, 13 Mei 2021

Tanda Titik di Kepala Bhiksu

Tanda Titik di Kepala Biksu



Menurut tulisan Bhiksu ShengYen dari Dharma Drum/FaGuShan, beliau mengatakan cara ini sebenarnya bukan berdasarkan ajaran dari sang Buddha. Maksud beliau adalah jangan sampai kita menganggap ini merupakan ciri dari Buddhisme.

Namun tanda itu memiliki makna tersendiri, karena tanda ini dilakukan dengan cara menggunakan dupa yang menyala lalu ditindik ke atas kepala sang bhiksu, ini merupakan sebuah cara yang identik dengan membakar jari. Dalam salah satu kitab suci mahayana tertulis bahwa salah satu bentuk persembahan kepada sang buddha adalah membakar jari. Walaupun cara ini tampak ekstrim, namun memang ada yang melakukannya sebagai tanda ketulusan atas aspirasi mencapai pencerahan. Kita harus melakukannya dengan motivasi yang benar. Sama seperti metode Dutanga (praktek keras) yang dilakukan Mahakasyapa. Tidak semua orang sanggup menjalaninya. Tidak semua orang boleh menjalaninya. Sang Buddha bisa aja menyetujui anda menjalaninya tapi belum tentu menyetujui kepada orang lain. Demikianlah ajaran Buddha, sangat bergantung pada sikap batin para siswanya saat mendidik mereka.

Seiring dengan perkembangan jaman, hal itu menjadi kebiasaan Buddhist Tiongkok dan timbul pula segala macam alasan untuk mengartikannya. Tapi ada Bhiksu yang saya hormati mengambil hal itu sebagai bentuk pengabdian.

Menurut sumber lain, tujuan dibuat tanda ini:
  • Melatih ketabahan jiwa
  • Berjanji sesuatu kepada sang Budha
  • Membersihkan karma-karma buruk di kehidupan sebelumnya
Menindik kepala dengan dupa oleh bhiksu di Cina, bukan sebuah kewajiban, sampai pada masa sekarang, sudah semakin berkurang bhiksu Cina melakukannya. Justru katanya asal mula praktek seperti itu adalah masa masa Buddhisme sedang merosot di Cina.

Titik itu awalnya dibuat oleh pemerintah di Tiongkok dinasti Yuan (Mongol) untuk memisahkan yang asli dan yang palsu mengingat banyak biksu palsu yang berkeliaran seperti halnya bhante yang tidak memiliki alis karena dulu banyak bhante palsu di Thailand. Ada pula yang bilang hal itu untuk mendiskirminasikan Bhiksu Mongol dan Bhiksu Han. Di India sendiri, hal itu tidak pernah dipraktekkan.

Sumber: World peace

Rabu, 12 Mei 2021

VARUNI Jataka

Sumber : Sariputta
---------------------------- 
“Usaha yang salah,” dan seterusnya . Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu yang bertindak sesuka hatinya. Sang Guru berkata kepada bhikkhu itu, “Ini bukan pertama kalinya, Bhikkhu, engkau bersikap semaumu; engkau mempunyai kecenderungan yang sama seperti kehidupan yang lampau; karena sikap itu, engkau tidak mengindahkan nasihat dari ia yang bijaksana dan baik, akibatnya engkau dipotong menjadi dua bagian dengan sebilah pedang yang tajam dan dilemparkan di jalan raya; dan engkau juga merupakan penyebab tunggal akan seribu orang yang menemui ajal mereka.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, ada seorang brahmana di sebuah desa yang menguasai sebuah mantra, ia bernama Vedabbha. Mantra ini, dikatakan mereka, lebih berharga melebihi semua barang bernilai lainnya. Jika saat planet-planet berada pada posisi yang sejajar, ada yang mengucapkan mantra ini sambil menatap jauh ke langit, secara langsung akan timbul hujan dari langit berupa tujuh jenis batu berharga.

Pada masa itu, Bodhisatta adalah siswa dari brahmana ini; Suatu hari, gurunya meninggalkan desa itu untuk mengurus beberapa keperluan. Ia pergi ke Negeri Ceti bersama Bodhisatta.

Sementara itu, di sebuah hutan, terdapat lima ratus orang perampok – dikenal dengan sebutan “Pengutus” – yang membuat perjalanan itu tidak mungkin dilakukan. Mereka menangkap Bodhisatta dan Brahmana Vedabbha. (Anda bertanya-tanya, mengapa mereka disebut sebagai Pengutus? – Baiklah, menurut cerita, setiap dua tahanan yang mereka dapatkan, mereka selalu mengutus satu untuk menjemput uang tebusan; itulah sebabnya mengapa mereka disebut sebagai Pengutus. Jika mereka menangkap seorang ayah dan anak lelakinya, mereka akan meminta ayahnya untuk pergi mengambil uang tebusan untuk membebaskan anaknya; jika yang tertangkap adalah Ibu dan anak perempuannya, mereka akan mengirim ibunya untuk mencari uang tebusan. Jika yang tertangkap adalah dua orang bersaudara, mereka akan membiarkan saudara tua untuk pergi; demikian juga jika yang tertangkap adalah guru dan murid, yang mereka bebaskan adalah muridnya. Dalam kasus ini, mereka menahan Brahmana Vedabbha dan mengirim Bodhisatta untuk mencari uang tebusan.) Bodhisatta berkata sambil membungkukkan badannya memberi hormat pada gurunya, “Saya pasti akan kembali dalam satu hingga dua hari. Jangan khawatir; Hanya saja jangan lupa akan apa yang saya katakan. Hari ini, planet-planet akan bergerak bersama, sehingga dapat membawa hujan batu berharga. Berhati-hatilah jangan sampai Anda membacakan mantra itu dan memanggil hujan barang-barang berharga. Jika hal tersebut terjadi, malapetaka akan menimpa Anda dan kelompok penjahat ini.” Dengan peringatan seperti ini pada gurunya, Bodhisatta pergi untuk mencari uang tebusan.

Saat matahari terbenam, perampok-perampok itu mengikat brahmana itu dan membaringkannya di dekat mereka. Pada saat itu juga, purnama muncul di langit bagian timur. Brahmana yang mempelajari tentang langit, mengetahui – bahwa pergerakan bersama planet-planet itu sedang terjadi. “Mengapa,” pikirnya, “saya harus mengalami penderitaan ini? Dengan membacakan mantra itu, saya akan memanggil hujan batu berharga, membayar tebusan pada perampok-perampok ini, dan bebas untuk pergi.” Maka ia memanggil penjahat-penjahat itu, “Teman-teman, mengapa saya dijadikan sandera?”

“Untuk mendapatkan uang tebusan, Brahmana yang terhormat,” jawab mereka.

“Baiklah kalau itu yang kalian inginkan,” kata brahmana tersebut.

“Segera lepaskan saya; cuci kepala saya dan kenakan baju baru pada saya; buat saya wangi dan selimuti saya dengan bunga-bungaan. Kemudian tinggalkan saya sendiri.” Para perampok melakukan apa yang diminta olehnya. Brahmana yang menandai kebersamaan planet-planet itu, membacakan mantra dengan mata menatap ke langit. Segera saja, barang-barang berharga itu mengalir turun dari langit. Para penjahat langsung memungut barang-barang berharga itu dan membungkus barang rampasan itu dengan menggunakan mantel mereka. Mereka meninggalkan tempat itu dengan diikuti oleh brahmana itu dibelakang mereka. Namun, seakan telah diatur, kelompok itu disergap oleh kelompok kedua yang beranggotakan lima ratus orang perampok! “Mengapa kalian menangkap kami?” tanya kelompok pertama kepada kelompok kedua. “Untuk merampas barang jarahan kalian,” jawab mereka. “Jika itu yang kalian inginkan, tangkap saja brahmana ini, ia bisa dengan mudah menatap ke langit dan membawa turun harta kekayaan seperti aliran hujan. Ia yang memberikan semua barang yang kami miliki ini.” Maka kelompok kedua melepaskan kelompok pertama, hanya menahan brahmana itu, mereka berseru, “Berikan kekayaan kepada kami juga!”

“Dengan senang hati,” jawab brahmana itu; “namun masih satu tahun lagi sebelum planet-planet bergerak bersama, yang merupakan syarat utamanya. Jika kalian mau menanti hingga saat itu, saya akan memohon hujan barangbarang berharga untuk kalian.”

“Brahmana kurang ajar!” teriak perampok-perampok yang marah itu. “Kamu membuat kelompok yang lain menjadi kaya begitu saja, dan meminta kami untuk menunggu selama satu tahun!” Mereka kemudian memotongnya menjadi dua bagian dengan sebilah pedang yang tajam dan membuang mayatnya di tengah jalan. Lalu mengejar kelompok pertama, membunuh semua anggota perampok kelompok pertama dalam sebuah perkelahian, dan mengambil barang rampasan mereka.

Selanjutnya mereka sendiri terpecah menjadi dua kelompok, yang berkelahi antar anggota mereka sendiri. Kedua kelompok itu saling berkelahi hingga dua ratus lima puluh orang mati terbunuh. Mereka masih saling membunuh satu sama lain sehingga yang tersisa hanya dua orang saja. Dengan demikian, hampir seribu orang telah mati karenanya.

Kedua orang yang masih hidup itu sepakat untuk membawa lari harta tersebut, yang kemudian mereka simpan di sebuah hutan dekat desa; satu orang duduk di sana, dengan pedang di tangan, menjaga harta tersebut sementara yang satunya lagi pergi ke desa untuk mencari beras dan memasaknya sebagai santapan malam mereka.

“Ketamakan adalah penyebab kejatuhan!” renungnya saat berhenti di dekat harta tersebut.

“Saat temanku kembali nanti, ia akan menginginkan sebagian dari harta ini. Saya harus membunuhnya pada saat ia kembali.” Maka ia menghunuskan pedangnya dan duduk menunggu temannya kembali. Sementara itu, penjahat yang satu lagi, membayangkan hal yang sama, bahwa harta rampasan itu akan dibagi dua, ia berpikir, “Saya harus meracuni nasi ini, dan memberikan nasi beracun ini untuk dimakan olehnya dan membunuhnya.” Setelah makan bagiannya lebih dahulu, ia meracuni sisa nasi itu, lalu dibawanya ke dalam hutan. Namun ia tidak sempat melakukan rencananya, ketika penjahat yang satunya lagi memotongnya menjadi dua bagian dengan menggunakan pedang, dan menyembunyikan mayatnya di suatu tempat yang terpencil.

Kemudian ia makan nasi beracun itu, dan meninggal di tempat pada saat itu juga. Demikianlah, karena harta tersebut, tidak hanya brahmana itu, namun semua penjahat itu menjadi binasa. Sementara itu, satu dua hari kemudian, Bodhisatta kembali dengan membawa uang tebusannya. Tidak menemukan gurunya ditempat ia meninggalkannya, namun melihat harta benda berserakan di sekitar tempat itu, hatinya merasa khawatir bahwa, walaupun ia telah memberi nasihat, gurunya pasti telah menurunkan hujan harta benda dari langit, dan semuanya telah tewas sebagai akibatnya; ia menelusuri sepanjang jalan tersebut.

Dalam perjalanannya, ia menemukan mayat gurunya yang terbelah menjadi dua bagian, tergeletak di tengah jalan. “Aduh!” serunya, “ia meninggal karena tidak mau mendengar peringatan yang saya berikan.” Kemudian dengan kayu-kayu yang terkumpul olehnya, ia membuat sebuah tumpukan kayu bakar dan membakar jasad gurunya, memberikan persembahan berupa bunga-bunga. Saat berjalan lebih jauh, ia tiba di tempat dimana lima ratus orang “Pengutus” tergeletak, dan berjalan lebih jauh lagi, ia menemukan dua ratus lima puluh mayat, demikian seterusnya hingga ia hanya menemukan dua mayat di sana.

Memperhatikan bagaimana sembilan ratus sembilan puluh delapan orang telah tewas, ia merasa yakin masih ada dua orang lagi yang masih hidup, dan tidak ada yang dapat menghentikan mereka lagi. Ia memaksakan diri untuk melihat kemana mereka pergi. Ia berjalan terus, hingga akhirnya menemukan jalan dimana bersama harta tersebut mereka berbelok masuk ke dalam hutan; dan disana, ia menemukan buntelan harta benda, dan satu orang perampok yang terbaring mati dengan mangkuk nasi yang terbalik di sisinya. Menyadari keseluruhan kejadian itu dengan melihat secara sekilas, Bodhisatta mencari orang yang hilang itu, akhirnya ia menemukan mayatnya di suatu tempat yang terpencil dimana ia dilemparkan.

“Demikianlah,” renung Bodhisatta, “karena tidak mendengar nasihatku, guru yang mengikuti keinginannya sendiri telah membinasakan tidak hanya dirinya sendiri, namun juga seribu orang lainnya. Benar, mereka sendiri yang menerima akibat kekeliruan dan salah jalan, yang akhirnya menemui kehancuran, walaupun ia adalah guruku sendiri.” Ia mengulangi syair berikut ini :

Usaha yang salah membawa kehancuran, bukannya keuntungan;

Para perampok membunuh Vedabbha, dan akhirnya mereka sendiri juga terbunuh. 

Demikianlah yang disampaikan oleh Bodhisatta, ia berkata lebih lanjut, — “Bahkan usaha guru saya yang salah arah dengan mengupayakan turunnya hujan harta benda dari langit, mengakibatkan kematiannya dan kehancuran bagi orang lain yang bersama dengannya; Tetap saja, setiap orang yang salah mengartikan pencarian terhadapan pedoman demi keuntungannya sendiri, akan hancur dan melibatkan orang lain dalam kehancurannya.” Dengan kata-kata ini Bodhisatta membuat hutan itu bergemuruh; dalam syair tersebut ia telah membabarkan Kebenaran, sementara para dewa pohon meneriakkan sorakan kegembiraan. Ia merencanakan untuk membawa harta benda tersebut ke rumahnya sendiri, tempat ia menghabiskan sisa hidupnya dengan berdana dan melakukan perbuatan baik lainnya. Setelah meninggal, ia terlahir kembali di alam bahagia yang telah ia menangkan.

Sang Guru berkata, “Ini bukan pertama kalinya, Bhikkhu, engkau bertindak semaumu. Engkau juga memiliki sifat yang sama di kehidupan yang lampau. Karena tindakan sesuka hatimu, engkau hancur sama sekali.” Setelah uraian-Nya berakhir, Beliau menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Bhikkhu yang bertindak sesuka hati ini adalah Brahmana Vedabbha di masa itu, dan Saya sendiri adalah siswanya.”

sumber: ITC, Jataka Vol. I

VEDABBHA Jataka

Sumber : Sariputta
---------------------------- 
“Usaha yang salah,” dan seterusnya . Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu yang bertindak sesuka hatinya. Sang Guru berkata kepada bhikkhu itu, “Ini bukan pertama kalinya, Bhikkhu, engkau bersikap semaumu; engkau mempunyai kecenderungan yang sama seperti kehidupan yang lampau; karena sikap itu, engkau tidak mengindahkan nasihat dari ia yang bijaksana dan baik, akibatnya engkau dipotong menjadi dua bagian dengan sebilah pedang yang tajam dan dilemparkan di jalan raya; dan engkau juga merupakan penyebab tunggal akan seribu orang yang menemui ajal mereka.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, ada seorang brahmana di sebuah desa yang menguasai sebuah mantra, ia bernama Vedabbha. Mantra ini, dikatakan mereka, lebih berharga melebihi semua barang bernilai lainnya. Jika saat planet-planet berada pada posisi yang sejajar, ada yang mengucapkan mantra ini sambil menatap jauh ke langit, secara langsung akan timbul hujan dari langit berupa tujuh jenis batu berharga.

Pada masa itu, Bodhisatta adalah siswa dari brahmana ini; Suatu hari, gurunya meninggalkan desa itu untuk mengurus beberapa keperluan. Ia pergi ke Negeri Ceti bersama Bodhisatta.

Sementara itu, di sebuah hutan, terdapat lima ratus orang perampok – dikenal dengan sebutan “Pengutus” – yang membuat perjalanan itu tidak mungkin dilakukan. Mereka menangkap Bodhisatta dan Brahmana Vedabbha. (Anda bertanya-tanya, mengapa mereka disebut sebagai Pengutus? – Baiklah, menurut cerita, setiap dua tahanan yang mereka dapatkan, mereka selalu mengutus satu untuk menjemput uang tebusan; itulah sebabnya mengapa mereka disebut sebagai Pengutus. Jika mereka menangkap seorang ayah dan anak lelakinya, mereka akan meminta ayahnya untuk pergi mengambil uang tebusan untuk membebaskan anaknya; jika yang tertangkap adalah Ibu dan anak perempuannya, mereka akan mengirim ibunya untuk mencari uang tebusan. Jika yang tertangkap adalah dua orang bersaudara, mereka akan membiarkan saudara tua untuk pergi; demikian juga jika yang tertangkap adalah guru dan murid, yang mereka bebaskan adalah muridnya. Dalam kasus ini, mereka menahan Brahmana Vedabbha dan mengirim Bodhisatta untuk mencari uang tebusan.) Bodhisatta berkata sambil membungkukkan badannya memberi hormat pada gurunya, “Saya pasti akan kembali dalam satu hingga dua hari. Jangan khawatir; Hanya saja jangan lupa akan apa yang saya katakan. Hari ini, planet-planet akan bergerak bersama, sehingga dapat membawa hujan batu berharga. Berhati-hatilah jangan sampai Anda membacakan mantra itu dan memanggil hujan barang-barang berharga. Jika hal tersebut terjadi, malapetaka akan menimpa Anda dan kelompok penjahat ini.” Dengan peringatan seperti ini pada gurunya, Bodhisatta pergi untuk mencari uang tebusan.

Saat matahari terbenam, perampok-perampok itu mengikat brahmana itu dan membaringkannya di dekat mereka. Pada saat itu juga, purnama muncul di langit bagian timur. Brahmana yang mempelajari tentang langit, mengetahui – bahwa pergerakan bersama planet-planet itu sedang terjadi. “Mengapa,” pikirnya, “saya harus mengalami penderitaan ini? Dengan membacakan mantra itu, saya akan memanggil hujan batu berharga, membayar tebusan pada perampok-perampok ini, dan bebas untuk pergi.” Maka ia memanggil penjahat-penjahat itu, “Teman-teman, mengapa saya dijadikan sandera?”

“Untuk mendapatkan uang tebusan, Brahmana yang terhormat,” jawab mereka.

“Baiklah kalau itu yang kalian inginkan,” kata brahmana tersebut.

“Segera lepaskan saya; cuci kepala saya dan kenakan baju baru pada saya; buat saya wangi dan selimuti saya dengan bunga-bungaan. Kemudian tinggalkan saya sendiri.” Para perampok melakukan apa yang diminta olehnya. Brahmana yang menandai kebersamaan planet-planet itu, membacakan mantra dengan mata menatap ke langit. Segera saja, barang-barang berharga itu mengalir turun dari langit. Para penjahat langsung memungut barang-barang berharga itu dan membungkus barang rampasan itu dengan menggunakan mantel mereka. Mereka meninggalkan tempat itu dengan diikuti oleh brahmana itu dibelakang mereka. Namun, seakan telah diatur, kelompok itu disergap oleh kelompok kedua yang beranggotakan lima ratus orang perampok! “Mengapa kalian menangkap kami?” tanya kelompok pertama kepada kelompok kedua. “Untuk merampas barang jarahan kalian,” jawab mereka. “Jika itu yang kalian inginkan, tangkap saja brahmana ini, ia bisa dengan mudah menatap ke langit dan membawa turun harta kekayaan seperti aliran hujan. Ia yang memberikan semua barang yang kami miliki ini.” Maka kelompok kedua melepaskan kelompok pertama, hanya menahan brahmana itu, mereka berseru, “Berikan kekayaan kepada kami juga!”

“Dengan senang hati,” jawab brahmana itu; “namun masih satu tahun lagi sebelum planet-planet bergerak bersama, yang merupakan syarat utamanya. Jika kalian mau menanti hingga saat itu, saya akan memohon hujan barangbarang berharga untuk kalian.”

“Brahmana kurang ajar!” teriak perampok-perampok yang marah itu. “Kamu membuat kelompok yang lain menjadi kaya begitu saja, dan meminta kami untuk menunggu selama satu tahun!” Mereka kemudian memotongnya menjadi dua bagian dengan sebilah pedang yang tajam dan membuang mayatnya di tengah jalan. Lalu mengejar kelompok pertama, membunuh semua anggota perampok kelompok pertama dalam sebuah perkelahian, dan mengambil barang rampasan mereka.

Selanjutnya mereka sendiri terpecah menjadi dua kelompok, yang berkelahi antar anggota mereka sendiri. Kedua kelompok itu saling berkelahi hingga dua ratus lima puluh orang mati terbunuh. Mereka masih saling membunuh satu sama lain sehingga yang tersisa hanya dua orang saja. Dengan demikian, hampir seribu orang telah mati karenanya.

Kedua orang yang masih hidup itu sepakat untuk membawa lari harta tersebut, yang kemudian mereka simpan di sebuah hutan dekat desa; satu orang duduk di sana, dengan pedang di tangan, menjaga harta tersebut sementara yang satunya lagi pergi ke desa untuk mencari beras dan memasaknya sebagai santapan malam mereka.

“Ketamakan adalah penyebab kejatuhan!” renungnya saat berhenti di dekat harta tersebut.

“Saat temanku kembali nanti, ia akan menginginkan sebagian dari harta ini. Saya harus membunuhnya pada saat ia kembali.” Maka ia menghunuskan pedangnya dan duduk menunggu temannya kembali. Sementara itu, penjahat yang satu lagi, membayangkan hal yang sama, bahwa harta rampasan itu akan dibagi dua, ia berpikir, “Saya harus meracuni nasi ini, dan memberikan nasi beracun ini untuk dimakan olehnya dan membunuhnya.” Setelah makan bagiannya lebih dahulu, ia meracuni sisa nasi itu, lalu dibawanya ke dalam hutan. Namun ia tidak sempat melakukan rencananya, ketika penjahat yang satunya lagi memotongnya menjadi dua bagian dengan menggunakan pedang, dan menyembunyikan mayatnya di suatu tempat yang terpencil.

Kemudian ia makan nasi beracun itu, dan meninggal di tempat pada saat itu juga. Demikianlah, karena harta tersebut, tidak hanya brahmana itu, namun semua penjahat itu menjadi binasa. Sementara itu, satu dua hari kemudian, Bodhisatta kembali dengan membawa uang tebusannya. Tidak menemukan gurunya ditempat ia meninggalkannya, namun melihat harta benda berserakan di sekitar tempat itu, hatinya merasa khawatir bahwa, walaupun ia telah memberi nasihat, gurunya pasti telah menurunkan hujan harta benda dari langit, dan semuanya telah tewas sebagai akibatnya; ia menelusuri sepanjang jalan tersebut.

Dalam perjalanannya, ia menemukan mayat gurunya yang terbelah menjadi dua bagian, tergeletak di tengah jalan. “Aduh!” serunya, “ia meninggal karena tidak mau mendengar peringatan yang saya berikan.” Kemudian dengan kayu-kayu yang terkumpul olehnya, ia membuat sebuah tumpukan kayu bakar dan membakar jasad gurunya, memberikan persembahan berupa bunga-bunga. Saat berjalan lebih jauh, ia tiba di tempat dimana lima ratus orang “Pengutus” tergeletak, dan berjalan lebih jauh lagi, ia menemukan dua ratus lima puluh mayat, demikian seterusnya hingga ia hanya menemukan dua mayat di sana.

Memperhatikan bagaimana sembilan ratus sembilan puluh delapan orang telah tewas, ia merasa yakin masih ada dua orang lagi yang masih hidup, dan tidak ada yang dapat menghentikan mereka lagi. Ia memaksakan diri untuk melihat kemana mereka pergi. Ia berjalan terus, hingga akhirnya menemukan jalan dimana bersama harta tersebut mereka berbelok masuk ke dalam hutan; dan disana, ia menemukan buntelan harta benda, dan satu orang perampok yang terbaring mati dengan mangkuk nasi yang terbalik di sisinya. Menyadari keseluruhan kejadian itu dengan melihat secara sekilas, Bodhisatta mencari orang yang hilang itu, akhirnya ia menemukan mayatnya di suatu tempat yang terpencil dimana ia dilemparkan.

“Demikianlah,” renung Bodhisatta, “karena tidak mendengar nasihatku, guru yang mengikuti keinginannya sendiri telah membinasakan tidak hanya dirinya sendiri, namun juga seribu orang lainnya. Benar, mereka sendiri yang menerima akibat kekeliruan dan salah jalan, yang akhirnya menemui kehancuran, walaupun ia adalah guruku sendiri.” Ia mengulangi syair berikut ini :

Usaha yang salah membawa kehancuran, bukannya keuntungan;

Para perampok membunuh Vedabbha, dan akhirnya mereka sendiri juga terbunuh. 

Demikianlah yang disampaikan oleh Bodhisatta, ia berkata lebih lanjut, — “Bahkan usaha guru saya yang salah arah dengan mengupayakan turunnya hujan harta benda dari langit, mengakibatkan kematiannya dan kehancuran bagi orang lain yang bersama dengannya; Tetap saja, setiap orang yang salah mengartikan pencarian terhadapan pedoman demi keuntungannya sendiri, akan hancur dan melibatkan orang lain dalam kehancurannya.” Dengan kata-kata ini Bodhisatta membuat hutan itu bergemuruh; dalam syair tersebut ia telah membabarkan Kebenaran, sementara para dewa pohon meneriakkan sorakan kegembiraan. Ia merencanakan untuk membawa harta benda tersebut ke rumahnya sendiri, tempat ia menghabiskan sisa hidupnya dengan berdana dan melakukan perbuatan baik lainnya. Setelah meninggal, ia terlahir kembali di alam bahagia yang telah ia menangkan.

Sang Guru berkata, “Ini bukan pertama kalinya, Bhikkhu, engkau bertindak semaumu. Engkau juga memiliki sifat yang sama di kehidupan yang lampau. Karena tindakan sesuka hatimu, engkau hancur sama sekali.” Setelah uraian-Nya berakhir, Beliau menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Bhikkhu yang bertindak sesuka hati ini adalah Brahmana Vedabbha di masa itu, dan Saya sendiri adalah siswanya.”

sumber: ITC, Jataka Vol. I

DUMMEDHA JATAKA

Sumber : Sariputta
---------------------------- 
“Seribu pelaku kejahatan,” dan seterusnya . Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai tindakan demi kebaikan dunia; seperti yang akan dijelaskan dalam Buku Kedua Belas, dalam Maha-Kanha-Jātaka.
_____________________

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir dalam kandungan ratu. Setelah lahir, ia diberi nama Pangeran Brahmadatta dalam upacara pemberian nama. Pada usia enam belas tahun, ia telah menyelesaikan pendidikannya di Takkasīla, mempelajari Tiga Weda dan mendalami delapan belas cabang ilmu pengetahuan. Hal itu membuat ia dijadikan sebagai raja muda.

Di masa itu, penduduk Benares mengadakan banyak perayaan terhadap para dewa untuk menunjukkan penghormatan terhadap ‘Dewa-Dewa’. Mereka mempunyai kebiasaan untuk menyembelih domba, kambing, unggas, babi dan hewan-hewan lainnya. Mereka tidak hanya mempersembahkan bunga-bunga dan wewangian, namun juga bangkai yang masih berlumuran darah. Pikir Bodhisatta, “Disesatkan oleh kepercayaan (takhayul), sekarang ini manusia mengorbankan kehidupan (makhluk lain) tanpa alasan yang kuat; sebagian besar orang tidak mempunyai keyakinan. Setelah ayah saya meninggal, saya yang mewarisi tahtanya. Saya akan mencari dengan sungguh-sungguh cara untuk mengakhiri pembunuhan ini. Saya akan memikirkan beberapa cara yang cerdik agar mereka dapat dihentikan tanpa mencelakakan satu makhluk pun.” Dengan suasana hati seperti itulah, suatu hari pangeran menaiki kereta kerajaan untuk pergi ke luar kota. Di tengah perjalanannya, ia melihat kerumunan orang di bawah sebuah pohon beringin yang suci. Mereka sedang berdoa pada dewa yang terlahir di pohon tersebut, untuk menganugerahkan mereka anak laki-laki dan perempuan, kehormatan dan kesehatan, sesuai dengan kehendak mereka masing-masing. Turun dari kereta kerajaaan, Bodhisatta mendekati pohon tersebut dan bertindak seperti salah seorang pemuja dengan mempersembahkan bunga dan wewangian, memerciki pohon tersebut dengan air dan mengelilingi batang pohon tersebut dengan penuh hormat.

Setelah itu, ia menaiki kereta kerajaannya dan kembali menelusuri jalan ke kota. Sejak saat itu, pangeran selalu melakukan perjalanan seperti itu dari waktu ke waktu, mengunjungi pohon itu dan menyembahnya seperti seorang penganut sejati para dewa. Setelah ayahnya meninggal, Bodhisatta menggantikannya memerintah negeri itu. Ia menjauhi diri dari empat ajaran sesat dan mempraktikkan sepuluh kebaikan yang mulia. Ia memerintah rakyatnya dengan penuh keadilan. Sekarang telah tiba saat untuk meneruskan keinginannya, ia telah menjadi raja, Bodhisatta akan membuat dirinya memenuhi keputusannya di masa yang lalu. Ia mengumpulkan para menteri, brahmana, golongan masyarakat baik-baik dan golongan masyarakat lainnya, menanyakan apakah mereka tahu bagaimana cara ia menjadikan dirinya sebagai seorang raja. Tidak ada orang yang bisa menjawabnya.

“Pernahkah kalian melihat saya dengan penuh hormat menyembah pohon beringin dengan wewangian dan sejenisnya, dan membungkukkan diri di hadapan pohon itu?”

“Kami pernah melihatnya, Paduka,” jawab mereka.

“Baiklah, saya membuat sebuah sumpah; dan sumpah itu adalah, jika saya menjadi raja, saya akan memberikan persembahan kepada pohon tersebut. Sekarang dengan bantuan dewa, saya telah menjadi raja. Saya akan mempersembahkan apa yang saya janjikan untuk dikorbankan. Karena itu, persiapkanlah hal itu secepat mungkin.”

“Apa yang harus kami persiapkan?”

“Sumpahku,” kata raja tersebut, “adalah seperti ini : — semua yang kecanduan melakukan lima jenis perbuatan buruk, yakni pembunuhan dan lain sebagainya, dan semua yang menempuh sepuluh jalan yang tidak benar, mereka akan saya bunuh, daging dan darah mereka, serta isi perut dan organ tubuh mereka, akan saya jadikan persembahan. Umumkanlah dengan iringan bunyi genderang, bahwa raja kita, saat masih bergelar Raja Muda, pernah bersumpah jika ia menjadi seorang raja, akan membunuh dan mempersembahkan korban, berupa mereka yang melanggar sila. Sekarang, raja akan membunuh seribu orang dari mereka yang kecanduan melakukan lima jenis perbuatan buruk, atau menempuh sepuluh jalan yang tidak benar. Dengan jantung dan daging dari seribu orang, sebuah persembahan akan dilakukan untuk menghormati para dewa. Umumkanlah hal ini agar semua orang di negeri ini tahu. Mereka yang melanggarnya setelah hari ini,” tambah raja, “akan saya bunuh sebanyak seribu orang, dan mempersembahkannya sebagai korban kepada para dewa sebagai pemenuhan sumpah saya.” Untuk memperjelas pernyataannya, raja mengulang syair sebagai berikut :

Seribu pelaku kejahatan telah saya janjikan,

sebagai ungkapan terima kasih untuk dibunuh;

pelaku kejahatan membentuk kerumunan besar,

sekarang, sumpahku akan dipenuhi.

 Patuh pada perintah raja, para menteri membuat pengumuman yang diiringi dengan bunyi genderang sesuai dengan panjang dan lebar seluruh Kota Benares. Akibat pengumuman tersebut, tidak ada satu orang pun yang melakukan kejahatan lama itu lagi. Selama Bodhisatta memerintah, tidak ada seorang manusia pun yang dihukum karena melakukan pelanggaran. Demikianlah, tanpa mencelakakan rakyatnya, Bodhisatta membuat mereka menjalankan sila. Pada akhir kehidupan yang selalu diisinya dengan berdana dan perbuatan baik lainnya, ia meninggal dan bersama para pengikutnya, menuju ke alam dewa.
____________________

Sang Guru berkata, “Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu, Sang Buddha melakukan sesuatu demi kebaikan dunia ini; Beliau juga melakukan hal yang sama di kehidupan sebelumnya.” Setelah uraian tersebut berakhir, Beliaumempertautkan dan menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Para siswa Buddha adalah menteri-menteri di masa itu, dan Saya sendiri adalah Raja Benares.”

sumber: ITC, Jataka Vol. I